Pilpres 9 Juli 2014 (Gambar: Pemilihan.Info) |
Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI
Pilpres dan hiruk-pikuk pilpres sudah usai dengan jalan
penuh liku yang akhirnya bermuara di Mahkamah Konstitusi. Semarak pesta
pelantikan Presiden-Wakil Presiden pun sudah selesai dimulai dari Gedung
MPR/DPR hingga ke jalan-jalan pada Senin, 20 Oktober 2014. Kita pun sedang
menanti kerja dari Kabinet Kerja Jokowi yang sudah dimulai sesaat setelah
pelantikan menteri pada Senin, 27 Oktober 2014. Dewan pun sudah mulai bekerja
dengan start yang buruk dan masih
menyisakan kekisruhan dualisme
kepemimpinan yang entah kapan berakhir.
Pada kesempatan ini, saya hanya ingin melakukan kilas balik
tentang pilpres 2014 baru lalu dari sudut pandang saya pribadi. Mungkin
catatan-catatan berikut sudah tidak aktual, tetapi sekiranya bisa menjadi
pelajaran berharga bagi kita semua baik rakyat maupun elit yang akan terlibat
kembali pada musim-musim politik berikutnya. Berikut catatan selengkapnya:
Saya mempunyai penilaian yang berubah-ubah terhadap sosok capres
yang kalah dalam pertarungan pilpres serta koalisi yang mendukungnya. Semula
saya sangat bersimpati, kemudian hilang simpati saya, dan saat ini tadinya saya
mulai bersimpati kembali, tapi batal demi hati nurani. Hal ini disebabkan
karena pasang surut suhu politik yang tidak menentu, dan apalagi naik turun
tensi politik yang sampai sekarang selalu berujung kisruh di parlemen.
Atau mungkin karena saya bukanlah contoh
penilai yang baik dan konsisten, tidak seperti pendukung fanatiknya yang “mati-matian” membela sang idol ini, sehingga saya bisa dengan
mudah mengalihkan dukungan saya kepada sosok yang lain.
Oleh beberapa teman, saya dikatakan plin-plan, bagai air di daun talas(?). Mungkin saja seperti itu,
tapi bisa dipastikan bahwa saya bukanlah tipe pendukung yang irasional, yang asal mendukung dan
memihak tanpa alasan, atau tipe pendukung yang hanya melihat casing luar-nya saja. Pada kesempatan
ini saya ingin mengemukakan pandangan dan alasan saya tentang tuduhan “ke-plin-plan-an” yang sebenarnya tidak
berdasar tersebut (he2x..).
Sebelum masuk pada inti permasalahan, saya ingin bercerita
sedikit tentang saya dalam hal dukung-mendukung.
Pada saat menonton sebuah pertandingan olahraga, misalnya, teman-teman saya
sering merasa aneh dengan saya, karena saya tidak terang-terangan mendukung
siapa pun atau tim mana pun yang akan bertanding. Mereka sulit menebak siapa
yang akan saya dukung. Tentu saya juga sudah memiliki idola kepada siapa
dan/atau tim tertentu, tapi saya bisa saja mengalihkan dukungan saya kepada
pihak competitor, atau bahkan akhirnya
tidak mendukung siapa pun. Kenapa begitu?
Dalam setiap event pertandingan, yang saya nilai bukan
semata-mata siapa melawan siapa, melainkan juga materi/pola dari
pertandingan itu sendiri yakni cara bertanding yang sudah jelas melibatkan
teknik dan strategi bertanding. Saya ingin menyaksikan sebuah pertandingan
secara utuh, dan menikmati seni bertanding yang ada di setiap pertandingan,
tidak hanya sekedar menyaksikan dan memihak. Maka saya bukanlah tipe orang yang
senang bertaruh (judi) saat
menyaksikan sebuah pertandingan. Sebagaimana orang lain, saya pun sebenarnya telah
memiliki keberpihakan terhadap subyek/tim tertentu yang bertanding. Namun jika
yang saya idolakan tidak menunjukkan performa yang baik, maka dengan berat hati
saya harus mengalihkan keberpihakan saya pihak lawan yang sekiranya memiliki
performa yang lebih baik. Jika performa kedua-duanya tidak baik, maka saya
tidak akan mendukung siapa pun.
“Kembali ke laptop!”
Sejak awal, jauh hari sebelum pencapresan, saya sangat
kagum dan bangga pada sosok mantan militer yang digadang-gadang cocok untuk
menduduki RI 1. Kekaguman saya muncul karena ia sangat gigih memikirkan dan ingin
memperjuangkan nasib kehidupan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
selain tentunya menurut banyak orang, ia juga tampan. Ia adalah satu-satunya
tokoh yang sudah muncul dan mengkampanyekan visi dan misi untuk kemajuan
Indonesia sesaat setelah duet dirinya bersama salah satu ketum partai gagal
dalam Pilpres 2009. Visi dan misi yang pro rakyat tersebut menjadi daya tarik
tersendiri bagi rakyat yang rindu move on.
