Rising Star Indonesia di RCTI (Gambar: rcti.tv) |
November 29, 2014
Panggung Rising Star Indonesia Gagal “Ber-endang-endut”.
Oleh: Pietro T. M.
Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI
Rising Star Indonesia
(Only Star Will Rise!) di RCTI, Jumat 28 November 2014,
memasuki babak Lucky Seven yang mengusung
tema “Dangdut & Melayu”. Para peserta akan diuji kebolehannya untuk unjuk gigi dalam menyanyikan lagu-lagu
Dangdut dan/atau Melayu. Sayangnya, Panggung Rising Star kali ini yang
seharusnya dihiasi “cengkok & aksi
joget” ini tidak berlangsung sesuai dengan
tema yang diusung.
Panggung Rising Star Indonesia
kali ini menyisakan 7 peserta yang saling beradu kebolehan bernyanyi untuk
merebut The Best Six pada Jumat depan
(5/12/2014). Acara yang berlangsung kurang lebih 3 jam ini menghadirkan expert Bebi Romeo (Penyanyi/Producer),
Kevin “Vierra”, Ayu Tingting (Penyanyi Dangdut), dan Ahmad Dhani (Producer).
Ketujuh peserta yang bertarung adalah Reyna Qontrunnada, Hanin Dhiya, Sonny
Saragih, Indah Nevertari, Ghaitsa, Evony Arty, dan Bluesmates.
Tantangan panggung Rising
Star kali ini yang menghadirkan tema “Dangdut & Melayu” tidak mampu
dijawab oleh sebagian besar peserta Lucky
Seven ini. Lagu-lagu yang dipilih oleh para lucky 7 keseluruhannya adalah lagu Dangdut dan Melayu, tapi
lagu-lagu tersebut dibawakan dengan cara yang sama sekali tidak bernuansa Dangdut dan Melayu. Kelihatan
sekali para peserta tidak mau(?), atau tidak mampu(?), atau tidak berani(?)
bernyanyi dalam genre musik Dangdut dan
Melayu.
Tema Dangdut dan Melayu, menurut hemat saya gagal
terlaksana di malam Lucky 7 ini.
Panggung Rising Star Indonesia gagal
menghadirkan tontonan yang seharusnya, menurut Ahmad Dhani, mengusung tema Tribue to dangdut tersebut. Sebagian
besar peserta menyanyikan lagu-lagu dangdut/Melayu dalam arransemen yang tidak berbeda
dengan lagu-lagu ber-genre jazz. Panggung
yang seharusnya Tribute to Dangdut/Melayu
menjadi panggung Jazz Night.
Sebenarnya, jika kita melihat secara kesuluruhan, aksi-aksi
yang ditunjukkan oleh para peserta sangatlah luar biasa. Tidak ada yang salah
dengan mereka. Aksi-aksi yang ditunjukkan pun sangat memukau. Ketujuh peserta
tersebut telah menunjukkan kualitas vokal/bernyanyi yang sangat tinggi.
Masing-masing peserta telah menampilkan keunikan dan ciri khas bernyanyi yang
berbeda satu dengan yang lainnya. Keunikan dan ciri khas mereka patut diacungi
jempol.
Bebi Romeo dalam penilaiannya sering mengatakan bahwa melihat
dari bakat/talenta luar biasa dari masing-masing peserta, peserta-peserta ini memang
terlahir untuk bernyanyi (born to sing)
yakni terlahir dengan suara yang bagus sebagai anugerah dari Tuhan. Ada pula
penyanyi yang memiliki vokal yang ber-citarasa
internasional. Dan itu semua patut dibanggakan, mengingat usia para peserta
yang masih belia, yang masih memiliki perjalanan karir yang panjang ke depannya.
“Namun, kenapa pada malam tribute to dangdut (istilah Dhani) ini, para peserta tidak
bernyanyi dangdut atau bernyanyi Melayu?” Pertanyaan ini muncul bukan karena
saya sangat fanatik dengan musik/lagu dangdut atau Melayu, tetapi lebih kepada
kenapa para peserta tidak berani mengeksplorasi kemampuan mereka untuk
bernyanyi dangdut atau Melayu di ajang spektakuler ini.
Para peserta memang menampilkan sesuatu yang berbeda,
tetapi sesungguhnya melenceng dari tantangan/tema yang diusung pada pertunjukan
malam itu. Melihat aksi para kontestan yang tidak sepenuhnya bernyanyi
dangdut/Melayu, Ahmad Dhani pun sempat mengatakan bahwa bernyanyi dangdut bukan
hal yang mudah. Ketika diperhadapkan dengan lagu dangdut/Melayu, para peserta jangan
berpikir “mau atau tidak mau” bernyanyi dangdut/Melayu,
tetapi “bisa atau tidak bisa”.
Menurut saya, sebenarnya seorang penyanyi yang born to sing harus mau dan bisa menyanyikan
lagu apa saja dan/atau menerima tantangan apa saja yang disodorkan. Saya yakin
sesusah-susahnya dangdut/Melayu pasti bisa dibawakan oleh para kontestan ini. Sebenarnya
ada misunderstanding dari para
kontestan dalam menyikapi tantangan untuk bernyanyi dangdut dan Melayu.
Lagu-lagu tersebut memang harus dibawakan sesuai karakter bernyanyi masing-masing
peserta, tetapi bukan berarti harus merubah genre
lagu-lagu tersebut.
Arransemen musik yang dinakodai Bang Onny (kalau tidak salah) tidak menampilkan kekhasan dari genre dangdut/Melayu. Arransemen musik hanya
mengikuti arransemen vokal dari masing-masing peserta, demikian yang dikatakan
oleh Hanin Dhiya (peserta Rising Star
RCTI termuda berusia 13 tahun). Mau dikatakan salah pun tidak, karena memang arransemen musik harus disesuaikan
dengan cara bernyanyi dari masing-masing peserta. Dengan demikian maka dapat
dikatakan bahwa pada babak Lucky Seven kali
ini, peserta Rising Star Indonesia-lah
yang tidak mau dan/atau tidak berani (bukan tidak bisa) mengeksplorasi kemampuan mereka untuk menjawab
tantangan panggung Rising Star Indonesia
yang seharusnya “bercengkok” dan “berjoget” ria.
Dari tujuh peserta, hanya satu peserta, Indah Nevertari, yang
menurut saya berani mengeksplorasi kemampuan olah vokalnya serta dapat menyuguhkan
aksi brilian yang sekaligus menghentak panggung spektakuler Rising Star Indonesia. Nirmala, sebuah lagu Melayu yang sangat terkenal
di Malaysia dibawakan dengan sangat sempurna dengan menghadirkan teknik olah
vokal, ciri khas bernyanyi dan aksi panggung seorang Nevertari yang memang sangat mendukung tema panggung Rising Star Indonesia yang sesungguhnya:
“Tribute to Dangdut/Melayu”.
Kontestasi panggung Rising
Star Indonesia akhirnya menyisakan 6 kontestan yakni: Reyna Qontrunnada, Hanin
Dhiya, Indah Nevertari, Ghaitsa, Evony Arty, dan Bluesmates, yang akan
bertarung pada babak The Best Six
minggu depan (5/12/2014). Sonny Saragih (peserta berusia 15 tahun) harus puas
berada di posisi tujuh besar, dan harus
meninggalkan teman-teman seperjuangannya yang juga sekaligus sebagai competitor di ajang Rising Star Indonesia. Sonny
yang sejak awal telah menduduki kursi
panas tidak mampu bersaing dengan Bluesmates,
Band Blues asal Surabaya, dalam pengumpulan dan perolehan prosentasi penilaian
tertinggi.
Rising Star
Indonesia: Only Star Will Rise!
