Derap Langkah
Sang Waktu
31
Desember 2016 adalah lembaran hari terakhir di tahun 2016 yang selalu memberi sejuta
rasa bagi kita yang merasakan indahnya anugerah kehidupan dari Sang Khalik. Ada
kenangan-kenangan yang masih membekas yang enggan dibuang begitu saja oleh sang aktor yang terlibat dalam pembuatan
film kenangan tersebut.
Namun
sang waktu sedikit pun tidak peduli. Ia terus berjalan dan berjalan dengan
derap langkah yang pasti menuju tapal batas pergantian waktu yang sudah ditentukan.
Kita, sebagai aktor-aktor dalam panggung kehidupan ini hanya bermain mengikuti
alur waktu sesuai peran-peran dalam transkrip skenario kehidupan.
Mengakhiri
lembaran terakhir di penghujung tahun 2016 ini, saya ingin menghadirkan
sepenggal kenangan kehidupan yang dipulung
dari beberapa Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Kenangan.
Kenangan
kenangan kehidupan tersebut entah dari mana, milik siapa, itu bukan urusanku.
Urusanku hanyalah memulung dan mendaur ulang barang bekas dan menjadikannya sebagai
hiasan kehidupan yang kiranya
bernilai dan bermanfaat.
Sebelum
mengetengahkan hasil daur ulang, saya
ingin mengucapkan kepada kita semua: “Selamat Tahun Baru 2017! Selamat Tinggal
2016…! Selamat Datang 2017!”
TPA Kenangan
LEAVING ON A JET PLANE
All my bags are
packed, I'm ready to go//I'm standing here outside your door//I hate to wake
you up to say goodbye//But the dawn is breaking it's early morn//The taxi's
waiting, he's blowing his horn//Already I'm so lonesome, I could die…(John
Denver, LEAVING ON A JET PLANE).
………………………………………………………………………………………
***
Kelabu melingkupi hatiku. Kupang yang terkenal
dengan terik mentarinya tak sanggup membendung arak-arakan mendung yang terus
menerobos masuk, dan merasuk ke dalam relung hatiku. Ruang yang sebelumnya
cerah berangsur-angsur redup, dan ceria berubah muram dalam sebuah kekelaman
yang mendalam. Dalam kebisuan hati yang hampa, gerimis perlahan jatuh membasahi
setiap sisi batinku. Badai galau berkecamuk sangat dasyat, menghempas dan
mengoyak seluruh bentangan tirai sukmaku.
Aku terjebak dalam sebuah rentang waktu yang ingin
kuhindari sejak semula. Sang waktu tengah
menyeretku lebih dan semakin dekat pada tapal batas perpisahan yang
sesungguhnya tidak kuharapkan terjadi. Sebuah perpisahan yang harus kualami dengan
Glenn Timor…sang pujaan hatiku...sang lentera jiwaku…sang embun pagiku…sang bintang
timurku…sang mentariku…sang meteorku…!
Hhmm…Glenn
Timor…!
Glenn Timor adalah rinduku yang merangsang tumbuhnya
benih-benih kehidupan di hamparan sahara. Glenn Timor adalah sejukku yang mengembuni
tunas-tunas hijau yang mekar di pagi hari. Glenn Timor adalah getarku yang
menghempas gejolak jiwa. Glenn Timor adalah geliat nadiku yang mendetak tak
henti membelah sepi. Glenn Timor adalah nyanyianku yang menggema di setiap
jengkal sanubari. Glenn Timor adalah senandungku yang mengalun lembut dalam
sukma.
Hhmm…Glenn
Timor…!
Ya, bagiku, Glenn Timor telah menjadi segala; telah
menjadi seluruh bukan separuh. Ya, seluruh bukan separuh! Glenn
Timor telah menjadi seluruh mimpiku, seluruh rinduku, seluruh hasratku, seluruh
pikirku, seluruh jiwaku, seluruh hatiku, seluruh nafasku, seluruh
hidupku. Glenn Timor telah kubiarkan menempati seluruh ruang di dalam hatiku….pikiranku. Kepada Glenn Timor telah
kuberikan hak mencintai dan memiliki seluruh
isi di dalam hati, jiwa, dan ragaku.
Ada JANJI 2
HATI 1 yang telah diikrarkan dan terpatri di dinding tebing Benteng Kupang.
Ada tiang-tiang rindu yang telah ditambatkan dan terpancang di antara sisa-sisa
puing dermaga tua. Ada benih-benih cinta yang telah dilabuhkan dan tertanam di
dasar muara teluk Kupang. Panji-panji asmara pun yang telah dikembangkan dan
terkibar di puncak menara suar tua. Dan ada tabir rahasia yang telah disingkapkan
dan terkuak dalam sebuah dekap asmara menuju puncak pendakian tertinggi.
