Gubernur DKI Jakarta: Basuki Tjahaja Purnama (Gambar:tribunenews) |
Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI
“Lagi-lagi dewan…lagi-lagi dewan!”
Ya, itulah kata-kata yang terucap ketika menyaksikan
tontonan berita televisi dan headline berita surat kabar dan media-media online
akhir-akhir ini. Bosan rasanya melihat acara televisi yang selalu diwarnai
dengan adegan-adegan tidak mendidik dari sebagian anggota dewan di negeri ini. Mau muntah (pinjam Nurul Arifin) rasanya
membaca berita yang hanya berisi kisruh
dewan melulu.
Setelah sekian lama rakyat muntah-muntah melihat kisruh dewan di Senayan, kini anggota DPRD
DKI Jakarta pun mulai berulah atas nama rakyat dan untuk kepentingan rakyat,
dan katanya lagi, hendak memberikan pendidikan dan pembelajaran politik kepada
rakyatnya(?). Dari segi pendidikan politik, entah unsur pendidikan dan
pembelajaran politik macam apa yang hendak diajarkan kepada rakyat. Sedangkan
aksi-aksi yang dipertontonkan hanyalah aksi kekanak-kanakan
yang cenderung menunjukkan ketidakcerdasan dan ketololan mereka.
Manfaat apa yang dapat dipetik dan dirasakan oleh rakyat jika
ulah dan aksi anggota dewan jelas-jelas mencerminkan isi kepala dewan yang
hanya dipenuhi dengan hawa nafsu
kekuasaan? Sangat menyedihkan melihat kenyataan di pihak elit saat ini yang
selalu tidak mau kalah atau mau menang sendiri dan merasa benar sendiri. Apakah kenyataan
seperti ini yang mau diajarkan kepada rakyat?
DPRD DKI Jakarta kembali menunjukkan hal yang sama yang
pernah dilakukan oleh DPR RI belum lama ini. Masih jelas dalam ingatan bahwa perseteruan dan pertikaian di antara dua kubu koalisi di DPR RI (Koalisi Merah
Putih dan Kolisi Indonesia Hebat) saling unjuk
gigi dalam memperebutkan kursi kekuasaan pimpinan dan alat kelengkapan
dewan yang berujung pada mosi tidak
percaya dan dualisme kepemimpinan dari
pihak koalisi yang kalah. Aksi yang sama pun tengah dipertontonkan saat ini oleh
para anggota dewan di parlemen DKI.
Kekisruhan parlemen DKI bermula dari polemik berkepanjangan
seputar penetapan Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama,
menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Ir. H. Joko Widodo yang telah
menduduki kursi RI 1. Ada berbagai macam tafsiran terhadap undang-undang yang
berkaitan dengan boleh atau tidaknya Ahok (sapaan akrab Basuki Tjahaja Purnama)
menggantikan Jokowi (sapaan akrab Ir. H. Joko Widodo) sebagai Gubernur DKI
Jakarta.
Saya tidak akan membahas secara khusus tentang isi
undang-undang apa/mana yang menjadi pro-kontra tersebut. Secara garis besar,
yang menjadi penyebab kekisruhan di parlemen DKI saat ini adalah ada kubu yang pro
(KIH) dan ada kubu yang kontra (KMP) dengan rencana penetapan Ahok sebagai
Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi. Kubu KIH mengatakan bahwa Ahok secara
otomatis harus ditetapkan sebagai Gubernur menggantikan Jokowi ketika Jokowi
telah ditetapkan/dilantik sebagai Presiden RI. Sedangkan kubu KMP mengacu pada
undang-undang lain yang menyatakan sebaliknya. Entah mana yang benar dan/atau
mana yang salah(?). Kenyataan ini sangat membingungkan rakyat.
Kubu KIH berada pada posisi yang sama dengan pemerintah
pusat yakni Kementerian Dalam Negeri RI yang telah memerintahkan DPRD DKI
Jakarta untuk segera menetapkan dan/atau melantik Plt. Gubernur DKI Jakarta,
Ahok, menjadi Gubernur DKI Jakarta definitif hingga tahun 2017 mendatang.
Sedangkan kubu KMP berada pada posisi yang sama dengan Front Pembela Islam
(FPI) yang secara mati-matian menolak
penetapan dan/atau pelantikan dimaksud.