[http://hiburan.kompasiana.com/musik/2014/11/29/panggung-rising-star-indonesia-gagal-ber-endang-endut-689346.html]
KPK Menjemput “Bola Pertama” Di NTT
Marthen Dira Tome (Gambar: Pos Kupang) |
Oleh: Pietro T. M.
Netti
Tuan Rumah RUMAH
IDE & KREASI
Senin, 17 November 2014, suasana Dinas Pendidikan Dan
Kebudayaan Propinsi Nusa Tenggara Timur di Jl. Jend. Soeharto, depan kampus
Universitas Nusa Cendana lama, dikejutkan dengan kedatangan sejumlah aparat
berseragam Brimob Polda Nusa Tenggara Timur dengan bersenjata lengkap. Kedatangan
anggota Brimob secara mendadak ini sempat membuat panik para pegawai di dinas
setempat yang baru saja melaksanakan apel pagi (Apel Kesadaran tiap tanggal
17).
“Mungkinkah ada kasus tindak kejahatan/kriminal yang sedang
terjadi? Atau mungkinkah ada teror yang dilancarkan oleh orang tidak dikenal
yang mengancam keselamatan kantor dan karyawan?”
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka di benak
pegawai-pegawai saat itu. Suasana baru sedikit mencair ketika di antara kurang
lebih sepuluh personil Brimob tersebut terdapat pula aparat penegak hukum
lainnya yang mengenakan rompi yang bertuliskan
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Walaupun demikian, suasana tetap
menegangkan, karena kehadiran para aparat penegak hukum ini (KPK) tidak
disangka-sangka sebelumnya oleh para karyawan.
“Kami tidak menyangka sama sekali KPK akan datang! Tidak
ada pengumuman atau pemberitahuan sebelumnya!”, ungkap beberapa karyawan.
Kehadiran KPK di Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi
NTT terkait dengan penyelidikan kasus tindak pidana korupsi dana Pendidikan
Luar Sekolah (PLS) tahun 2007. Kasus korupsi ini melibatkan Bupati Sabu Raijua,
Marthen Dira Tome, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Bidang PLS. Status
orang nomor satu di Kabupaten Sabu Raijua telah ditetapkan sebagai tersangka
oleh KPK, setelah sekian lama terkatung-katung di Kejaksaan Tinggi NTT.
Menurut Juru Bicara KPK, Johan Budi, dalam pengelolaan dana
PLS ditemukan penyaluran dana yang tidak sesuai peruntukkannya yang menyebabkan
kerugian negara sebesar Rp. 77 miliar (Pos Kupang).
Penetapan status tersangka kepada Marthen oleh KPK ini
menjadi sorotan tersendiri bagi masyarakat NTT pada umumnya, mengingat NTT
adalah salah satu Propinsi yang belum pernah dijamah oleh KPK sebelumnya. Dari sekian banyak kasus korupsi di
Indonesia yang ditangani, dan sekian banyak tersangka koruptor yang ditetapkan oleh
KPK, belum ada satupun kasus korupsi di NTT yang ditangani oleh KPK. Begitu
pula dengan belum adanya satu pun tersangka koruptor di NTT yang ditetapkan
oleh KPK.
Memang telah banyak tersangka kasus korupsi yang sudah
ditangani oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan dan dijebloskan ke dalam penjara,
tapi tingkat kepuasan masyarakat belum sepenuhnya terobati jika bukan KPK yang
menanganinya langsung. Mengingat pula pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi
ini memang untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.
“Para koruptor seharusnya digilas sendiri oleh KPK!”, demikian harapan masyarakat NTT.
Saat ini masyarakat NTT mulai melihat titik terang
pemberantasan korupsi di NTT, walaupun masih banyak kasus yang diduga
menyelewengkan uang negara ini belum sepenuhnya tersentuh oleh KPK. “Bola pertama” telah dijemput KPK, dan
kiranya KPK akan terus menjemput “bola-bola”
berikutnya yang masih bebas “menggelinding”
di tanah Flobamora (Flores,
Sumba, Timor, Alor) baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten/kota.
[http://regional.kompasiana.com/2014/11/28/kpk-menjemput-bola-pertama-di-ntt-689030.html]
[http://regional.kompasiana.com/2014/11/28/kpk-menjemput-bola-pertama-di-ntt-689030.html]
November 28, 2014
“Tamatan Malaysia” Rata-Rata Sakit Jiwa
Tuan Rumah RUMAH
IDE & KREASI
Ada fenomena unik yang saya jumpai sendiri saat saya
berkesempatan menetap dan bekerja selama beberapa saat di Pulau Batam dan Pulau
Bintan di tahun 2000 silam. Dimana-mana di kedua pulau ini terdapat cukup
banyak orang yang oleh warga setempat biasa dijuluki sebagai “Tamatan/Lulusan/Alumni Malaysia”.
Jika dilihat dari kehidupan para “alumnus” ini memang sangat memprihatinkan, tetapi begitulah
kenyataan yang terjadi. Mereka adalah sosok-sosok yang tidak jelas atau lebih
tepatnya tidak diketahui asal-usul dan latar belakang identitas, keluarga dan
kewarganegaraannya. Teman-teman saya mengatakan bahwa para alumnus ini ada yang berasal dari Vietnam, Philipine, India, negara-negara
tetangga lainnya di Asia Tenggara dan Asia, dan juga sebagian lagi berasal dari
Indonesia sendiri yang tidak bisa kembali ke kampung halamannya masing-masing.
Para lulusan Malaysia ini menghabiskan hidup
keseharian mereka di jalan-jalan, di emperan-emperan toko, tapi tanpa meminta
dan mengharapkan belas kasihan orang-orang di sekelilingnya. Ya, mereka hidup
dengan cara mereka sendiri tanpa berniat membebani orang lain. Mereka bukan preman yang hidup dengan mengandalkan
kekerasan dan/atau pemerasan. Mereka juga bukan gelandangan dan pengemis
yang mengulurkan tangan untuk sekeping/dua keping rupiah walaupun banyak orang
yang turut merasa berbelas kasihan dan iba kepada mereka. Mereka juga bukan pelaku kriminal atau bahkan teroris walaupun kadang suka membuat
onar dan menebar teror.
Mereka adalah para “Tamatan/lulusan/alumni
Malaysia” (istilah yang dilekatkan pada diri mereka). Ya, para tamatan/lulusan/alumni ini adalah mantan
pekerja keras di negeri Jiran Malaysia yakni para mantan tenaga kerja yang akhirnya
dideportasi keluar dari Malaysia. Yang aneh dari para mantan tenaga kerja ini adalah bahwa mereka
semua mengalami gangguan jiwa akut alias
tidak waras atau gila. Ada cerita yang berkembang bahwa sebagian besar dari
mereka sebelumnya adalah tenaga kerja illegal yang ditangkap dan telah
menjalani masa hukuman di Malaysia dan kemudian dideportasi. Rata-rata mereka
memiliki bekas luka cambuk di bagian punggung, dan anehnya rata-rata dari
mereka menjadi berangsur-angsur tidak waras setelah dideportasi.
Telah menjadi pengetahuan umum bahwa pemerintah kerajaan Malaysia
hingga saat ini memberlakukan hukum cambuk (sesuai Hukum Syariat) kepada setiap pelanggar hukum di negeri
Jiran ini. Bekas cambukan di tubuh mereka akan menjadi kenang-kenangan abadi
bagi mereka yang pernah melakukan tindak kriminal. Yang belum menjadi
pengetahuan umum bagi kita adalah: “Kenapa sebagian besar mantan tenaga kerja termasuk
Tenaga Kerja Indonesia dan/atau Tenaga Kerja Wanita (TKI/TKW) yang pernah
bekerja di negeri serumpun ini selalu
menderita sakit jiwa/tidak waras/gila setelah
dideportasi atau setelah pulang kampung?”