Sebagai single
fighter (satu-satunya tokoh yang telah mendeklarasikan diri “running for president), ia menjadi sosok calon presiden yang berhasil
menyita perhatian seluruh rakyat Indonesia khususnya kaum muda di seluruh
pelosok nusantara. Ia menjadi tokoh idaman yang diharapkan dapat menjadi
pemimpin bangsa dan negara ini kelak untuk kesejahteraan dan kemakmuran. Dan
memang, ia adalah sosok yang dirasakan cocok saat itu untuk memimpin bangsa dan
negara ini, karena katanya (sekali lagi “katanya”) ia memiliki tampang presiden (presidential look), dan katanya lagi memiliki sikap tegas karena
berlatarbelakang militer.
Musim politik 2014 tiba, dan sang capres tersebut tetap menjadi
calon kuat Presiden RI ke-7 oleh sebagian besar lembaga survey yang sulit
digeser. Dan memang benar, ia selalu menempati puncak polling tertinggi sebagai calon kuat presiden dibanding dengan
tokoh-tokoh lainnya. Alasan kenapa ia selalu yang tertinggi dalam survey,
menurut saya, adalah karena pada saat itu ia, jauh-jauh hari, telah memanfaatkan
waktu dengan baik untuk melakukan start
kampanye atau, boleh dikatakan, mencuri
start. Di samping itu, pencalonannya sebagai presiden sejak awal sekali telah
memberi suatu kepastian pilihan kepada rakyat yang pada waktu itu belum
memiliki pilihan. Rakyat sudah terlanjur mengenal dan mengetahui sosok calon
yang pasti ditambah dengan visi-misinya yang jelas dan pro pada rakyat.
Ia menjadi satu-satunya calon yang selalu dan selalu meniupkan angin segar tentang kemajuan
bangsa dan negara, kesejahteran dan kemakmuran rakyat, membangun ekonomi
kerakyatan, dan lain sebagainya. Angin segar
tersebut sudah tentu menjadi sebuah harapan besar bagi seluruh rakyat
Indonesia yang selalu tidak sejahtera dan semakin terpuruk dalam kemiskinan.
Apalagi, perjuangannya untuk menjaga harga diri bangsa di
antara bangsa-bangsa lain menjadi hal simpatik yang diidam-idamkan rakyat.
Sebut saja, kita selalu dilecehkan dan direndahkan derajat kita sebagai bangsa
oleh negara tetangga Malaysia, hanya karena tercatat banyak pekerja kita yang
bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan buruh kasar di negeri Jiran tersebut.
Kenapa anak kita rela menjadi jongos di negeri orang (?), karena pemerintah
kita belum dan selalu tidak mampu menyiapkan lapangan pekerjaan yang layak di
negeri sendiri. Belum lagi, terdapat begitu banyak perlakuan-perlakuan tidak
wajar yang selalu menimpa tenaga kerja kita; pelecehan seksual dan
ketidakadilan hukum.
“Kembali ke laptop!”
Tarik ulur penentuan calon presiden dari beberapa partai
pemenang pemilu legislatif 9 Mei 2014 pun menjadi salah satu penyebab mengapa
sang tokoh pencinta kuda tersebut tetap unggul di peringkat teratas polling calon presiden. Begitu pula,
walaupun sudah ada nama-nama calon lain yang belum tentu lolos seperti nama ketum
partai pohon beringin, penyanyi dangdut yang tidak suka begadang, mantan ketua mahkamah (bukan si maling Akil) yang selalu menghasilkan putusan yang
bersifat final dan mengikat, ketum partai dengan basis NU yang dulunya
didirikan oleh mantan Presiden RI ke-4, mantan menteri yang pernah marah-marah
di pintu tol, dan bahkan sang gubernur DKI asli Solo sekali pun (yang waktu itu
belum pasti direstui oleh ketum banteng moncong putih) belum mampu menggeser
peringkat kepopuleran sosok sang garuda di dadaku tersebut sebagai calon presiden
terkuat.
Persaingan baru benar-benar terjadi saat pencalonan
presiden-wakil presiden mengerucut pada dua capres-cawapres yakni No 1 dan No 2.
Persaingan kedua capres-cawapres ini juga didukung oleh gabungan partai-partai
politik yang membentuk dua koalisi besar. Koalisi Gendut yang mendukung Calon
No 1 digawangi oleh Garuda, Pohon Beringin, Matahari Putih, Daging Sapi, Ka’bah,
Bulan Bintang dan Mercy yang bersikap plin-plan.
Koalisi Ramping yang mendukung Calon No 2 digawangi oleh Banteng Perjuangan, Bulan
Sabit Kuning, Hijau NU, Kuning Kunyit, dan Ke/per-Satu-an. [Next: Saat Saya Harus Memilih]
0 comments:
Post a Comment