BLOG PIETRO T. M. NETTI: RUMAH IDE DAN KREASI

Blog PIETRO T. M. NETTI (pietronetti.blogspot.com) adalah sebuah situs/blog pribadi atas nama PIETRO T. M. NETTI. Blog PIETRO T. M. NETTI (pietronetti.blogspot.com) adalah sebuah situs/blog yang dianalogikan sebagai RUMAH IDE DAN KREASI. Sebagai rumah, situs/blog ini menyediakan beberapa ruang yang nyaman yang dapat menampung Ide dan Kreasi dari Tuan Rumah.

PIETRO T. M. NETTI: Tuan Rumah RUMAH IDE DAN KREASI

Moto: “Laborare est Orare: Bekerja adalah Berdoa. Berdoa bukan hanya memejamkan mata melainkan juga membuka mata dan melihat kenyataan. Berdoa bukan hanya melipat tangan melainkan juga turun tangan dan melakukan tindakan nyata (SELAMAT PAGI TUHAN-ANDAR ISMAIL).” “Bermusik bagi Tuhan adalah wujud Sembah, Pujian dan Doa yang nyata di hadapan hadirat Allah (PIETRO T. M. NETTI).”

RUANG IDE: Opini PIETRO T. M. NETTI

Ruang untuk berpendapat secara jujur dan independen dari sudut pandang Tuan Rumah: Menyalurkan ide dan gagasan berhubungan dengan tema-tema tertentu (Opini), Memberi ulasan/liputan terhadap obyek/peristiwa/persoalan yang informatif, menghibur, meyakinkan, dan menggugah simpati dan empati (Feature), Menghadirkan kisah/cerita dari yang dilihat, didengar, dipikirkan, dirasakan, dan yang dilakukan (Non Fiksi).

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

November 29, 2014

Panggung Rising Star Indonesia Gagal “Ber-endang-endut”.

Rising Star Indonesia di RCTI (Gambar: rcti.tv)

Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI


Rising Star Indonesia (Only Star Will Rise!) di RCTI, Jumat 28 November 2014, memasuki babak Lucky Seven yang mengusung tema “Dangdut & Melayu”. Para peserta akan diuji kebolehannya untuk unjuk gigi dalam menyanyikan lagu-lagu Dangdut dan/atau Melayu. Sayangnya, Panggung Rising Star kali ini yang seharusnya dihiasi “cengkok & aksi joget”  ini tidak berlangsung sesuai dengan tema yang diusung.

Panggung Rising Star Indonesia kali ini menyisakan 7 peserta yang saling beradu kebolehan bernyanyi untuk merebut The Best Six pada Jumat depan (5/12/2014). Acara yang berlangsung kurang lebih 3 jam ini menghadirkan expert Bebi Romeo (Penyanyi/Producer), Kevin “Vierra”, Ayu Tingting (Penyanyi Dangdut), dan Ahmad Dhani (Producer). Ketujuh peserta yang bertarung adalah Reyna Qontrunnada, Hanin Dhiya, Sonny Saragih, Indah Nevertari, Ghaitsa, Evony Arty, dan Bluesmates.

Tantangan panggung Rising Star kali ini yang menghadirkan tema “Dangdut & Melayu” tidak mampu dijawab oleh sebagian besar peserta Lucky Seven ini. Lagu-lagu yang dipilih oleh para lucky 7 keseluruhannya adalah lagu Dangdut dan Melayu, tapi lagu-lagu tersebut dibawakan dengan cara yang sama sekali  tidak bernuansa Dangdut dan Melayu. Kelihatan sekali para peserta tidak mau(?), atau tidak mampu(?), atau tidak berani(?) bernyanyi dalam genre musik Dangdut dan Melayu.

Tema Dangdut dan Melayu, menurut hemat saya gagal terlaksana di malam Lucky 7 ini. Panggung Rising Star Indonesia gagal menghadirkan tontonan yang seharusnya, menurut Ahmad Dhani, mengusung tema Tribue to dangdut tersebut. Sebagian besar peserta menyanyikan lagu-lagu dangdut/Melayu dalam arransemen yang tidak berbeda dengan lagu-lagu ber-genre jazz. Panggung yang seharusnya Tribute to Dangdut/Melayu menjadi panggung Jazz Night.