Selama berdomisili di Batam (3 bulan) dan di Bintan (9
bulan), saya sempat mendapatkan informasi-informasi dari warga setempat yang
membuat trenyuh, karena
informasi-informasi tersebut sungguh tidak bisa diterima oleh akal sehat saya.
Entah benar atau tidak benar, itulah informasi yang saya dengar. “Setiap orang
gila yang ada di Batam/Bintan pastilah tamatan/lulusan/alumni
dari Malaysia!” demikian pendapat-pendapat warga di dua pulau di Kepulauan Riau
ini.
Semula saya berpikir jika para tamatan Malaysia ini kemungkinan besar mengalami stress
berkepanjangan sebagai akibat dari siksaan, hukuman dan pendeportasian yang
mereka alami yang akhirnya menyebabkan mereka mengalami gangguan jiwa. Dugaan
siksaan yang menimpa para tenaga kerja ini juga diakui oleh sebagian warga
sebagai salah satu pemicu terjadinya gangguan jiwa walau diakui sangat kecil
kemungkinannya. Saya juga berpikir jika para tamatan Malaysia ini, lagi-lagi, mengalami stress mengingat begitu
kerasnya kehidupan di Batam dan/atau di Bintan yang harus dijalani. Namun
dugaan saya tersebut langsung dibantah oleh sebagian besar warga masyarakat.
“Kalau alasannya stress tentang kerasnya kehidupan, kitapun pasti sudah gila
sejak lama!”
“Lantas apa yang sebenarnya terjadi dengan nasib para Wisudawan Malaysia tersebut?”
Melihat fenomena orang
gila yang tidak diketahui asal-usulnya ini yang juga adalah mantan tenaga
kerja di Malaysia ini, saya mendengar banyak sekali pendapat warga yang senada.
Saat ditanya: “Siapa orang-orang itu?”,
jawabannya selalu sama: “Tamatan dari
Malaysia!” Jika ditanya lagi: “Kenapa
mereka menjadi tidak waras atau gila?”, jawabannya singkat, padat dan jelas:
“Disuntik laah…!”
Sekali lagi, telah menjadi “pengetahuan umum” bahwa hukum di Malaysia masih memberlakukan Hukum Cambuk yang merupakan penerapan dari Hukum Islam/Hukum Syariat. Yang belum menjadi “pengetahuan umum” adalah: “Kenapa sebagian besar mantan tenaga
yang pernah bekerja di negeri serumpun
ini selalu menderita sakit jiwa/tidak
waras/gila?” Namun demikian, ada satu hal yang sudah menjadi “rahasia umum” bahwa negeri Jiran inipun
melaksanakan Hukum Suntik (istilah
sendiri) kepada tenaga kerja yang berkewarganegaraan asing(?). Walaupun Hukum Suntik ini mungkin saja bukan
termasuk dan/atau tidak dikenal dalam Hukum Syariat di Malaysia, namun banyak
pihak yang membicarakan tentang pemberlakuan Hukum Suntik ini di Malaysia.
Dikatakan bahwa hukum
suntik ini tidak serta-merta membuat korban langsung menjadi tidak waras/gila, tapi secara
berangsur-angsur suntikan maut tersebut
akan merusak sel/jaringan syaraf otak. Isu suntik
gila yang, katanya, diberlakukan oleh oknum aparat penegak hukum di
Malaysia kepada para tenaga kerja illegal yang kemudian akan dideportasi ini
dimaksudkan agar para tenaga kerja illegal ini tidak akan kembali lagi ke
Malaysia dengan status yang sama (illegal) untuk mengadu peruntungan mereka.
Dikatakan pula bahwa menurut aparat keamanan di Malaysia, “sekali illegal akan tetap illegal”. Setelah disuntik, mereka
dipastikan tidak akan kembali lagi ke Malaysia karena pastinya mereka akan mengalami
hilang ingatan setelah dideportasi.
Tentu pendapat-pendapat warga di pulau Batam dan Bintan ini
tidak harus ditelan bulat-bulat, bisa
saja “salah”, tapi bisa juga “benar”. Apapun bisa terjadi! Oleh sebab
itu, perlu ada investigasi dan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan salah-benar-nya pendapat/cerita yang
sudah berkembang luas di tengah masyarakat ini. Hal inipun perlu menjadi perhatian
serius Pemerintah Indonesia dalam hal ini pihak-pihak terkait/berwajib, dan/atau
Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli pada penegakan Hak Asasi Manusia
untuk menelusuri dan mengungkap fakta dan kebenarannya. Jika saja benar sesuai dengan tuturan masyarakat
di atas, maka kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan Malaysia ini sungguh sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Negara/kerajaan yang mengusung Syariat
Islam ini akan dikenal sebagai negara dan bangsa paling biadab di muka bumi ini (butuh
pendalaman dan pembuktian lebih lanjut).
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), Kupang, juga terdapat banyak
kasus serupa yang luput dari perhatian pemerintah maupun pemberitaan media.
Para korban yang akhirnya menderita gangguan
jiwa tersebut juga rata-rata adalah mantan tenaga kerja yang pernah bekerja
di Malaysia. Sebagaimana kita ketahui, NTT juga tercatat sebagai salah satu
penyumbang tenaga kerja terbesar di Indonesia untuk dipekerjakan di Malaysia
dan beberapa negara lainnya. Kasus human
trafficking pun marak terjadi di NTT.
Masih lekat dalam ingatan kita, kasus yang menimpa Nirmala Bonat, TKW asal Timor, yang mengalami penyiksaan di luar
perikemanusiaan oleh majikannya di Malaysia. Dan masih banyak lagi kasus yang
sama dialami oleh saudara/i kita yang berasal dari daerah lain di Indonesia.
Pihak keluarga hanya bisa pasrah menerima keadaan apa adanya dan tidak bisa
berbuat banyak karena tidak tahu harus mengadu kemana(?).
Saya juga sempat kaget membaca tulisan seorang Kompasianer (----) beberapa hari yang
lalu (24/11/2014), yang membeberkan data TKI di daerahnya, Jawa ----, yang
mengalami gangguan jiwa. Dalam tulisan tersebut tercatat TKI yang pernah
bekerja di Malaysia, 70% diantaranya mengalami gangguan jiwa saat kembali ke
daerah asalnya. Sebuah data yang sangat mencengangkan! (Lihat: ---) Dan tulisan
itu pun menginspirasi saya untuk menceritakan fakta-fakta yang berhubungan
dengan para TKI yang mengalami gangguan jiwa seusai bekerja di Malaysia. Ada benang merah di antara data di Jawa ---
tersebut dan fakta-fakta yang terjadi di berbagai pelosok negeri.
“Mungkinkah sekian
banyak kasus serupa (kasus gangguan jiwa) yang terjadi di berbagai pelosok
negeri ini yang menimpa para TKI kita hanya sebuah KEBETULAN belaka? Mungkinkah
KEBETULAN saja sama-sama pernah bekerja sebagai tenaga kerja di Malaysia, dan
saat kembali ke tanah air KEBETULAN pula sama-sama mengalami gangguan jiwa?”
Melihat kasus-kasus yang terjadi dan yang menimpa Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) dan/atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri,
khususnya, di Malaysia, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Tenaga Kerja perlu
memberikan jaminan keamanan yang pasti dan bantuan hukum yang memadai bagi
mereka. Dalam pemberitaan-pemberitaan, para TKI kita yang bekerja di luar
negeri sering mendapat perlakuan yang tidak bereprikemanusiaan dari
majikan-majikan mereka. Kasus hukum yang dialami dan tuntutan hukum yang
dikenakan kepada para TKI/TKW pun tidak adil, cenderung mengada-ada dan malah
terkesan semena-mena.