Ada jejak langkah yang setia menapaki pasir putih dan
karang sepanjang hamparan pantai Pasir Panjang, Kelapa Lima, Nunsui dan
Lasiana. Ada detak hasrat yang tercecer di sebagian ruas Timor Raya yang telah menjadi
rute asmara yang menyisakan kenangan sepanjang jalan. Ada kenangan yang terukir
bersama awan putih di langit-langit Kupang, terbang bersama angin, melintasi bentangan
senja, dan menghempas desah dahaga ke dalam dasar laut Kristal.
***
Menghitung
hari……detik demi detik……tak lagi diperlukan, ketika count down waktu telah mencapai akhir
angka Nol/Zero. Sebuah bilangan
kosong yang tidak berjumlah yang kadang pula dianggap tidak bernilai dan tidak
berarti apa-apa, namun selalu menjadi puncak dari setiap perhitungan mundur.
Sebuah angka yang selalu menjadi tujuan akhir penantian dan rindu, dan
sekaligus menjadi titik awal dari sebuah permulaan
dan keberadaan/kehadiran.
Nol/zero
telah menjadi sebuah bilangan dengan konsekuensi makna ganda yang saling
bertolak belakang; ada-tiada, awal-akhir,
temu-pisah, datang-pergi, dll yang enggan kusebut lagi. Masing-masing kata
tersebut bukan hanya sekedar memiliki makna antonym biasa, namun memiliki suatu
hubungan makna sebab-akibat yang
telah ditetapkan sejak kekal hingga kekal.
Ya, suatu hubungan makna yang berada dalam satu lingkaran takdir yang tidak dapat tidak dihindari di dalam kehidupan ini.
Dalam teori semesta, setiap ciptaan memiliki jalan kehidupan
yang mutlak dan pasti yang akan bermuara pada sebuah titik akhir, yang juga
dipercaya sebagai titik awal dari sebuah sesi kehidupan yang baru.
Aku tengah
berkisar di antara ruang dan waktu yang bertanda nama NOL/ZERO.
Sebuah nama yang perlahan mengikis dan memudarkan
rindu dan harap yang menggejolak. Sebuah nama yang menghadirkan ruang dan waktu
dengan area pijak yang kini diam dan hening. Hanya air mata sepi yang menggenang dan menderai di lubuk
camar yang rapuh. Gegap gempita kidung cinta yang mengalun sebelumnya dalam
derap langkah waktu kini sirna dalam ketiadaan.
Desir ombak yang berpacu dalam darah, dan menghempas dalam kehangatan cinta
kini terhenti dalam kebekuan. Detak
jantung yang menghentak dalam dada kini kandas tak bergerak dalam kesunyian tak berbatas. Desah nafas yang
menggeliat, dan menyulut percik gelora asmara kini hilang dalam kehampaan. Masih adakah harap dan mimpi
yang tersisa untuk episode selanjutnya?
Oh, God! I’m
stranded in the middle of the loneliness!
***
Apalah arti sebuah penantian akhir, jika segala
sesuatu telah terkemas rapi dalam bagasi penjemputan?! Apalah arti sebuah
rindu, bila jejak-jejak langkah telah bermuara pada sebuah titik keberangkatan?!
Apalah arti sebuah harap, ketika keinginan memilih telah kandas di sebuah
persimpangan tak pasti?! Apalah arti sebuah mimpi, tatkala bayang-bayang
kenangan selalu menjemputku kembali?!
Glenn Timor pun tengah berkisar di antara ruang dan
waktu dalam satu lingkaran pijak yang sama. Glenn Timor berada tepat di depanku
saat ini, hanya bisa terpaku dan menatapku dalam sebuah jarak etika yang pasti.
Sebuah jarak yang sama sekali tidak memungkinkan bagiku untuk barada dalam
dekap mesra Glenn Timor yang membelit rasa. Sebuah jarak yang tentu pula tidak
memberi peluang bagiku untuk kembali merasakan sentuhan hangat nafas Glenn
Timor di sekujur tubuhku.
Kulewati nol/zero
dalam deru mesin waktu yang terus membising, dan membawaku pergi dengan
setumpuk kenangan yang tetap membelenggu.
So kiss me and
smile for me//Tell me that you'll wait for me//Hold me like you'll never let me
go//’Cause I'm leaving on a jet plane//Don't know when I'll be back again//Oh
babe, I hate to go……(John Denver, LEAVING ON A JET PLANE).
0 comments:
Post a Comment