Bersatu kita teguh. |
Rakyat Indonesia sudah (baru saja) memiliki Presiden dan
Wakil Presiden yang baru, Ir. H. Joko Widodo dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla,
yang dilantik pada Senin, 20 Oktober 2014 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Idonesia untuk periode 2014-2019.
Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) tercatat sebagai Presiden RI ke-7, dan Drs.
H. Muhammad Jusuf Kalla (JK) tercatat sebagai Wakil Presiden RI ke-12.
Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI di Gedung MPR RI
merupakan puncak dari segala kekisruhan politik yang hampir tak berujung.
Sebelumnya (sebelum pelantikan), rakyat Indonesia serasa mengalami suatu
situasi layaknya politik kolonialisme “devide
et impera” (adu domba) untuk
memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa. Konflik elit di tingkat atas sungguh memberikan nuansa permusuhan hingga tingkat bawah. Sebagai
rakyat kecil, saya bisa merasakan situasi tersebut. Ada peng-kotak-kotak-an yang disebabkan oleh
keberpihakan berlebihan terhadap calon-calon yang ada, ditambah lagi dengan
sikap elit politik yang tidak mau kalah (mau menang sendiri dan merasa benar
sendiri), dan sedikit pun tidak menunjukkan sikap kenegarawanan yang patut
dipuji.
Ada tokoh-tokoh politik yang hanya karena kepentingan
sesaat memberikan pernyataan-pernyataan yang meruncing suasana perpolitikan
yang semakin memanas. Sebut saja, tokoh seperti Amin Rais (yang menurut saya, masih
diragukan ketokohannya sebagai tokoh reformasi) yang dengan mudahnya dan seenak perutnya menganalogikan
persaingan politik antara Jokowi dan Prabowo sebagai sebuah “Perang Badar”. Seolah-olah Prabowo dan
kubu pendukungnya (termasuk Amin Rais di dalamnya) adalah segerombolan kalekat (kodok, pen)…eh…malaikat yang
mewakili kelompok yang paling benar dan suci(?), sehingga harus “memerangi dan memusnahkan” Jokowi dan kelompoknya sebagai pihak musuh.
Begitu pula dengan kelompok pendukung Prabowo yang sengaja
menggunakan isu SARA (Suku-Agama-Ras dan Antar Golongan) untuk menyerang pihak Jokowi dan pendukungnya.
Belum lagi, tuduhan-tuduhan yang tidak beralasan yang mengatakan bahwa partai
pendukung, Jokowi dan keluarganya adalah
PKI. Sungguh miris memang melihat
cara berpolitik yang tidak elegan dan isu-isu yang sengaja dipropagandakan oleh
kelompok/simpatisan Prabowo untuk menjatuhkan Jokowi sebagai rival politiknya.
Di lain pihak, kelompok Prabowo pun merasa menjadi obyek serangan oleh pihak Jokowi dan
pendukungnya dengan isu-isu yang menurut mereka sangat tidak beralasan. Isu
keterlibatan Prabowo pada penculikan para aktivis reformasi tahun 1997-1998 dan
isu Hak Asasi Manusia (HAM) lainnya menjadi momok tersendiri bagi Prabowo dan
pendukungnya.
Kedua kubu, baik Prabowo maupun Jokowi, sama-sama mengaku
paling banyak diserang dengan negative
& black campaign yang tidak berdasar. Sama-sama mengaku paling
menderita dengan caci-maki, hujatan dan fitnahan. Memang kalau boleh dikatakan,
ajang politik yang baru lalu benar-benar mencerminkan sisi gelap kepribadian bangsa Indonesia yang sangat memprihatinkan
sekaligus memalukan. Degradasi moral dan budi pekerti menjadi cermin kemunduran
peradaban anak bangsa yang patut disayangkan.
“Dimanakah nilai-nilai moral, etika, sopan-santun, hati
nurani, pola pikir positif, dan nilai-nilai agama dari bangsa yang berketuhanan
dan berperikemanusiaan ini? Apakah politik harus sekotor dan seburuk itu?
Apakah orang-orang yang terlibat dalam politik (pelaku politik atau politikus
atau apapun namanya) harus berlaku dengan cara yang tidak beretika, tidak
bermoral dan/atau sebiadab itu?”
Semoga saja peristiwa politik yang baru saja dialami oleh
bangsa ini menjadi pelajaran berharga di masa-masa yang akan datang. Kiranya
sebesar apapun persaingan politik yang dihadapi tidak membuat kita menjadi buta
dan seketika itu kita menunjukkan sikap dan sifat kebinatangan yang merendahkan peradaban dan kepribadian bangsa yang
telah dirajut sekian lama. Sekeras apapun pertarungan
politik yang dialami tidak menggilas nilai-nilai etika, moral dan agama
yang menjadi landasan hidup dan kehidupan kita sebagai bangsa yang bermartabat.
Saatnya kita sebagai anak bangsa kembali bersatu,
bergandengan tangan, satu hati dan satu jiwa untuk kemajuan bangsa dan negera
ini. Pada kesempatan ini pun saya ingin mengucapkan rasa simpati yang tulus
kepada para elit, yang sebelumnya (pada pertarungan
kali lalu) tidak mengindahkan nilai-nilai yang telah disebutkan di atas
sehingga berlaku seperti binatang,
yang telah menunjukkan sikap kenegarawanan mereka yang sangat berpengaruh
positif kepada rakyat di bawah. Semoga saja sikap kenegarawanan elit tetap
dijaga dan dipelihara untuk hal-hal yang mulia yaitu membangun bangsa dan
negara Indonesia yang lebih baik dan lebih hebat di antara bangsa-bangsa lain.
Saat ini saya, dan pastinya seluruh rakyat Indonesia,
merasa sangat bersukacita melihat “perdamaian”
para tokoh/elit di tingkat atas antara Jokowi dan Prabowo, “persahabatan” di antara Jokowi dan para pimpinan MPR RI dan DPR RI
yang bukan berasal dari koalisi yang sama, dan “cooling down” dan kesepahaman di antara kubu Koalisi Merah Putih
dan Koalisi Indonesia Hebat yang semoga saja bukan merupakan fatamorgana. Sebenarnya rakyat sudah
muak dengan segala perilaku yang sengaja menebar benih-benih permusuhan di
tingkat elit. Yang rakyat inginkan adalah tensi politik yang sejuk dan tenang guna terciptanya suasana rukun,
damai, persahabatan, kekerabatan dan kekeluargaan dalam membangun Indonesia.
Salut dan hormat untuk Prabowo Subianto yang sebelumnya
sempat diragukan ke-negarawan-annya,
ke-patriot-annya dan ke-ksatria-annya! Semoga saya tidak lagi
salah menilai, kalau anda adalah negarawan,
patriot dan ksatria sejati!
Begitu pula dengan para elit Koalisi Merah Putih di Senayan, anda pun akan
disebut sebagai negarawan, patriot
dan ksatria sejati jika anda benar-benar
melaksanakan tugas dengan baik dan bertanggung jawab; mendengarkan suara
rakyat, melaksanakan amanat rakyat, mengutamakan kepentingan rakyat, dan fokus dalam
memperjuangkan kemajuan bangsa dan negara.
0 comments:
Post a Comment