Lebih khusus lagi, Pemerintah dalam hal ini aparat
terkait/berwenang (entah apa itu namanya) perlu menganalisa penyebab gangguan
jiwa yang terjadi pada kebanyakan tenaga kerja kita yang rata-rata pernah
bekerja di Malaysia. Dan yang terakhir, bila perlu, Pemerintah bisa mengerahkan
Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mengusut dan/atau menelusuri isu Hukum Suntik atau Suntik Gila yang marak diperbincangkan tersebut.
Sekali lagi, mengakhiri tulisan ini, saya ingin menggarisbawahi
dan mempertegas kembali pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengusik hati dan
pikiran saya sekian lama sejak tahun 2000 silam. Pertanyaan-pertanyaan yang
mengusik ini kiranya bisa menjadi perhatian kita semua, khususnya bisa menjadi
perhatian serius dari Pemerintah Indonesia ke depannya dalam rangka melindungi
segenap bangsa Indonesia:
“Mungkinkah sekian
banyak kasus serupa (kasus gangguan jiwa) yang terjadi di berbagai pelosok
negeri ini yang menimpa para TKI kita hanya sebuah KEBETULAN belaka? Mungkinkah
KEBETULAN saja sama-sama pernah bekerja sebagai tenaga kerja di Malaysia, dan
saat kembali ke tanah air KEBETULAN pula sama-sama mengalami gangguan jiwa?”
“Only heaven knows!”
[http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/11/26/tamatan-malaysia-rata-rata-sakit-jiwa-688790.html]
[http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/11/26/tamatan-malaysia-rata-rata-sakit-jiwa-688790.html]
November 23, 2014
Tindak Pidana Pornografi Di Dunia Maya
Hukum & Undang-undang Pornografi (Gambar: Liputan6) |
Oleh: Pietro T. M.
Netti
Tuan Rumah RUMAH
IDE & KREASI
Pornografi di dunia maya tumbuh laksana jamur di musim
hujan, walaupun tidak sedikit situs/ website berisi pornografi yang sudah diblokir oleh pemerintah di era
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Nama yang kerap menjadi sorotan media
karena sibuk membredel situs-situs
berbahaya ini lewat kementeriannya adalah mantan Menteri Komunikasi dan
Informasi (Kominfo) Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Tifatul Sembiring.
Alasannya sudah pasti agar dapat melindungi rakyat
Indonesia supaya tidak terjerumus dalam konten-konten pornografi sebagaiamana
yang dicontohkan oleh salah satu mantan anggota dewan rekan separtainya, Arifinto. Sang anggota DPR RI asal PKS
tersebut tertangkap basah oleh kamera wartawan sedang asik menikmati adegan mesum
melalui gadget handphone-nya di dalam
ruang sidang DPR RI. Namun sahabat baik Tifatul ini membantah jika ia tidak
sedang asik menikmati, tetapi ia tidak sengaja membuka link yang dikirim oleh temannya (hehe…alasan…alasan..!). Dan kalau tidak
salah, di era Tifatul menjabat sebagai Menkominfo pulalah seluruh tayangan
televisi di-blur bagian-bagian yang “terpampang nyata” (pinjam Syahrini) demi
tidak mengumbar aurat yang mengundang
syahwat dan birahi.
Di dunia maya (dumay), tersedia begitu banyak
layanan/konten pornografi yang mudah diakses oleh siapa saja, kapan saja dan
dimana saja, sampai-sampai sang Menteri yang kerjanya memerangi situs-situs
haram inipun salah meng-klik alias tidak sengaja atau tidak berniat
meng-klik (katanya sih) dan tentu
saja tidak pula berniat menjadi follower
dari salah satu akun porno di twitter (hehe…senjata makan tuan atau tuan makan senjata nih?). Tayangan-tayangan
iklan yang berhubungan dengan pornografi pun tersebar luas dimana-mana lengkap
dengan ungkapan, gambar, animasi dan video yang fulgar. Iklan-iklan tersebut
menawarkan banyak hal yang berhubungan dangan dan/atau mengandung unsur
pornografi.
Di tengah pesatnya perkembangan media online saat ini, mau tidak
mau kita harus berhadapan (head to
head) dengan derasnya arus informasi yang datang di hadapan kita. Benar
kata pepatah “dunia tidak selebar daun
kelor” tapi cuma selebar layar monitor komputer, dan layar gadget Ipad/HP.
Seluruh informasi yang ada di bawah kolong langit ini dapat diakses bebas oleh siapapun
tanpa mengenal ruang dan waktu. Pertanyaan yang muncul: “Sudah siapkah kita
saat ini menyikapi derasnya arus informasi di media-media online dan menyaring
konten-konten informasi mana saja yang patut
atau tidak patut dan/atau layak atau tidak layak dikonsumsi?”
Sebagai pengguna internet (netizen), kita bebas menentukan kemana arah langkah kita
berselancar di dunia maya; menuju ke konten-konten positif atau ke
konten-konten negatif. Semua pilihan terserah pada kita sendiri yang
memutuskan. Dan hal lain yang sangat penting adalah kita juga diberi kebebasan
seluas-luasnya untuk mau atau tidak mau membentengi diri sendiri
dengan nilai-nilai (moral, etika, dan agama) agar bisa terhindar dan tidak
terjerumus pada pilihan-pilihan yang menyesatkan. Sekali lagi, semua terserah kita! (Lihat:
Wajarkah Iklan Dewasa Ditayang Di Kompasiana?)
Siapapun kita bisa menjadi netizen. Apalagi dengan maraknya media-media sosial yang
bermunculan, kita bebas bergabung dan berinteraksi. Kita dapat sebebas-bebasnya
memberikan pendapat, pandangan dan opini kita tentang apa saja yang sedang
terjadi. Kita pun bebas mengekspresikan diri melalui media-media ini baik dalam
kata-kata, gambar, animasi, audio maupun video. Hanya saja yang terjadi
belakangan ini adalah kebebasan berpendapat dan berekspresi yang kita miliki
disalahartikan dengan bebas (baca: sewenang-wenang) menyerang orang/pribadi
tertentu dengan tidak lagi mempedulikan tatanan nilai, moral, etika dan
religiusitas di dalam masyarakat beradab yang berketuhanan dan berperikemanusiaan.
Masih segar dalam ingatan kita kasus penyebaran gambar
porno oleh si pembantu tukang sate, Muhammad Arsyad, belum lama ini. Arsyad
dilaporkan ke polisi oleh politisi PDIP Hendri Yosoningrat pada 27 Juli 2014
atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran gambar pornografi Presiden
Jokowi. Pada Kamis, 23 Oktober 2014, ia ditangkap dan ditahan di
Bareskrim Polri.
Atas tindakannya, Arsyad dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 29 Juncto Pasal 4. Ayat 1 UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Pasal 310 dan 311 KUHP, Pasal 156 dan 157 KUHP, Pasal 27, 45, 32, 35, 36, 51 UU ITE.
Atas tindakannya, Arsyad dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 29 Juncto Pasal 4. Ayat 1 UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Pasal 310 dan 311 KUHP, Pasal 156 dan 157 KUHP, Pasal 27, 45, 32, 35, 36, 51 UU ITE.
Khusus tentang pornografi, berikut ini adalah ulasan
tentang undang-undang pornografi di dunia maya yang dikutip dari Hukum Online.
Ulasan berikut adalah sebuah jawaban oleh Shanti
Rachmadsyah, SH atas pertanyaan seputar Cyber Pornografi (Pornografi di
dunia maya).
Pertanyaan: Cyber pornography (pornografi dunia maya). “Selamat sore, saya mau bertanya, andaikata
ada permasalahan mengenai pornografi dunia maya (cyber pornography) misalnya,
website atau pun forum tertentu, undang-undang manakah yang akan berlaku,
apakah KUHP, UU Pornografi atau UU ITE? Apakah asas lex specialis derogat legi
generalis berlaku terhadap undang-undang tersebut (tiga UU yang dimaksud di
atas)? Atau apakah ada pertentangan atau konflik di antara ketiga UU tersebut?