Sebenarnya, jika kita melihat secara kesuluruhan, aksi-aksi yang ditunjukkan oleh para peserta sangatlah luar biasa. Tidak ada yang salah dengan mereka. Aksi-aksi yang ditunjukkan pun sangat memukau. Ketujuh peserta tersebut telah menunjukkan kualitas vokal/bernyanyi yang sangat tinggi. Masing-masing peserta telah menampilkan keunikan dan ciri khas bernyanyi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Keunikan dan ciri khas mereka patut diacungi jempol.

Bebi Romeo dalam penilaiannya sering mengatakan bahwa melihat dari bakat/talenta luar biasa dari masing-masing peserta, peserta-peserta ini memang terlahir untuk bernyanyi (born to sing) yakni terlahir dengan suara yang bagus sebagai anugerah dari Tuhan. Ada pula penyanyi yang memiliki vokal yang ber-citarasa internasional. Dan itu semua patut dibanggakan, mengingat usia para peserta yang masih belia, yang masih memiliki perjalanan karir yang panjang ke depannya.

“Namun, kenapa pada malam tribute to dangdut (istilah Dhani) ini, para peserta tidak bernyanyi dangdut atau bernyanyi Melayu?” Pertanyaan ini muncul bukan karena saya sangat fanatik dengan musik/lagu dangdut atau Melayu, tetapi lebih kepada kenapa para peserta tidak berani mengeksplorasi kemampuan mereka untuk bernyanyi dangdut atau Melayu di ajang spektakuler ini.

Para peserta memang menampilkan sesuatu yang berbeda, tetapi sesungguhnya melenceng dari tantangan/tema yang diusung pada pertunjukan malam itu. Melihat aksi para kontestan yang tidak sepenuhnya bernyanyi dangdut/Melayu, Ahmad Dhani pun sempat mengatakan bahwa bernyanyi dangdut bukan hal yang mudah. Ketika diperhadapkan dengan lagu dangdut/Melayu, para peserta jangan berpikir “mau atau tidak mau” bernyanyi dangdut/Melayu, tetapi “bisa atau tidak bisa”.  

Menurut saya, sebenarnya seorang penyanyi yang born to sing harus mau dan bisa menyanyikan lagu apa saja dan/atau menerima tantangan apa saja yang disodorkan. Saya yakin sesusah-susahnya dangdut/Melayu pasti bisa dibawakan oleh para kontestan ini. Sebenarnya ada misunderstanding dari para kontestan dalam menyikapi tantangan untuk bernyanyi dangdut dan Melayu. Lagu-lagu tersebut memang harus dibawakan sesuai karakter bernyanyi masing-masing peserta, tetapi bukan berarti harus merubah genre lagu-lagu tersebut.

Arransemen musik yang dinakodai Bang Onny (kalau tidak salah) tidak menampilkan kekhasan dari genre dangdut/Melayu. Arransemen musik hanya mengikuti arransemen vokal dari masing-masing peserta, demikian yang dikatakan oleh Hanin Dhiya (peserta Rising Star RCTI termuda berusia 13 tahun). Mau dikatakan salah pun tidak, karena memang arransemen musik harus disesuaikan dengan cara bernyanyi dari masing-masing peserta. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa pada babak Lucky Seven kali ini, peserta Rising Star Indonesia-lah yang tidak mau dan/atau tidak berani (bukan tidak bisa) mengeksplorasi kemampuan mereka untuk menjawab tantangan panggung Rising Star Indonesia yang seharusnya “bercengkok” dan “berjoget”  ria.

Dari tujuh peserta, hanya satu peserta, Indah Nevertari, yang menurut saya berani mengeksplorasi kemampuan olah vokalnya serta dapat menyuguhkan aksi brilian yang sekaligus menghentak panggung spektakuler Rising Star Indonesia. Nirmala, sebuah lagu Melayu yang sangat terkenal di Malaysia dibawakan dengan sangat sempurna dengan menghadirkan teknik olah vokal, ciri khas bernyanyi dan aksi panggung seorang Nevertari yang memang sangat mendukung tema panggung Rising Star Indonesia yang sesungguhnya: “Tribute to Dangdut/Melayu”.

