Tuan Rumah RUMAH
IDE & KREASI
Ada fenomena unik yang saya jumpai sendiri saat saya
berkesempatan menetap dan bekerja selama beberapa saat di Pulau Batam dan Pulau
Bintan di tahun 2000 silam. Dimana-mana di kedua pulau ini terdapat cukup
banyak orang yang oleh warga setempat biasa dijuluki sebagai “Tamatan/Lulusan/Alumni Malaysia”.
Jika dilihat dari kehidupan para “alumnus” ini memang sangat memprihatinkan, tetapi begitulah
kenyataan yang terjadi. Mereka adalah sosok-sosok yang tidak jelas atau lebih
tepatnya tidak diketahui asal-usul dan latar belakang identitas, keluarga dan
kewarganegaraannya. Teman-teman saya mengatakan bahwa para alumnus ini ada yang berasal dari Vietnam, Philipine, India, negara-negara
tetangga lainnya di Asia Tenggara dan Asia, dan juga sebagian lagi berasal dari
Indonesia sendiri yang tidak bisa kembali ke kampung halamannya masing-masing.
Para lulusan Malaysia ini menghabiskan hidup
keseharian mereka di jalan-jalan, di emperan-emperan toko, tapi tanpa meminta
dan mengharapkan belas kasihan orang-orang di sekelilingnya. Ya, mereka hidup
dengan cara mereka sendiri tanpa berniat membebani orang lain. Mereka bukan preman yang hidup dengan mengandalkan
kekerasan dan/atau pemerasan. Mereka juga bukan gelandangan dan pengemis
yang mengulurkan tangan untuk sekeping/dua keping rupiah walaupun banyak orang
yang turut merasa berbelas kasihan dan iba kepada mereka. Mereka juga bukan pelaku kriminal atau bahkan teroris walaupun kadang suka membuat
onar dan menebar teror.
Mereka adalah para “Tamatan/lulusan/alumni
Malaysia” (istilah yang dilekatkan pada diri mereka). Ya, para tamatan/lulusan/alumni ini adalah mantan
pekerja keras di negeri Jiran Malaysia yakni para mantan tenaga kerja yang akhirnya
dideportasi keluar dari Malaysia. Yang aneh dari para mantan tenaga kerja ini adalah bahwa mereka
semua mengalami gangguan jiwa akut alias
tidak waras atau gila. Ada cerita yang berkembang bahwa sebagian besar dari
mereka sebelumnya adalah tenaga kerja illegal yang ditangkap dan telah
menjalani masa hukuman di Malaysia dan kemudian dideportasi. Rata-rata mereka
memiliki bekas luka cambuk di bagian punggung, dan anehnya rata-rata dari
mereka menjadi berangsur-angsur tidak waras setelah dideportasi.
Telah menjadi pengetahuan umum bahwa pemerintah kerajaan Malaysia
hingga saat ini memberlakukan hukum cambuk (sesuai Hukum Syariat) kepada setiap pelanggar hukum di negeri
Jiran ini. Bekas cambukan di tubuh mereka akan menjadi kenang-kenangan abadi
bagi mereka yang pernah melakukan tindak kriminal. Yang belum menjadi
pengetahuan umum bagi kita adalah: “Kenapa sebagian besar mantan tenaga kerja termasuk
Tenaga Kerja Indonesia dan/atau Tenaga Kerja Wanita (TKI/TKW) yang pernah
bekerja di negeri serumpun ini selalu
menderita sakit jiwa/tidak waras/gila setelah
dideportasi atau setelah pulang kampung?”
Selama berdomisili di Batam (3 bulan) dan di Bintan (9
bulan), saya sempat mendapatkan informasi-informasi dari warga setempat yang
membuat trenyuh, karena
informasi-informasi tersebut sungguh tidak bisa diterima oleh akal sehat saya.
Entah benar atau tidak benar, itulah informasi yang saya dengar. “Setiap orang
gila yang ada di Batam/Bintan pastilah tamatan/lulusan/alumni
dari Malaysia!” demikian pendapat-pendapat warga di dua pulau di Kepulauan Riau
ini.