(kalau ada, maka UU manakah yang dipergunakan?) Terima kasih sebelumnya.” EDUARDNONG
Jawaban: Pornografi
di dunia maya disebut dengan istilah cyber
pornography yang dapat diartikan sebagai penyebaran muatan pornografi melalui internet. Tindak pidana
pornografi di dunia maya dapat dijerat dengan pasal-pasal di dalam KUHP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana), UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik), dan Undang-undang Pornografi.
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
Memang dalam KUHP tidak dikenal istilah dan/atau kejahatan
pornography, tapi ada pasal yang dapat dikenakan terhadap perbuatan ini, yakni
pasal 282 KUHP:
“Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di
muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar
kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau
ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut,
memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau
memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan
mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa
diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau
pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah”
UU ITE (Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik)
Dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) pun tidak mengenal adanya istilah pornography,
tetapi muatan yang melanggar kesusilaan.
Penyebarluasan muatan yang melanggar
kesusilaan melalui internet diatur dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE mengenai
Perbuatan yang Dilarang, yaitu:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Pelanggaran terhadap pasal 27 ayat (1) UU ITE dipidana dengan
pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 milyar
(pasal 45 ayat [1] UU ITE).
UU Pornografi (Undang-undang Pornografi)
Undang-undang yang secara tegas mengatur mengenai
pornografi melalui internet adalah UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU
Pornografi). Pengertian pornografi menurut pasal 1 angka 1 UU Pornografi
adalah:
“… gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,
gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan
lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka
umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma
kesusilaan dalam masyarakat.”
Pelarangan penyebarluasan muatan pornografi, termasuk melalui di
internet, diatur dalam pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, yaitu;
“Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara
eksplisit memuat:
- persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
- kekerasan seksual;
- masturbasi atau onani;
- ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
- alat kelamin; atau
- pornografi anak.”
Pelanggaran pasal 4 ayat (1) UU Pornografi diancam pidana penjara
paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling
sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar (pasal 29 UU
Pornografi).
Pasal 44 UU Pornografi menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang
ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau
berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
[http://hukum.kompasiana.com/2014/11/23/-tindak-pidana-pornografi-di-dunia-maya-688148.html]
[http://hukum.kompasiana.com/2014/11/23/-tindak-pidana-pornografi-di-dunia-maya-688148.html]
November 20, 2014
Bentrok TNI-Polri Di Batam: “Tatapan Menggoda Berujung Baku Tembak”
Tuan Rumah RUMAH
IDE & KREASI
Batam, Kepulauan Riau, kembali bergejolak. Hujan peluru
menderas langit malam negeri Lancang
Kuning (Rabu, 19 November 2014).
Bentrok TNI-Polri kembali berkecamuk hanya karena dipicu
persoalan sepele. Saling tatap menggoda
antara beberapa oknum aparat keamanan tersebut mengakibatkan perseteruan yang
menyeret dua institusi yang sama-sama memiliki angakatan bersenjata. Pandang
bertemu pandang mengusik rindu dendam yang terpendam. Hujan peluru pun
berkecamuk mengusik ketenangan rakyat sipil di jalan Trans Barelang-Trembesi,
Batam. Oknum aparat diketahui berasal dari Yonif 134/Tuah Sakti dan Satuan
Brimob Polda Kepri.
Sebelumnya, masih lekat dalam ingatan kita beberapa waktu
yang lalu yang juga terjadi di negeri tetangga Singapore ini (21 September
2014), telah terjadi ketegangan di antara institusi TNI dan Polri sebagai
akibat dari jatuhnya 4 korban luka dari pihak TNI AD yang tertembak oleh
senjata aparat kepolisian. Bermula dari penggerebekan oleh aparat kepolisian
terhadap gudang penyimpanan bahan bakar minyak illegal oleh oknum pengusaha
setempat. Dari hasil penyelidikan tim investigasi gabungan bentukan TNI-Polri,
Kapuspen TNI Mayjen Fuad Basya mengatakan bahwa ada anggota Yonif 134 yang
menjadi tenaga pengamanan tempat penimbunan BBM tersebut (MERDEKA.COM).
Bentrokan yang terjadi (Rabu, 19/11/2014) akibat lirikan mata ini mengakibatkan 1 anggota
Yonif 134/Tuah Sakti tewas dalam baku tembak kontra Brimob Polda Kepri. Anggota
TNI yang tertembak dan yang belum diketahui identitasnya ini tewas sesaat
setelah dirawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Embung Fatimah. Korban
diduga mengalami pendarahan hebat akibat tertembak di bagian dada dan pundak.
Sementara itu, informasi terbaru menyebutkan, masih ada seorang anggota TNI
Yonif 134 lainnya yang ikut dilarikan ke RSUD Embung Fatimah dengan ambilans
Yonis 134. Anggota TNI tersebut mengalami luka-luka (JPNN.COM).
Pantauan melalui MetroTV semalam menunjukkan arogansi aparat
keamanan yang tidak memikirkan keteriban dan ketenangan umum. Adu tembak
berlangsung di tengah hiruk pikuk aktifitas masyarakat yang sedang bergelut
dengan kehidupan. Suasana mencekam dipertontonkan di hadapan publik. Adu kuat
dua institusi yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat menjadi teror
yang menakutkan. Jika kejadian seperti ini selalu saja terjadi, kemana/kepada
siapa lagi rakyat harus mencari perlindungan? Apakah rakyat pantas meminta
perlindungan kepada mereka yang hanya bisa membuat onar dan teror?
Bentrok TNI-Polri telah menjadi fenomena biasa di negeri
semenjak Reformasi 1998, yakni sejak diberlakukan pemisahan fungsi dan tugas
kedua institusi tersebut. “Ada apa sebenarnya dengan kedua lembaga ini?” Ini
menjadi pertanyaan yang tak terjawab untuk sekian lama tahun sejak memasuki Orde
Reformasi. Secara umum peran dan tugas TNI dan Polri sebagai berikut: TNI
menjaga keamanan dan pertahanan negara, dan Polri lebih ke memberikan pelayanan
masyarakat (DATABASEKONTEN.COM).
“Lalu kenapa selalu saja terjadi gesekan di antara kedua
lembaga ini?”
Berikut ini adalah liputan KOMPAS.COM (9 Mei 2012): TNI dan
Polri Mutlak Berubah
“Upaya menekan arogansi TNI dan Polri
mutlak dilakukan dengan perubahan mendasar di tubuh kedua institusi itu. Masalah
yang mengakar di kedua institusi itu harus diselesaikan secara tuntas untuk
memastikan anggotanya benar-benar mengabdi kepada rakyat, bukan ”musuh” rakyat.
Menurut pengajar Universitas
Pertahanan, Jakarta, Anton Aliabbas, pasca-pemisahan dari TNI, tidak terlihat
perubahan mendasar yang dilakukan Polri, termasuk militerisme yang tidak
dihilangkan. Polri tidak dibangun dengan wajah yang lebih humanis. ”Selama ini,
penanganan oleh Polri sedikit banyak pengaruh militeristik, bukan mengedepankan
bahwa polisi itu harus melayani,” kata Anton, Selasa (8/5/2012).
Sementara itu, upaya perubahan di TNI
pun menghadapi kondisi tak kalah kompleks. TNI membawa beban masa lalu yang
menempatkan mereka sebagai ”warga kelas satu”. ”Problem ini mau tidak mau
kemudian memengaruhi arogansi,” lanjutnya.