Kontestasi panggung Rising Star Indonesia akhirnya menyisakan 6 kontestan yakni: Reyna Qontrunnada, Hanin Dhiya, Indah Nevertari, Ghaitsa, Evony Arty, dan Bluesmates, yang akan bertarung pada babak The Best Six minggu depan (5/12/2014). Sonny Saragih (peserta berusia 15 tahun) harus puas berada di posisi tujuh besar, dan harus meninggalkan teman-teman seperjuangannya yang juga sekaligus sebagai competitor di ajang Rising Star Indonesia. Sonny yang sejak awal telah menduduki kursi panas tidak mampu bersaing dengan Bluesmates, Band Blues asal Surabaya, dalam pengumpulan dan perolehan prosentasi penilaian tertinggi.

Rising Star Indonesia: Only Star Will Rise!

[http://hiburan.kompasiana.com/musik/2014/11/29/panggung-rising-star-indonesia-gagal-ber-endang-endut-689346.html]

KPK Menjemput “Bola Pertama” Di NTT

Marthen Dira Tome (Gambar: Pos Kupang)

Oleh: Pietro T. M. Netti

Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI

Senin, 17 November 2014, suasana Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Nusa Tenggara Timur di Jl. Jend. Soeharto, depan kampus Universitas Nusa Cendana lama, dikejutkan dengan kedatangan sejumlah aparat berseragam Brimob Polda Nusa Tenggara Timur dengan bersenjata lengkap. Kedatangan anggota Brimob secara mendadak ini sempat membuat panik para pegawai di dinas setempat yang baru saja melaksanakan apel pagi (Apel Kesadaran tiap tanggal 17).

“Mungkinkah ada kasus tindak kejahatan/kriminal yang sedang terjadi? Atau mungkinkah ada teror yang dilancarkan oleh orang tidak dikenal yang mengancam keselamatan kantor dan karyawan?”

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka di benak pegawai-pegawai saat itu. Suasana baru sedikit mencair ketika di antara kurang lebih sepuluh personil Brimob tersebut terdapat pula aparat penegak hukum lainnya yang mengenakan rompi yang bertuliskan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Walaupun demikian, suasana tetap menegangkan, karena kehadiran para aparat penegak hukum ini (KPK) tidak disangka-sangka sebelumnya oleh para karyawan.

“Kami tidak menyangka sama sekali KPK akan datang! Tidak ada pengumuman atau pemberitahuan sebelumnya!”, ungkap beberapa karyawan.

Kehadiran KPK di Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi NTT terkait dengan penyelidikan kasus tindak pidana korupsi dana Pendidikan Luar Sekolah (PLS) tahun 2007. Kasus korupsi ini melibatkan Bupati Sabu Raijua, Marthen Dira Tome, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Bidang PLS. Status orang nomor satu di Kabupaten Sabu Raijua telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, setelah sekian lama terkatung-katung di Kejaksaan Tinggi NTT.  

Menurut Juru Bicara KPK, Johan Budi, dalam pengelolaan dana PLS ditemukan penyaluran dana yang tidak sesuai peruntukkannya yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 77 miliar (Pos Kupang).

Penetapan status tersangka kepada Marthen oleh KPK ini menjadi sorotan tersendiri bagi masyarakat NTT pada umumnya, mengingat NTT adalah salah satu Propinsi yang belum pernah dijamah oleh KPK sebelumnya. Dari sekian banyak kasus korupsi di Indonesia yang ditangani, dan sekian banyak tersangka koruptor yang ditetapkan oleh KPK, belum ada satupun kasus korupsi di NTT yang ditangani oleh KPK. Begitu pula dengan belum adanya satu pun tersangka koruptor di NTT yang ditetapkan oleh KPK.

Memang telah banyak tersangka kasus korupsi yang sudah ditangani oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan dan dijebloskan ke dalam penjara, tapi tingkat kepuasan masyarakat belum sepenuhnya terobati jika bukan KPK yang menanganinya langsung. Mengingat pula pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ini memang untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.

“Para koruptor seharusnya digilas sendiri oleh KPK!”, demikian harapan masyarakat NTT.

Saat ini masyarakat NTT mulai melihat titik terang pemberantasan korupsi di NTT, walaupun masih banyak kasus yang diduga menyelewengkan uang negara ini belum sepenuhnya tersentuh oleh KPK. “Bola pertama” telah dijemput KPK, dan kiranya KPK akan terus menjemput “bola-bola” berikutnya yang masih bebas “menggelinding” di tanah Flobamora (Flores, Sumba, Timor, Alor) baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten/kota.