Semula saya berpikir jika para tamatan Malaysia ini kemungkinan besar mengalami stress
berkepanjangan sebagai akibat dari siksaan, hukuman dan pendeportasian yang
mereka alami yang akhirnya menyebabkan mereka mengalami gangguan jiwa. Dugaan
siksaan yang menimpa para tenaga kerja ini juga diakui oleh sebagian warga
sebagai salah satu pemicu terjadinya gangguan jiwa walau diakui sangat kecil
kemungkinannya. Saya juga berpikir jika para tamatan Malaysia ini, lagi-lagi, mengalami stress mengingat begitu
kerasnya kehidupan di Batam dan/atau di Bintan yang harus dijalani. Namun
dugaan saya tersebut langsung dibantah oleh sebagian besar warga masyarakat.
“Kalau alasannya stress tentang kerasnya kehidupan, kitapun pasti sudah gila
sejak lama!”
“Lantas apa yang sebenarnya terjadi dengan nasib para Wisudawan Malaysia tersebut?”
Melihat fenomena orang
gila yang tidak diketahui asal-usulnya ini yang juga adalah mantan tenaga
kerja di Malaysia ini, saya mendengar banyak sekali pendapat warga yang senada.
Saat ditanya: “Siapa orang-orang itu?”,
jawabannya selalu sama: “Tamatan dari
Malaysia!” Jika ditanya lagi: “Kenapa
mereka menjadi tidak waras atau gila?”, jawabannya singkat, padat dan jelas:
“Disuntik laah…!”
Sekali lagi, telah menjadi “pengetahuan umum” bahwa hukum di Malaysia masih memberlakukan Hukum Cambuk yang merupakan penerapan dari Hukum Islam/Hukum Syariat. Yang belum menjadi “pengetahuan umum” adalah: “Kenapa sebagian besar mantan tenaga
yang pernah bekerja di negeri serumpun
ini selalu menderita sakit jiwa/tidak
waras/gila?” Namun demikian, ada satu hal yang sudah menjadi “rahasia umum” bahwa negeri Jiran inipun
melaksanakan Hukum Suntik (istilah
sendiri) kepada tenaga kerja yang berkewarganegaraan asing(?). Walaupun Hukum Suntik ini mungkin saja bukan
termasuk dan/atau tidak dikenal dalam Hukum Syariat di Malaysia, namun banyak
pihak yang membicarakan tentang pemberlakuan Hukum Suntik ini di Malaysia.
Dikatakan bahwa hukum
suntik ini tidak serta-merta membuat korban langsung menjadi tidak waras/gila, tapi secara
berangsur-angsur suntikan maut tersebut
akan merusak sel/jaringan syaraf otak. Isu suntik
gila yang, katanya, diberlakukan oleh oknum aparat penegak hukum di
Malaysia kepada para tenaga kerja illegal yang kemudian akan dideportasi ini
dimaksudkan agar para tenaga kerja illegal ini tidak akan kembali lagi ke
Malaysia dengan status yang sama (illegal) untuk mengadu peruntungan mereka.
Dikatakan pula bahwa menurut aparat keamanan di Malaysia, “sekali illegal akan tetap illegal”. Setelah disuntik, mereka
dipastikan tidak akan kembali lagi ke Malaysia karena pastinya mereka akan mengalami
hilang ingatan setelah dideportasi.
Tentu pendapat-pendapat warga di pulau Batam dan Bintan ini
tidak harus ditelan bulat-bulat, bisa
saja “salah”, tapi bisa juga “benar”. Apapun bisa terjadi! Oleh sebab
itu, perlu ada investigasi dan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan salah-benar-nya pendapat/cerita yang
sudah berkembang luas di tengah masyarakat ini. Hal inipun perlu menjadi perhatian
serius Pemerintah Indonesia dalam hal ini pihak-pihak terkait/berwajib, dan/atau
Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli pada penegakan Hak Asasi Manusia
untuk menelusuri dan mengungkap fakta dan kebenarannya. Jika saja benar sesuai dengan tuturan masyarakat
di atas, maka kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan Malaysia ini sungguh sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Negara/kerajaan yang mengusung Syariat
Islam ini akan dikenal sebagai negara dan bangsa paling biadab di muka bumi ini (butuh
pendalaman dan pembuktian lebih lanjut).
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), Kupang, juga terdapat banyak
kasus serupa yang luput dari perhatian pemerintah maupun pemberitaan media.
