Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI
Pilpres 9 Juli 2014 (Gambar: Kompasiana) |
Persaingan dua kubu besar pada pilpres Juli 2014 lalu di
tingkat elit ini menyisakan tari-menarik dan tolak-menolak dukungan hingga ke
tingkat paling bawah. Di tingkat akar rumput, terpampang nyata dan cetar membahana
(pinjam Syahrini) dua kucing yang
tidak di dalam karung. Rakyat tidak
lagi curiga atau menebak-nebak mana yang bukan criminal cat (pinjam Tukul). Rakyat langsung melihat dan bisa
memilih kucing mana yang berasal dari
ras terbaik. [Lihat tulisan sebelumnya: Pindah Ke Lain Hati]
Dalam rangka menarik simpati rakyat (atau boleh dikatakan mengecoh pilihan rakyat), dua calon
dicitrakan sedemikian rupa dengan isu-isu yang sebenarnya tidak mencerminkan
pendidikan politik yang baik dan bermartabat. Isu-isu yang diciptakan bukan “menyerang” pada visi dan misi capres,
tetapi lebih “menyerang” pribadi
capres. Ada isu tampan vs ndeso, tegas vs tidak tegas, militer vs sipil, muslim
vs kafir, dan masih banyak lagi isu yang lebih mengarah kepada fitnah. Saling fitnah
dan saling hujat terjadi dimana-mana di seluruh dunia (baik dunia nyata maupun dunia maya). Hukum hanya terpaku
menatap langit (pinjam Ebiet) di kala hujan fitnah menderas dan membanjiri
wajah pertiwi. Mungkinkah saling hujat dan fitnah bukan tergolong dalam kejahatan
dan/atau pelanggaran hukum?
Melihat fenomena ini, saya berpendapat jika hukum di negeri
ini seketika menjadi ompong dan tidak
bisa menggigit ketika yang melanggar
dan mengangkangi hukum adalah petinggi dan elit. Rakyat yang kebetulan tidak
cerdas langsung saja ikut-ikutan menghujat dan memfitnah sesama yang kebetulan
berbeda (baik pilihan maupun keyakinan), dan bahkan berani menghujat dan
memfitnah calon pemimpin kita karena meniru petinggi dan elit kita yang tidak
cerdas itu. Hujan hujat dan banjir fitnah di hampir semua kalangan masyarakat
hanya menjadi tontonan bagi aparat penegak hukum yang mandul dan impoten(?).
Atau jangan-jangan aparat juga turut berpihak kepada sosok tertentu walaupun
disebut-sebut seharusnya bersikap netral?
Ternyata ajang pilpres kali ini membuka tabir kemerosotan
nilai, etika dan moral segenap anak bangsa negeri ini yang dimotori oleh elit,
dan sekaligus mempertontonkan ketidakberdayaan penegak hukum kita yang juga
ikut berpolitik di belakang pintu(?) sehingga cenderung mendiamkan segala
perilaku dan tindak kejahatan (hujat, fitnah, dll) dari orang/kelompok tertentu
selama musim pilpres berlangsung. Ternyata negara melalui lembaga pendidikan,
lembaga keagamaan dan/atau agama itu sendiri telah gagal (sekali lagi telah gagal)
membentuk kepribadian dan menanamkan nilai-nilai baik etika, moral, maupun
nilai-nilai religiusitas kepada warga negaranya dan/atau umatnya dan juga aparat
penegak hukumnya.
“Hello, para pemimpin
bangsa! Hello, para pendidik bangsa! Hello, para pemimpin agama/umat! Anda Ge-A:
GA, Ge-A: GA + eL = GAGAL…! Ya, anda-anda telah gagal membentuk kepribadian dan
membangun karakter bangsa yang beretika, bermoral dan religius!”
“Kembali ke laptop!”
Persaingan berlangsung semakin dan semakin ketat di antara
dua capres dan dua kubu koalisi. Di samping hujatan, cercaan, caci maki dan
fitnahan yang disebutkan di atas, reputasi dan track record masing-masing calon juga di angkat ke permukaan
melalui media-media main stream (media
massa dan media elektronik), media-media online dan media-media sosial. Semakin
waktu berjalan, sang Gubernur asli Solo yang berwajah ndeso ini semakin menancapkan
simpati yang mendalam di hati rakyat Indonesia dan berangsur-angsur mulai
menyaingi kepopuleran sang calon kuat yang disebut-sebut berwajah tampan ini.
Walau pun si tampan telah mencuri start
kampanye sejak 2009 lalu, si ndeso
pun tidak kalah popular, karena sesungguhnya ia telah dikenal luas oleh seluruh
rakyat melalui kerja keras dan kerja nyata untuk rakyatnya baik waktu masih di daerah
maupun saat pindah ke pusat ibukota negara.
Sebenarnya kepopuleran sang pengusaha meubel sudah disadari
sejak awal, jauh hari sebelum pencalonannya sebagai capres, oleh sang jenderal
purnawirawan dan kubu yang mendukungnya. Hal itu dapat dilihat dari peciptaan
wacana oleh kubu koalisi bendera tersebut agar sang gubernur tidak boleh
mengkhianati rakyatnya dan harus tetap berkantor di balaikota daerah khusus
ibukota tersebut hingga akhir masa jabatannya pada 2017 mendatang. Itu berarti:
sang gubernur harus menolak jika dicalonkan sebagai capres. Wacana ini gencar
disuarakan oleh partai Garuda yang juga adalah partai yang mengusungnya menjadi
DKI 1 (bersama-sama dengan Banteng Perjuangan). Sangat jelas tujuan dari wacana
tersebut adalah upaya menjegal kaki sang gubernur yang, besar kemungkinan, akan
dengan mudah menghentikan langkah sang purnawirawan menuju ke istana.
Ya, sejak awal, pencalonan putera asli Solo yang diusung
oleh Koalisi Ramping tersebut telah menjadi momok
tersendiri bagi si anak emas penguasa orde baru itu dan Koalisi Gendutnya.
Popularitas si anak emas yang selalu di puncak tertinggi berangsur-angsur digeser
oleh popularitas si putera Solo. Polling yang
dilakukan oleh sebagian besar lembaga survey mencatatkan kenaikan yang cukup signifikan
dari popularitas si ndeso terhadap popularitas
si tampan. Kenaikan tersebut bukan karena program, visi dan misi
capres-cawapres, karena jika dilihat dari program, visi dan misi, kedua calon
memiliki program, visi dan misi yang relatif sama. Intinya, sama-sama ingin
melakukan yang terbaik bagi bangsa dan negara, dan memperjuangkan Indonesia
yang lebih baik. Ada faktor penentu lain yang mendongkrak popularitas dan
tingkat elektabilitas para calon. [Next:
Faktor Penentu Elektabilitas Capres-Cawapres (Kilas Balik Pilpres 2014)]
0 comments:
Post a Comment