[http://regional.kompasiana.com/2014/11/28/kpk-menjemput-bola-pertama-di-ntt-689030.html]

November 28, 2014

“Tamatan Malaysia” Rata-Rata Sakit Jiwa

Toga (Gambar: smpinovatif.com)

Oleh: Pietro T. M. Netti

Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI

Ada fenomena unik yang saya jumpai sendiri saat saya berkesempatan menetap dan bekerja selama beberapa saat di Pulau Batam dan Pulau Bintan di tahun 2000 silam. Dimana-mana di kedua pulau ini terdapat cukup banyak orang yang oleh warga setempat biasa dijuluki sebagai “Tamatan/Lulusan/Alumni Malaysia”.

Jika dilihat dari kehidupan para “alumnus” ini memang sangat memprihatinkan, tetapi begitulah kenyataan yang terjadi. Mereka adalah sosok-sosok yang tidak jelas atau lebih tepatnya tidak diketahui asal-usul dan latar belakang identitas, keluarga dan kewarganegaraannya. Teman-teman saya mengatakan bahwa para alumnus ini ada yang berasal dari Vietnam, Philipine, India, negara-negara tetangga lainnya di Asia Tenggara dan Asia, dan juga sebagian lagi berasal dari Indonesia sendiri yang tidak bisa kembali ke kampung halamannya masing-masing.

Para lulusan Malaysia ini menghabiskan hidup keseharian mereka di jalan-jalan, di emperan-emperan toko, tapi tanpa meminta dan mengharapkan belas kasihan orang-orang di sekelilingnya. Ya, mereka hidup dengan cara mereka sendiri tanpa berniat membebani orang lain. Mereka bukan preman yang hidup dengan mengandalkan kekerasan dan/atau pemerasan. Mereka juga bukan gelandangan dan pengemis yang mengulurkan tangan untuk sekeping/dua keping rupiah walaupun banyak orang yang turut merasa berbelas kasihan dan iba kepada mereka. Mereka juga bukan pelaku kriminal atau bahkan teroris walaupun kadang suka membuat onar dan menebar teror.

Mereka adalah para “Tamatan/lulusan/alumni Malaysia” (istilah yang dilekatkan pada diri mereka). Ya, para tamatan/lulusan/alumni ini adalah mantan pekerja keras di negeri Jiran Malaysia yakni para mantan tenaga kerja yang akhirnya dideportasi keluar dari Malaysia. Yang aneh dari para mantan tenaga kerja ini adalah bahwa mereka semua mengalami gangguan jiwa akut alias tidak waras atau gila. Ada cerita yang berkembang bahwa sebagian besar dari mereka sebelumnya adalah tenaga kerja illegal yang ditangkap dan telah menjalani masa hukuman di Malaysia dan kemudian dideportasi. Rata-rata mereka memiliki bekas luka cambuk di bagian punggung, dan anehnya rata-rata dari mereka menjadi berangsur-angsur tidak waras setelah dideportasi.

Telah menjadi pengetahuan umum bahwa pemerintah kerajaan Malaysia hingga saat ini memberlakukan hukum cambuk (sesuai Hukum Syariat) kepada setiap pelanggar hukum di negeri Jiran ini. Bekas cambukan di tubuh mereka akan menjadi kenang-kenangan abadi bagi mereka yang pernah melakukan tindak kriminal. Yang belum menjadi pengetahuan umum bagi kita adalah: “Kenapa sebagian besar mantan tenaga kerja termasuk Tenaga Kerja Indonesia dan/atau Tenaga Kerja Wanita (TKI/TKW) yang pernah bekerja di negeri serumpun ini selalu menderita sakit jiwa/tidak waras/gila setelah dideportasi atau setelah pulang kampung?”

Selama berdomisili di Batam (3 bulan) dan di Bintan (9 bulan), saya sempat mendapatkan informasi-informasi dari warga setempat yang membuat trenyuh, karena informasi-informasi tersebut sungguh tidak bisa diterima oleh akal sehat saya. Entah benar atau tidak benar, itulah informasi yang saya dengar. “Setiap orang gila yang ada di Batam/Bintan pastilah tamatan/lulusan/alumni dari Malaysia!” demikian pendapat-pendapat warga di dua pulau di Kepulauan Riau ini.  