Perbedaan pandangan dua kubu yang sangat tajam ini akhirnya
berujung pada ketidakhadiran seluruh anggota dewan dari kubu KMP dalam Sidang
Paripurna Istimewa DPRD DKI Jakarta (Jumat, 14 November 2014) dalam rangka
menetapkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Perbedaan yang sangat tajam itu
pula berimbas pada munculnya wacana dari kubu KMP untuk melaksanakan Sidang
Paripurna Istimewa tandingan. “Sedikit-sedikit
tandingan…! Sedikit-sedikit tandingan…! Tandingan kok cuman sedikit?” (he..he..)
Penolakan terhadap Ahok untuk menduduki kursi DKI 1 sebenarnya
telah dimulai sesaat setelah Jokowi yang saat itu masih menjabat sebagai
Gubernur resmi dicalonkan menjadi calon presiden oleh PDIP untuk Pilpres 2014. Rupanya
pencalonan Jokowi running for president
tersebut sudah menjadi momok tersendiri dan sekaligus menimbulkan kekuatiran
luar biasa bagi kelompok yang juga ingin bersaing dalam pilpres. Begitu pula
kekuatiran yang sama dialami oleh oknum dan kelompok tertentu di DKI yang tidak
rela DKI bakal dipimpin oleh Ahok yang bermata
sipit dan Nasrani itu jika
akhirnya Jokowi harus menang pada pilpres.
Kekuatiran yang berlebihan tersebut melahirkan kreatifitas
negatif untuk menjegal langkah Jokowi ke istana negara, sekaligus menghalangi
langkah Ahok menjadi orang numero uno
di Balaikota Jakarta. Black campaign berupa
Isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) diangkat sebagai senjata
pamungkas untuk menyerang Jokowi dan Ahok sekaligus. Jokowi dituduh kafir karena selalu/sengaja menggandeng
pasangan non Muslim di dua ajang pilkada yang berbeda. Di Solo, Wakil Walikota
F. X. Hadi Rudyatmo akhirnya menjabat Walikota Solo setelah Jokowi terpilih
menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan jangan sampai di Jakarta, Wakil Gubernur DKI
Jakarta, Basuki T. Purnama akan menjadi Gubernur jika Jokowi lolos melenggang
ke Isatana Kepresidenan.
Pada akhirnya, segala kekuatiran yang menghantui menjadi
kenyataan yang tidak bisa tidak
diterima. Jokowi, di luar dugaan kubu pesaing, keluar sebagai pemenang pilpres
dan mau tidak mau Jokowi pun nantinya harus menitipkan Jakarta kepada wakilnya yang
bukan beragama mayoritas. Untuk kedua kalinya Jokowi harus menyerahkan kursi emas DKI 1 yang digiuri banyak pihak kepada si Nasrani dan bermata sipit pula. Apa kata para “peserakah” kekuasaan yang hanya bisa menatap tanpa daya sambil meratapi
langit? “Sakitnya di sini..!” sambil menekan
dada (he..he..dangdut).
Sebut saja satu, dua, atau lebih anggota dewan dari kubu
KMP yang gencar menolak penetapan Ahok sebagai Gubernur definitif (atau mungkin
sedang birahi kekuasaan) dengan
pontang-panting mencari-cari celah undang-undang yang sekiranya bisa menjegal
langkah Ahok. Sebenarnya alasan undang-undang yang diumbar tersebut hanyalah
topeng yang dipakai untuk menutupi “wajah
garis keras” yang melekat pada diri
mereka selama ini. Mereka adalah para pengecut yang bisanya cuma “lempar batu sembunyi tangan”, dan hanya
bisa bersembunyi di balik ketiak FPI (Front Pembela Islam) yang secara
terang-terangan menolak Ahok hanya karena Ahok beragama Kristen, yang disebut-sebut sebagai orang kafir, bahkan Ahok dikatakan sebagai musuhnya Islam.
Sungguh ironi, Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini diobrak-abrik oleh segelintir oknum
dan/atau organisasi massa (ormas) yang sengaja berlindung di balik Islam untuk melawan
hukum positif yang berlaku. Ormas yang menganut paham anarkisme ini pun dengan
leluasanya menunggangi Islam dan sekaligus meng-kambinghitam-kan Islam untuk
menghalalkan segala tindakan biadab mereka yang tidak Islami. Oleh karenanya,
pantas juga jika Ahok menyebutnya ormas yang menyimpang dari jalan Tuhan ini sebagai Front Perusak Islam dan
tidak layak untuk hidup di Indonesia.
Kini Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah resmi
ditetapkan sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan tinggal menunggu waktu pelantikan
oleh Presiden atau Wakil Presiden atau Mendagri pada 18 November 2014 mendatang.
“Selamat bekerja,
bapak Gubernur DKI Jakarta yang baru, bapak Basuki Tjahaja Purnama!”
0 comments:
Post a Comment