Para korban yang akhirnya menderita gangguan
jiwa tersebut juga rata-rata adalah mantan tenaga kerja yang pernah bekerja
di Malaysia. Sebagaimana kita ketahui, NTT juga tercatat sebagai salah satu
penyumbang tenaga kerja terbesar di Indonesia untuk dipekerjakan di Malaysia
dan beberapa negara lainnya. Kasus human
trafficking pun marak terjadi di NTT.
Masih lekat dalam ingatan kita, kasus yang menimpa Nirmala Bonat, TKW asal Timor, yang mengalami penyiksaan di luar
perikemanusiaan oleh majikannya di Malaysia. Dan masih banyak lagi kasus yang
sama dialami oleh saudara/i kita yang berasal dari daerah lain di Indonesia.
Pihak keluarga hanya bisa pasrah menerima keadaan apa adanya dan tidak bisa
berbuat banyak karena tidak tahu harus mengadu kemana(?).
Saya juga sempat kaget membaca tulisan seorang Kompasianer (----) beberapa hari yang
lalu (24/11/2014), yang membeberkan data TKI di daerahnya, Jawa ----, yang
mengalami gangguan jiwa. Dalam tulisan tersebut tercatat TKI yang pernah
bekerja di Malaysia, 70% diantaranya mengalami gangguan jiwa saat kembali ke
daerah asalnya. Sebuah data yang sangat mencengangkan! (Lihat: ---) Dan tulisan
itu pun menginspirasi saya untuk menceritakan fakta-fakta yang berhubungan
dengan para TKI yang mengalami gangguan jiwa seusai bekerja di Malaysia. Ada benang merah di antara data di Jawa ---
tersebut dan fakta-fakta yang terjadi di berbagai pelosok negeri.
“Mungkinkah sekian
banyak kasus serupa (kasus gangguan jiwa) yang terjadi di berbagai pelosok
negeri ini yang menimpa para TKI kita hanya sebuah KEBETULAN belaka? Mungkinkah
KEBETULAN saja sama-sama pernah bekerja sebagai tenaga kerja di Malaysia, dan
saat kembali ke tanah air KEBETULAN pula sama-sama mengalami gangguan jiwa?”
Melihat kasus-kasus yang terjadi dan yang menimpa Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) dan/atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri,
khususnya, di Malaysia, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Tenaga Kerja perlu
memberikan jaminan keamanan yang pasti dan bantuan hukum yang memadai bagi
mereka. Dalam pemberitaan-pemberitaan, para TKI kita yang bekerja di luar
negeri sering mendapat perlakuan yang tidak bereprikemanusiaan dari
majikan-majikan mereka. Kasus hukum yang dialami dan tuntutan hukum yang
dikenakan kepada para TKI/TKW pun tidak adil, cenderung mengada-ada dan malah
terkesan semena-mena.
Lebih khusus lagi, Pemerintah dalam hal ini aparat
terkait/berwenang (entah apa itu namanya) perlu menganalisa penyebab gangguan
jiwa yang terjadi pada kebanyakan tenaga kerja kita yang rata-rata pernah
bekerja di Malaysia. Dan yang terakhir, bila perlu, Pemerintah bisa mengerahkan
Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mengusut dan/atau menelusuri isu Hukum Suntik atau Suntik Gila yang marak diperbincangkan tersebut.
Sekali lagi, mengakhiri tulisan ini, saya ingin menggarisbawahi
dan mempertegas kembali pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengusik hati dan
pikiran saya sekian lama sejak tahun 2000 silam. Pertanyaan-pertanyaan yang
mengusik ini kiranya bisa menjadi perhatian kita semua, khususnya bisa menjadi
perhatian serius dari Pemerintah Indonesia ke depannya dalam rangka melindungi
segenap bangsa Indonesia:
“Mungkinkah sekian
banyak kasus serupa (kasus gangguan jiwa) yang terjadi di berbagai pelosok
negeri ini yang menimpa para TKI kita hanya sebuah KEBETULAN belaka? Mungkinkah
KEBETULAN saja sama-sama pernah bekerja sebagai tenaga kerja di Malaysia, dan
saat kembali ke tanah air KEBETULAN pula sama-sama mengalami gangguan jiwa?”
“Only heaven knows!”
[http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/11/26/tamatan-malaysia-rata-rata-sakit-jiwa-688790.html]
[http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/11/26/tamatan-malaysia-rata-rata-sakit-jiwa-688790.html]
0 comments:
Post a Comment