Semula saya berpikir jika para tamatan Malaysia ini kemungkinan besar mengalami stress berkepanjangan sebagai akibat dari siksaan, hukuman dan pendeportasian yang mereka alami yang akhirnya menyebabkan mereka mengalami gangguan jiwa. Dugaan siksaan yang menimpa para tenaga kerja ini juga diakui oleh sebagian warga sebagai salah satu pemicu terjadinya gangguan jiwa walau diakui sangat kecil kemungkinannya. Saya juga berpikir jika para tamatan Malaysia ini, lagi-lagi, mengalami stress mengingat begitu kerasnya kehidupan di Batam dan/atau di Bintan yang harus dijalani. Namun dugaan saya tersebut langsung dibantah oleh sebagian besar warga masyarakat. “Kalau alasannya stress tentang kerasnya kehidupan, kitapun pasti sudah gila sejak lama!”

“Lantas apa yang sebenarnya terjadi dengan nasib para Wisudawan Malaysia tersebut?”

Melihat fenomena orang gila yang tidak diketahui asal-usulnya ini yang juga adalah mantan tenaga kerja di Malaysia ini, saya mendengar banyak sekali pendapat warga yang senada. Saat ditanya: “Siapa orang-orang itu?”, jawabannya selalu sama: “Tamatan dari Malaysia!” Jika ditanya lagi: “Kenapa mereka menjadi tidak waras atau gila?”, jawabannya singkat, padat dan jelas: “Disuntik laah…!”

Sekali lagi, telah menjadi “pengetahuan umum” bahwa hukum di Malaysia masih memberlakukan Hukum Cambuk yang merupakan penerapan dari Hukum Islam/Hukum Syariat. Yang belum menjadi “pengetahuan umum” adalah: “Kenapa sebagian besar mantan tenaga yang pernah bekerja di negeri serumpun ini selalu menderita sakit jiwa/tidak waras/gila?” Namun demikian, ada satu hal yang sudah menjadi “rahasia umum” bahwa negeri Jiran inipun melaksanakan Hukum Suntik (istilah sendiri) kepada tenaga kerja yang berkewarganegaraan asing(?). Walaupun Hukum Suntik ini mungkin saja bukan termasuk dan/atau tidak dikenal dalam Hukum Syariat di Malaysia, namun banyak pihak yang membicarakan tentang pemberlakuan Hukum Suntik ini di Malaysia.

Dikatakan bahwa hukum suntik ini tidak serta-merta membuat korban langsung menjadi tidak waras/gila, tapi secara berangsur-angsur suntikan maut tersebut akan merusak sel/jaringan syaraf otak. Isu suntik gila yang, katanya, diberlakukan oleh oknum aparat penegak hukum di Malaysia kepada para tenaga kerja illegal yang kemudian akan dideportasi ini dimaksudkan agar para tenaga kerja illegal ini tidak akan kembali lagi ke Malaysia dengan status yang sama (illegal) untuk mengadu peruntungan mereka. Dikatakan pula bahwa menurut aparat keamanan di Malaysia, “sekali illegal akan tetap illegal”. Setelah disuntik, mereka dipastikan tidak akan kembali lagi ke Malaysia karena pastinya mereka akan mengalami hilang ingatan setelah dideportasi.

Tentu pendapat-pendapat warga di pulau Batam dan Bintan ini tidak harus ditelan bulat-bulat, bisa saja “salah”, tapi bisa juga “benar”. Apapun bisa terjadi! Oleh sebab itu, perlu ada investigasi dan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan salah-benar-nya pendapat/cerita yang sudah berkembang luas di tengah masyarakat ini. Hal inipun perlu menjadi perhatian serius Pemerintah Indonesia dalam hal ini pihak-pihak terkait/berwajib, dan/atau Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli pada penegakan Hak Asasi Manusia untuk menelusuri dan mengungkap fakta dan kebenarannya. Jika saja benar sesuai dengan tuturan masyarakat di atas, maka kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan Malaysia ini sungguh sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Negara/kerajaan yang mengusung Syariat Islam ini akan dikenal sebagai negara dan bangsa paling biadab di muka bumi ini (butuh pendalaman dan pembuktian lebih lanjut).