Ia mencontohkan soal penggunaan
senjata. Semestinya senjata hanya digunakan anggota yang bertugas. Tidak semua
satuan di Polri perlu membawa senjata. Untuk TNI, aturannya mesti lebih ketat.
Tidak ada senjata yang dibawa kalau anggotanya tidak menjalankan tugas operasi,
tidak ada senjata yang dibawa pulang ke rumah.
”Kalau ada pelanggaran, tidak ada lagi
sanksi yang hanya berupa etika atau disiplin. Semua harus dibawa ke pengadilan.
Pelanggaran marak karena mereka merasa sanksinya ringan. Masa mukulin orang
cuma sanksi etika atau disiplin?” ujar Anton.
Pengamat militer dari Universitas
Indonesia, Edy Prasetiono, menilai, situasi keamanan yang gamang ini merupakan
hasil dari minimnya kemampuan elite, yaitu pemerintah dan parlemen, dalam
menganalisis dan membuat kebijakan keamanan. Analisis masalah tak sampai ke
akarnya.
Edy menyatakan, sebenarnya sudah ada
pembagian kewenangan jelas antara TNI dan Polri. TNI berfungsi untuk pertahanan
internal dan eksternal. Polri bertanggung jawab dalam ketertiban masyarakat,
yang demi tujuan ini melakukan penegakan hukum, pengayoman, dan perlindungan
masyarakat.
Edy mengusulkan ada sistem perekrutan
anggota Polri yang lebih ketat sehingga dihasilkan aparat profesional.
Pengawasan yang selama ini dipegang Komisi Kepolisian Nasional harus lebih
diperkuat. Untuk TNI harus diperbanyak pelatihan dan penyusunan sistem
pengawasan yang ketat.
Arogansi aparat, kata Sekretaris
Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja
Indonesia Benny Susetyo, menunjukkan dilupakannya fungsi dan tugas melindungi
rakyat. Hal itu diperparah tak adanya pemimpin yang berwibawa.
Jika ada kemauan politik dan
kewibawaan pemimpin, semestinya kedua lembaga itu bisa ditata. Nilai-nilai
Sapta Marga dan Bhayangkara bisa dihayati dan menjadi aturan main di lembaga
penegak hukum itu.
Namun, pengajar Ilmu Hukum Tata Negara
Universitas Airlangga Surabaya, Radian Salman, menilai, sesungguhnya TNI dan
Polri masih memahami fungsinya. Masalahnya, ujarnya, pendayagunaan untuk
tugas-tugas mereka tidak maksimal. Ketika peran polisi di keamanan meluas,
peran TNI tidak berkembang. Akibatnya, ada peluang bermain- main di lahan yang
dulu menjadi bagian TNI itu. Rivalitas kedua lembaga semakin kuat.
Seharusnya, kata pengamat kepolisian
Bambang Widodo Umar, kepolisian tidak ditempatkan di bawah presiden, tetapi di
bawah kementerian. Dengan keberadaan langsung di bawah presiden, polisi rentan
digunakan oleh kekuasaan. (FAJ/INA/EDN/DIK/IAM/ONG)”
(http://regional.kompasiana.com/2014/11/20/bentrok-tni-polri-di-batam-tatapan-menggoda-berujung-baku-tembak-687623.html)
November 19, 2014
Wajarkah Iklan Dewasa Ditayang Di Kompasiana?
Gambar: Gamexeon |
Oleh: Pietro T. M.
Netti
Tuan Rumah Rumah IDE
& KREASI
Semula saya sangat kaget alias terganggu dengan beberapa gambar iklan dewasa yang muncul di
halaman Kompasiana. Saya menahan diri untuk tidak menulis (memberikan opini/komentar)
tentang gambar-gambar dewasa tersebut, sambil menunggu mungkin saja ada
komentar-komentar dari sesama kompasianer
lainnya yang mau menyoroti tayangan iklan dewasa tersebut.
Saya baru bergabung di Kompasiana pada 14 September 2014
lalu, tapi saya telah menjadi pembaca kompasiana (tidak rutin) jauh hari sebelum
memutuskan bergabung menjadi kompasianer.
Pada saat “singgah” di www.kompasiana.com
saya tidak pernah mendapati iklan-iklan tersebut. Di awal saya bergabung pun
hingga beberapa saat setelahnya, saya belum melihat tayangan-tayangan tersebut.
Pada suatu ketika masih di bulan September, saat saya log in (masuk) dan ingin mem-posting tulisan (lupa posting-an ke berapa, mungkin posting-an ke-2 atau ke-3) di Kompasiana,
saya kaget bukan kepalang melihat tayangan iklan yang tidak pernah saya
bayangkan sebelumnya dan sama sekali tidak saya harapkan muncul di halaman
Kompasiana. Ada tayangan iklan dengan tema “mempenjang alat vital pria” lengkap
dengan tampilan gambar alat vitalnya yang berukuran XL (extra long). Di bagian
lain terdapat pula tayangan iklan dengan gambar,
animasi dan bahkan cuplikan video porno yang lagi-lagi di luar
dugaan saya.
Saya bertanya-tanya, mungkinkah benar tayangan-tayangan
iklan tersebut dilakukan sendiri oleh Administrator Kompasiana? Atau mungkin saja
gambar-gambar tersebut dimunculkan oleh pihak lain yang sengaja “mengganggu”
Kompasiana? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sampai sekarang masih terus ada
dalam pikiran saya. Namun hingga saat ini saya pun belum menjumpai satu pun tulisan
dari kompasianer yang mengomentari
tentang tayangan iklan dimaksud. Atau mungkin saja sudah ada yang pernah
menulis tapi tidak sempat saya baca (?).
Sebenarnya tayangan-tayangan iklan yang seperti saya
sebutkan di atas banyak dijumpai di media-media online lain yang bertebaran di dunia maya. Ada website/situs dan
blog-blog tertentu (khusus dewasa/18+) yang berisi konten-konten pornography marak menayangkan
iklan-iklan seperti itu, dan itu menurut hemat saya wajar dan biasa saja. Karena
memang iklan-iklan tersebut sesuai dengan konten yang terdapat di dalam
situs-situs khusus tersebut. Yang
menjadi aneh jika situs-situs tersebut juga menayangkan iklan-iklan yang
bersifat agamis dan religius.
Berhadapan dengan dunia online
saat ini, kita sebagai pengguna internet (netizen) diberi kebebasan sebesar-besarnya
untuk memilih konten-konten apa saja yang diinginkan dan/atau yang dibutuhkan.
Semua hal di dunia ini dapat diakses dengan mudah oleh siapa saja, dimana saja
dan kapan saja sepanjang didukung dengan/oleh peralatan media/gadget dan
jaringan internet yang memadai. Sebagai netizen
kita juga bebas menentukan kemana arah langkah kita berselancar di dunia maya;
menuju ke konten-konten positif atau ke konten-konten negatif. Semua pilihan
terserah pada kita sendiri yang memutuskan. Dan hal lain yang sangat penting
adalah kita juga diberi kebebasan seluas-luasnya untuk mau atau tidak mau
membentengi diri sendiri dengan nilai-nilai (moral, etika, dan agama) agar bisa
terhindar dan tidak terjerumus pada pilihan-pilihan yang menyesatkan. Sekali
lagi, semua terserah kita!
“Lantas bagaimana dengan tayangan iklan-iklan dewasa (baca:
iklan pornography) di Kompasiana?
Wajarkah Kompasiana menayangkan iklan-iklan tersebut?”
