November 12, 2014

Saat Saya Harus Memilih [Kilas Balik Pilpres 2014 -- #2]

Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI
Pilpres 9 Juli 2014 (Gambar: Kompasiana)

Persaingan dua kubu besar pada pilpres Juli 2014 lalu di tingkat elit ini menyisakan tari-menarik dan tolak-menolak dukungan hingga ke tingkat paling bawah. Di tingkat akar rumput, terpampang nyata dan cetar membahana (pinjam Syahrini) dua kucing yang tidak di dalam karung. Rakyat tidak lagi curiga atau menebak-nebak mana yang bukan criminal cat (pinjam Tukul). Rakyat langsung melihat dan bisa memilih kucing mana yang berasal dari ras terbaik. [Lihat tulisan sebelumnya: Pindah Ke Lain Hati]

Dalam rangka menarik simpati rakyat (atau boleh dikatakan mengecoh pilihan rakyat), dua calon dicitrakan sedemikian rupa dengan isu-isu yang sebenarnya tidak mencerminkan pendidikan politik yang baik dan bermartabat. Isu-isu yang diciptakan bukan “menyerang” pada visi dan misi capres, tetapi lebih “menyerang” pribadi capres. Ada isu tampan vs ndeso, tegas vs tidak tegas, militer vs sipil, muslim vs kafir, dan masih banyak lagi isu yang lebih mengarah kepada fitnah. Saling fitnah dan saling hujat terjadi dimana-mana di seluruh dunia (baik dunia nyata maupun dunia maya). Hukum hanya terpaku menatap langit (pinjam Ebiet) di kala hujan fitnah menderas dan membanjiri wajah pertiwi. Mungkinkah saling hujat dan fitnah bukan tergolong dalam kejahatan dan/atau pelanggaran hukum?

Melihat fenomena ini, saya berpendapat jika hukum di negeri ini seketika menjadi ompong dan tidak bisa menggigit ketika yang melanggar dan mengangkangi hukum adalah petinggi dan elit. Rakyat yang kebetulan tidak cerdas langsung saja ikut-ikutan menghujat dan memfitnah sesama yang kebetulan berbeda (baik pilihan maupun keyakinan), dan bahkan berani menghujat dan memfitnah calon pemimpin kita karena meniru petinggi dan elit kita yang tidak cerdas itu. Hujan hujat dan banjir fitnah di hampir semua kalangan masyarakat hanya menjadi tontonan bagi aparat penegak hukum yang mandul dan impoten(?). Atau jangan-jangan aparat juga turut berpihak kepada sosok tertentu walaupun disebut-sebut seharusnya bersikap netral?

Ternyata ajang pilpres kali ini membuka tabir kemerosotan nilai, etika dan moral segenap anak bangsa negeri ini yang dimotori oleh elit, dan sekaligus mempertontonkan ketidakberdayaan penegak hukum kita yang juga ikut berpolitik di belakang pintu(?) sehingga cenderung mendiamkan segala perilaku dan tindak kejahatan (hujat, fitnah, dll) dari orang/kelompok tertentu selama musim pilpres berlangsung. Ternyata negara melalui lembaga pendidikan, lembaga keagamaan dan/atau agama itu sendiri telah gagal (sekali lagi telah gagal) membentuk kepribadian dan menanamkan nilai-nilai baik etika, moral, maupun nilai-nilai religiusitas kepada warga negaranya dan/atau umatnya dan juga aparat penegak hukumnya.

“Hello, para pemimpin bangsa! Hello, para pendidik bangsa! Hello, para pemimpin agama/umat! Anda Ge-A: GA, Ge-A: GA + eL = GAGAL…! Ya, anda-anda telah gagal membentuk kepribadian dan membangun karakter bangsa yang beretika, bermoral dan religius!”      

“Kembali ke laptop!”

Persaingan berlangsung semakin dan semakin ketat di antara dua capres dan dua kubu koalisi. Di samping hujatan, cercaan, caci maki dan fitnahan yang disebutkan di atas, reputasi dan track record masing-masing calon juga di angkat ke permukaan melalui media-media main stream (media massa dan media elektronik), media-media online dan media-media sosial. Semakin waktu berjalan, sang Gubernur asli Solo yang berwajah ndeso ini semakin menancapkan simpati yang mendalam di hati rakyat Indonesia dan berangsur-angsur mulai menyaingi kepopuleran sang calon kuat yang disebut-sebut berwajah tampan ini. Walau pun si tampan telah mencuri start kampanye sejak 2009 lalu, si ndeso pun tidak kalah popular, karena sesungguhnya ia telah dikenal luas oleh seluruh rakyat melalui kerja keras dan kerja nyata untuk rakyatnya baik waktu masih di daerah maupun saat pindah ke pusat ibukota negara.

Sebenarnya kepopuleran sang pengusaha meubel sudah disadari sejak awal, jauh hari sebelum pencalonannya sebagai capres, oleh sang jenderal purnawirawan dan kubu yang mendukungnya. Hal itu dapat dilihat dari peciptaan wacana oleh kubu koalisi bendera tersebut agar sang gubernur tidak boleh mengkhianati rakyatnya dan harus tetap berkantor di balaikota daerah khusus ibukota tersebut hingga akhir masa jabatannya pada 2017 mendatang. Itu berarti: sang gubernur harus menolak jika dicalonkan sebagai capres. Wacana ini gencar disuarakan oleh partai Garuda yang juga adalah partai yang mengusungnya menjadi DKI 1 (bersama-sama dengan Banteng Perjuangan). Sangat jelas tujuan dari wacana tersebut adalah upaya menjegal kaki sang gubernur yang, besar kemungkinan, akan dengan mudah menghentikan langkah sang purnawirawan menuju ke istana.

Ya, sejak awal, pencalonan putera asli Solo yang diusung oleh Koalisi Ramping tersebut telah menjadi momok tersendiri bagi si anak emas penguasa orde baru itu dan Koalisi Gendutnya. Popularitas si anak emas yang selalu di puncak tertinggi berangsur-angsur digeser oleh popularitas si putera Solo. Polling yang dilakukan oleh sebagian besar lembaga survey mencatatkan kenaikan yang cukup signifikan dari popularitas si ndeso terhadap popularitas si tampan. Kenaikan tersebut bukan karena program, visi dan misi capres-cawapres, karena jika dilihat dari program, visi dan misi, kedua calon memiliki program, visi dan misi yang relatif sama. Intinya, sama-sama ingin melakukan yang terbaik bagi bangsa dan negara, dan memperjuangkan Indonesia yang lebih baik. Ada faktor penentu lain yang mendongkrak popularitas dan tingkat elektabilitas para calon. [Next: Faktor Penentu Elektabilitas Capres-Cawapres (Kilas Balik Pilpres 2014)]

0 comments:

Post a Comment