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), Kupang, juga terdapat banyak kasus serupa yang luput dari perhatian pemerintah maupun pemberitaan media. Para korban yang akhirnya menderita gangguan jiwa tersebut juga rata-rata adalah mantan tenaga kerja yang pernah bekerja di Malaysia. Sebagaimana kita ketahui, NTT juga tercatat sebagai salah satu penyumbang tenaga kerja terbesar di Indonesia untuk dipekerjakan di Malaysia dan beberapa negara lainnya. Kasus human trafficking pun marak terjadi di NTT. Masih lekat dalam ingatan kita, kasus yang menimpa Nirmala Bonat, TKW asal Timor, yang mengalami penyiksaan di luar perikemanusiaan oleh majikannya di Malaysia. Dan masih banyak lagi kasus yang sama dialami oleh saudara/i kita yang berasal dari daerah lain di Indonesia. Pihak keluarga hanya bisa pasrah menerima keadaan apa adanya dan tidak bisa berbuat banyak karena tidak tahu harus mengadu kemana(?).

Saya juga sempat kaget membaca tulisan seorang Kompasianer (----) beberapa hari yang lalu (24/11/2014), yang membeberkan data TKI di daerahnya, Jawa ----, yang mengalami gangguan jiwa. Dalam tulisan tersebut tercatat TKI yang pernah bekerja di Malaysia, 70% diantaranya mengalami gangguan jiwa saat kembali ke daerah asalnya. Sebuah data yang sangat mencengangkan! (Lihat: ---) Dan tulisan itu pun menginspirasi saya untuk menceritakan fakta-fakta yang berhubungan dengan para TKI yang mengalami gangguan jiwa seusai bekerja di Malaysia. Ada benang merah di antara data di Jawa --- tersebut dan fakta-fakta yang terjadi di berbagai pelosok negeri.

“Mungkinkah sekian banyak kasus serupa (kasus gangguan jiwa) yang terjadi di berbagai pelosok negeri ini yang menimpa para TKI kita hanya sebuah KEBETULAN belaka? Mungkinkah KEBETULAN saja sama-sama pernah bekerja sebagai tenaga kerja di Malaysia, dan saat kembali ke tanah air KEBETULAN pula sama-sama mengalami gangguan jiwa?”

Melihat kasus-kasus yang terjadi dan yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan/atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri, khususnya, di Malaysia, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Tenaga Kerja perlu memberikan jaminan keamanan yang pasti dan bantuan hukum yang memadai bagi mereka. Dalam pemberitaan-pemberitaan, para TKI kita yang bekerja di luar negeri sering mendapat perlakuan yang tidak bereprikemanusiaan dari majikan-majikan mereka. Kasus hukum yang dialami dan tuntutan hukum yang dikenakan kepada para TKI/TKW pun tidak adil, cenderung mengada-ada dan malah terkesan semena-mena.

Lebih khusus lagi, Pemerintah dalam hal ini aparat terkait/berwenang (entah apa itu namanya) perlu menganalisa penyebab gangguan jiwa yang terjadi pada kebanyakan tenaga kerja kita yang rata-rata pernah bekerja di Malaysia. Dan yang terakhir, bila perlu, Pemerintah bisa mengerahkan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mengusut dan/atau menelusuri isu Hukum Suntik atau Suntik Gila yang marak diperbincangkan tersebut.

Sekali lagi, mengakhiri tulisan ini, saya ingin menggarisbawahi dan mempertegas kembali pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengusik hati dan pikiran saya sekian lama sejak tahun 2000 silam. Pertanyaan-pertanyaan yang mengusik ini kiranya bisa menjadi perhatian kita semua, khususnya bisa menjadi perhatian serius dari Pemerintah Indonesia ke depannya dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia:

“Mungkinkah sekian banyak kasus serupa (kasus gangguan jiwa) yang terjadi di berbagai pelosok negeri ini yang menimpa para TKI kita hanya sebuah KEBETULAN belaka? Mungkinkah KEBETULAN saja sama-sama pernah bekerja sebagai tenaga kerja di Malaysia, dan saat kembali ke tanah air KEBETULAN pula sama-sama mengalami gangguan jiwa?”

“Only heaven knows!”