Terus terang, saya bergabung di Kompasiana, karena saya
merasa mendapatkan media yang cocok dan sesuai dengan keinginan saya. Berikut
ini adalah alasan-alasan mengapa saya ingin bergabung di Kompasiana sebagai kompasianer, adalah:
PERTAMA, saya dapat menambah wawasan dalam berbagai disiplin ilmu
dan pengetahuan melalui rubrik-rubrik yang ada di Kompasiana. “Kompasiana menampung beragam konten yang
menarik, bermanfaat dan dapat dipertanggungjawabkan dari semua lapisan
masyarakat dengan beragam latar belakang budaya, hobi, profesi dan kompetensi.
Keterlibatan warga secara masif ini diharapkan dapat mempercepat arus informasi
dan memperkuat pondasi demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”
(Tentang Kompasina)
KEDUA, saya dapat menyalurkan ide dan kreatifitas saya sebebas-bebasnya
melalui tulisan, gambar ataupun rekaman audio dan video sepanjang tidak
melanggar aturan-aturan yang ditetapkan oleh Kompasiana dan tidak melanggar
hukum positif (perundang-undangan) yang berlaku di Indonesia. “Kompasiana adalah sebuah Media Warga (Citizen Media). Di sini, setiap orang dapat mewartakan
peristiwa, menyampaikan pendapat dan gagasan serta menyalurkan aspirasi dalam
bentuk tulisan, gambar ataupun rekaman audio dan video.” (Tentang
Kompasiana)
KETIGA, saya dapat terus berlatih dan mengasah ketrampilan
menulis sekaligus secara perlahan-lahan melatih alur dan pola pikir yang
teratur, kreatif, kritis dan sistematis dalam mewartakan peristiwa,
menyampaikan pendapat dan gagasan serta menyalurkan aspirasi. Kompasiana bagi
saya adalah sebuah media sosial yang sangat berbeda dengan media-media sosial
lainnya yang sedang booming.
Kompasiana mensyaratkan setiap tulisan yang ditayang tidak boleh kurang dari 70
kata/karakter. Dengan demikian Kompasiana memang diperuntukkan khusus kepada
mereka yang memiliki hobi minat dan bakat dalam hal membaca dan menulis, jika
tidak, maka sebaiknya memilih media sosial lain yang membatasi jumlah
kata/karakter dalam setiap posting-an,
dan/atau memilih media sosial lain yang bahkan tidak mensyaratkan jumlah
kata/karakter pada setiap postingan-nya.
KEEMPAT, sebagai media warga (citizen media) yang
interaktif, saya dapat melakukan pertemanan dan bertukar pikiran dengan sesama kompasianer (baik senior maupun junior) yang
ada di Indonesia yang notabene adalah
penulis-penulis kreatif dan andal. Kompasiana boleh dikatakan sebagai sebuah
media yang dapat dipercaya, karena tulisan yang ditayang oleh setiap kompasianer harus bisa
dipertanggungjawabkan isinya, sumber, fakta maupun kebenarannya. Gossip dan fitnah
tidak mendapat tempat di Kompasiana yang didiami oleh kompasianer-kompasianer cerdas dan kritis.
Dan KELIMA, sebagai media warga (citizen media), saya
sangat berbangga jika hasil karya saya (tulisan-tulisan, gambar ataupun rekaman
audio dan video yang ditayangkan) dapat dibaca, dilihat dan diapresiasi oleh
sesama kompasianer yang ada di seluruh Indonesia. Kritik, saran dan tanggapan
dari sesama kompasianer akan membuka
wawasan berpikir yang lebih luas dan matang.
Kembali ke: Wajar
atau tidak Kompasiana menayangkan iklan-iklan yang berbau pornography.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Kompasiana adalah sebuah media
warga (citizen media). Sebagai media warga, seluruh warga bisa dan bebas
mengakses Kompasiana. Tapi perlu dicatat disini bahwa Kompasiana adalah citizen media yang berada di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sudah tentu memiliki tatanan
etika, norma dan nilai-nilai khususnya kesusilaan.
Penayangan gambar-gambar, animasi dan cuplikan video yang berbau pornography tentu saja melanggar kesusilaan. Belum lagi, hukum dan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia pun telah secara jelas mengatur tentang pelanggaran kesusilaan tersebut (akan dibahas
kemudian).
Melihat tayangan iklan dewasa (iklan seks) yang ditayangkan
di Kompasiana sebenarnya sangat mengganggu. Mengapa?
Kompasiana sebagai sebuah media warga
yang adalah anak kandung dari KOMPAS, sebuah media yang diakui
kredibilitasnya di dunia pers nasional, tidak patut memuat iklan-iklan pornography. Kompasiana bukanlah sebuah
situs khusus yang memuat konten-konten dewasa/18+. Terus terang, sebagaimana
yang telah saya sebutkan tentang alasan-alasan saya bergabung di Kompasiana di
atas, saya sama sekali tidak mengharapkan adanya tayangan-tayangan iklan berbau
pornography di Kompasiana, karena
memang Kompasiana bukan untuk pornography.
Katakanlah, semua kompasianer
adalah orang dewasa yang boleh dan/atau layak melihat dan mungkin tidak lagi “terpengaruh”
dengan tayangan-tayangan iklan tersebut, tapi bagaimana dengan anak-anak dan
remaja kita yang masih di bawah umur yang kebetulan mengakses Kompasiana dan
melihat tayangan-tayangan tersebut? Sebenarnya ada begitu banyak tulisan dari
para kompasianer yang sangat aktual, inspiratif, bermanfaat, dan menarik yang layak direkomendasikan
kepada banyak orang, tetapi lagi-lagi terkendala dengan tayangan-tayangan yang
mengganggu tersebut.
Mungkin saja ada alasan-alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan oleh Administrator (admin) Kompasiana dalam hal
penayangan iklan-iklan dewasa tersebut. Walaupun demikian, Admin Kompasiana perlu
mempertimbangkannya kembali dari aspek/sudut pandang pornography atau muatan yang melanggar kesusilan. Menurut analisis
saya (pinjam Sentilun),
Kompasiana tidak perlu menayangkan iklan yang dilengkapi dengan gambar-gambar,
animasi, video yang berbau pornography, mengingat Kompasiana adalah media warga
yang bisa dan bebas diakses oleh seluruh rakyat Indonesia di semua lapisan,
oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja, baik tua maupun muda, dan baik
dewasa maupun anak-anak. Ada hal-hal besar yang berhubungan dengan karakter dan
kepribadian bangsa yang patut kita jaga dan pelihara bersama. Salam!
http://media.kompasiana.com/new-media/2014/11/18/wajarkah-iklan-dewasa-ditayang-di-kompasiana--687265.html]
November 17, 2014
Lagi! Kisruh Dewan…! Di Parlemen DKI Jakarta
Gubernur DKI Jakarta: Basuki Tjahaja Purnama (Gambar:tribunenews) |
Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI
“Lagi-lagi dewan…lagi-lagi dewan!”
Ya, itulah kata-kata yang terucap ketika menyaksikan
tontonan berita televisi dan headline berita surat kabar dan media-media online
akhir-akhir ini. Bosan rasanya melihat acara televisi yang selalu diwarnai
dengan adegan-adegan tidak mendidik dari sebagian anggota dewan di negeri ini. Mau muntah (pinjam Nurul Arifin) rasanya
membaca berita yang hanya berisi kisruh
dewan melulu.
Setelah sekian lama rakyat muntah-muntah melihat kisruh dewan di Senayan, kini anggota DPRD
DKI Jakarta pun mulai berulah atas nama rakyat dan untuk kepentingan rakyat,
dan katanya lagi, hendak memberikan pendidikan dan pembelajaran politik kepada
rakyatnya(?). Dari segi pendidikan politik, entah unsur pendidikan dan
pembelajaran politik macam apa yang hendak diajarkan kepada rakyat. Sedangkan
aksi-aksi yang dipertontonkan hanyalah aksi kekanak-kanakan
yang cenderung menunjukkan ketidakcerdasan dan ketololan mereka.
Manfaat apa yang dapat dipetik dan dirasakan oleh rakyat jika
ulah dan aksi anggota dewan jelas-jelas mencerminkan isi kepala dewan yang
hanya dipenuhi dengan hawa nafsu
kekuasaan? Sangat menyedihkan melihat kenyataan di pihak elit saat ini yang
selalu tidak mau kalah atau mau menang sendiri dan merasa benar sendiri. Apakah kenyataan
seperti ini yang mau diajarkan kepada rakyat?
DPRD DKI Jakarta kembali menunjukkan hal yang sama yang
pernah dilakukan oleh DPR RI belum lama ini. Masih jelas dalam ingatan bahwa perseteruan dan pertikaian di antara dua kubu koalisi di DPR RI (Koalisi Merah
Putih dan Kolisi Indonesia Hebat) saling unjuk
gigi dalam memperebutkan kursi kekuasaan pimpinan dan alat kelengkapan
dewan yang berujung pada mosi tidak
percaya dan dualisme kepemimpinan dari
pihak koalisi yang kalah. Aksi yang sama pun tengah dipertontonkan saat ini oleh
para anggota dewan di parlemen DKI.
Kekisruhan parlemen DKI bermula dari polemik berkepanjangan
seputar penetapan Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama,
menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Ir. H. Joko Widodo yang telah
menduduki kursi RI 1. Ada berbagai macam tafsiran terhadap undang-undang yang
berkaitan dengan boleh atau tidaknya Ahok (sapaan akrab Basuki Tjahaja Purnama)
menggantikan Jokowi (sapaan akrab Ir. H. Joko Widodo) sebagai Gubernur DKI
Jakarta.
Saya tidak akan membahas secara khusus tentang isi
undang-undang apa/mana yang menjadi pro-kontra tersebut. Secara garis besar,
yang menjadi penyebab kekisruhan di parlemen DKI saat ini adalah ada kubu yang pro
(KIH) dan ada kubu yang kontra (KMP) dengan rencana penetapan Ahok sebagai
Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi. Kubu KIH mengatakan bahwa Ahok secara
otomatis harus ditetapkan sebagai Gubernur menggantikan Jokowi ketika Jokowi
telah ditetapkan/dilantik sebagai Presiden RI. Sedangkan kubu KMP mengacu pada
undang-undang lain yang menyatakan sebaliknya. Entah mana yang benar dan/atau
mana yang salah(?). Kenyataan ini sangat membingungkan rakyat.
Kubu KIH berada pada posisi yang sama dengan pemerintah
pusat yakni Kementerian Dalam Negeri RI yang telah memerintahkan DPRD DKI
Jakarta untuk segera menetapkan dan/atau melantik Plt. Gubernur DKI Jakarta,
Ahok, menjadi Gubernur DKI Jakarta definitif hingga tahun 2017 mendatang.
Sedangkan kubu KMP berada pada posisi yang sama dengan Front Pembela Islam
(FPI) yang secara mati-matian menolak
penetapan dan/atau pelantikan dimaksud.
Perbedaan pandangan dua kubu yang sangat tajam ini akhirnya
berujung pada ketidakhadiran seluruh anggota dewan dari kubu KMP dalam Sidang
Paripurna Istimewa DPRD DKI Jakarta (Jumat, 14 November 2014) dalam rangka
menetapkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Perbedaan yang sangat tajam itu
pula berimbas pada munculnya wacana dari kubu KMP untuk melaksanakan Sidang
Paripurna Istimewa tandingan. “Sedikit-sedikit
tandingan…! Sedikit-sedikit tandingan…! Tandingan kok cuman sedikit?” (he..he..)
Penolakan terhadap Ahok untuk menduduki kursi DKI 1 sebenarnya
telah dimulai sesaat setelah Jokowi yang saat itu masih menjabat sebagai
Gubernur resmi dicalonkan menjadi calon presiden oleh PDIP untuk Pilpres 2014. Rupanya
pencalonan Jokowi running for president
tersebut sudah menjadi momok tersendiri dan sekaligus menimbulkan kekuatiran
luar biasa bagi kelompok yang juga ingin bersaing dalam pilpres. Begitu pula
kekuatiran yang sama dialami oleh oknum dan kelompok tertentu di DKI yang tidak
rela DKI bakal dipimpin oleh Ahok yang bermata
sipit dan Nasrani itu jika
akhirnya Jokowi harus menang pada pilpres.
Kekuatiran yang berlebihan tersebut melahirkan kreatifitas
negatif untuk menjegal langkah Jokowi ke istana negara, sekaligus menghalangi
langkah Ahok menjadi orang numero uno
di Balaikota Jakarta. Black campaign berupa
Isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) diangkat sebagai senjata
pamungkas untuk menyerang Jokowi dan Ahok sekaligus. Jokowi dituduh kafir karena selalu/sengaja menggandeng
pasangan non Muslim di dua ajang pilkada yang berbeda. Di Solo, Wakil Walikota
F. X. Hadi Rudyatmo akhirnya menjabat Walikota Solo setelah Jokowi terpilih
menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan jangan sampai di Jakarta, Wakil Gubernur DKI
Jakarta, Basuki T. Purnama akan menjadi Gubernur jika Jokowi lolos melenggang
ke Isatana Kepresidenan.
Pada akhirnya, segala kekuatiran yang menghantui menjadi
kenyataan yang tidak bisa tidak
diterima. Jokowi, di luar dugaan kubu pesaing, keluar sebagai pemenang pilpres
dan mau tidak mau Jokowi pun nantinya harus menitipkan Jakarta kepada wakilnya yang
bukan beragama mayoritas. Untuk kedua kalinya Jokowi harus menyerahkan kursi emas DKI 1 yang digiuri banyak pihak kepada si Nasrani dan bermata sipit pula. Apa kata para “peserakah” kekuasaan yang hanya bisa menatap tanpa daya sambil meratapi
langit? “Sakitnya di sini..!” sambil menekan
dada (he..he..dangdut).
Sebut saja satu, dua, atau lebih anggota dewan dari kubu
KMP yang gencar menolak penetapan Ahok sebagai Gubernur definitif (atau mungkin
sedang birahi kekuasaan) dengan
pontang-panting mencari-cari celah undang-undang yang sekiranya bisa menjegal
langkah Ahok. Sebenarnya alasan undang-undang yang diumbar tersebut hanyalah
topeng yang dipakai untuk menutupi “wajah
garis keras” yang melekat pada diri
mereka selama ini. Mereka adalah para pengecut yang bisanya cuma “lempar batu sembunyi tangan”, dan hanya
bisa bersembunyi di balik ketiak FPI (Front Pembela Islam) yang secara
terang-terangan menolak Ahok hanya karena Ahok beragama Kristen, yang disebut-sebut sebagai orang kafir, bahkan Ahok dikatakan sebagai musuhnya Islam.
Sungguh ironi, Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini diobrak-abrik oleh segelintir oknum
dan/atau organisasi massa (ormas) yang sengaja berlindung di balik Islam untuk melawan
hukum positif yang berlaku. Ormas yang menganut paham anarkisme ini pun dengan
leluasanya menunggangi Islam dan sekaligus meng-kambinghitam-kan Islam untuk
menghalalkan segala tindakan biadab mereka yang tidak Islami. Oleh karenanya,
pantas juga jika Ahok menyebutnya ormas yang menyimpang dari jalan Tuhan ini sebagai Front Perusak Islam dan
tidak layak untuk hidup di Indonesia.
Kini Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah resmi
ditetapkan sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan tinggal menunggu waktu pelantikan
oleh Presiden atau Wakil Presiden atau Mendagri pada 18 November 2014 mendatang.
“Selamat bekerja,
bapak Gubernur DKI Jakarta yang baru, bapak Basuki Tjahaja Purnama!”