[http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/11/26/tamatan-malaysia-rata-rata-sakit-jiwa-688790.html]

November 23, 2014

Tindak Pidana Pornografi Di Dunia Maya

Hukum & Undang-undang Pornografi (Gambar: Liputan6)

Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI

Pornografi di dunia maya tumbuh laksana jamur di musim hujan, walaupun tidak sedikit situs/ website berisi pornografi yang sudah diblokir oleh pemerintah di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Nama yang kerap menjadi sorotan media karena sibuk membredel situs-situs berbahaya ini lewat kementeriannya adalah mantan Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Tifatul Sembiring.

Alasannya sudah pasti agar dapat melindungi rakyat Indonesia supaya tidak terjerumus dalam konten-konten pornografi sebagaiamana yang dicontohkan oleh salah satu mantan anggota dewan rekan separtainya, Arifinto. Sang anggota DPR RI asal PKS tersebut tertangkap basah oleh kamera wartawan sedang asik menikmati adegan mesum melalui gadget handphone-nya di dalam ruang sidang DPR RI. Namun sahabat baik Tifatul ini membantah jika ia tidak sedang asik menikmati, tetapi ia tidak sengaja membuka link yang dikirim oleh temannya (hehe…alasan…alasan..!). Dan kalau tidak salah, di era Tifatul menjabat sebagai Menkominfo pulalah seluruh tayangan televisi di-blur bagian-bagian yang “terpampang nyata” (pinjam Syahrini) demi tidak mengumbar aurat yang mengundang syahwat dan  birahi.

Di dunia maya (dumay), tersedia begitu banyak layanan/konten pornografi yang mudah diakses oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja, sampai-sampai sang Menteri yang kerjanya memerangi situs-situs haram inipun salah meng-klik alias tidak sengaja atau tidak berniat meng-klik (katanya sih) dan tentu saja tidak pula berniat menjadi follower dari salah satu akun porno di twitter (hehe…senjata makan tuan atau tuan makan senjata nih?). Tayangan-tayangan iklan yang berhubungan dengan pornografi pun tersebar luas dimana-mana lengkap dengan ungkapan, gambar, animasi dan video yang fulgar. Iklan-iklan tersebut menawarkan banyak hal yang berhubungan dangan dan/atau mengandung unsur pornografi.

Di tengah pesatnya perkembangan media online saat ini, mau tidak mau kita harus berhadapan (head to head) dengan derasnya arus informasi yang datang di hadapan kita. Benar kata pepatah “dunia tidak selebar daun kelor” tapi cuma selebar layar monitor komputer, dan layar gadget Ipad/HP. Seluruh informasi yang ada di bawah kolong langit ini dapat diakses bebas oleh siapapun tanpa mengenal ruang dan waktu. Pertanyaan yang muncul: “Sudah siapkah kita saat ini menyikapi derasnya arus informasi di media-media online dan menyaring konten-konten informasi mana saja yang patut atau tidak patut dan/atau layak atau tidak layak dikonsumsi?”  

Sebagai pengguna internet (netizen), kita bebas menentukan kemana arah langkah kita berselancar di dunia maya; menuju ke konten-konten positif atau ke konten-konten negatif. Semua pilihan terserah pada kita sendiri yang memutuskan. Dan hal lain yang sangat penting adalah kita juga diberi kebebasan seluas-luasnya untuk mau atau tidak mau membentengi diri sendiri dengan nilai-nilai (moral, etika, dan agama) agar bisa terhindar dan tidak terjerumus pada pilihan-pilihan yang menyesatkan.  Sekali lagi, semua terserah kita! (Lihat: Wajarkah Iklan Dewasa Ditayang Di Kompasiana?)

Siapapun kita bisa menjadi netizen. Apalagi dengan maraknya media-media sosial yang bermunculan, kita bebas bergabung dan berinteraksi. Kita dapat sebebas-bebasnya memberikan pendapat, pandangan dan opini kita tentang apa saja yang sedang terjadi. Kita pun bebas mengekspresikan diri melalui media-media ini baik dalam kata-kata, gambar, animasi, audio maupun video. Hanya saja yang terjadi belakangan ini adalah kebebasan berpendapat dan berekspresi yang kita miliki disalahartikan dengan bebas (baca: sewenang-wenang) menyerang orang/pribadi tertentu dengan tidak lagi mempedulikan tatanan nilai, moral, etika dan religiusitas di dalam masyarakat beradab yang berketuhanan dan berperikemanusiaan.

Masih segar dalam ingatan kita kasus penyebaran gambar porno oleh si pembantu tukang sate, Muhammad Arsyad, belum lama ini. Arsyad dilaporkan ke polisi oleh politisi PDIP Hendri Yosoningrat pada 27 Juli 2014 atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran gambar pornografi Presiden Jokowi. Pada Kamis, 23 Oktober 2014, ia ditangkap dan ditahan di Bareskrim Polri.
Atas tindakannya, Arsyad dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 29 Juncto Pasal 4. Ayat 1 UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Pasal 310 dan 311 KUHP, Pasal 156 dan 157 KUHP, Pasal 27, 45, 32, 35, 36, 51 UU ITE.

Khusus tentang pornografi, berikut ini adalah ulasan tentang undang-undang pornografi di dunia maya yang dikutip dari Hukum Online. Ulasan berikut adalah sebuah jawaban oleh Shanti Rachmadsyah, SH atas pertanyaan seputar Cyber Pornografi (Pornografi di dunia maya).

Pertanyaan: Cyber pornography (pornografi dunia maya). “Selamat sore, saya mau bertanya, andaikata ada permasalahan mengenai pornografi dunia maya (cyber pornography) misalnya, website atau pun forum tertentu, undang-undang manakah yang akan berlaku, apakah KUHP, UU Pornografi atau UU ITE? Apakah asas lex specialis derogat legi generalis berlaku terhadap undang-undang tersebut (tiga UU yang dimaksud di atas)? Atau apakah ada pertentangan atau konflik di antara ketiga UU tersebut? (kalau ada, maka UU manakah yang dipergunakan?) Terima kasih sebelumnya.” EDUARDNONG

Jawaban: Pornografi di dunia maya disebut dengan istilah cyber pornography yang dapat diartikan sebagai penyebaran muatan pornografi melalui internet. Tindak pidana pornografi di dunia maya dapat dijerat dengan pasal-pasal di dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik), dan Undang-undang Pornografi.

KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

Memang dalam KUHP tidak dikenal istilah dan/atau kejahatan pornography, tapi ada pasal yang dapat dikenakan terhadap perbuatan ini, yakni pasal 282 KUHP:

Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah

UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik)

Dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pun tidak mengenal adanya istilah pornography, tetapi muatan yang melanggar kesusilaan. Penyebarluasan muatan yang melanggar kesusilaan melalui internet diatur dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE mengenai Perbuatan yang Dilarang, yaitu:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” 

Pelanggaran terhadap pasal 27 ayat (1) UU ITE dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 milyar (pasal 45 ayat [1] UU ITE). 

UU Pornografi (Undang-undang Pornografi)

Undang-undang yang secara tegas mengatur mengenai pornografi melalui internet adalah UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi). Pengertian pornografi menurut pasal 1 angka 1 UU Pornografi adalah:         

“… gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”

Pelarangan penyebarluasan muatan pornografi, termasuk melalui di internet, diatur dalam pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, yaitu; 

“Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
  1. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
  2. kekerasan seksual;
  3. masturbasi atau onani;
  4. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
  5. alat kelamin; atau
  6. pornografi anak.” 

Pelanggaran pasal 4 ayat (1) UU Pornografi diancam pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar (pasal 29 UU Pornografi). 

Pasal 44 UU Pornografi menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. 

[http://hukum.kompasiana.com/2014/11/23/-tindak-pidana-pornografi-di-dunia-maya-688148.html]

November 20, 2014

Bentrok TNI-Polri Di Batam: “Tatapan Menggoda Berujung Baku Tembak”

TNI & Polri (Gambar: RADARONLINE.CO.ID)

Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI

Batam, Kepulauan Riau, kembali bergejolak. Hujan peluru menderas langit malam negeri Lancang Kuning (Rabu, 19 November 2014).

Bentrok TNI-Polri kembali berkecamuk hanya karena dipicu persoalan sepele. Saling tatap menggoda antara beberapa oknum aparat keamanan tersebut mengakibatkan perseteruan yang menyeret dua institusi yang sama-sama memiliki angakatan bersenjata. Pandang bertemu pandang mengusik rindu dendam yang terpendam. Hujan peluru pun berkecamuk mengusik ketenangan rakyat sipil di jalan Trans Barelang-Trembesi, Batam. Oknum aparat diketahui berasal dari Yonif 134/Tuah Sakti dan Satuan Brimob Polda Kepri.

Sebelumnya, masih lekat dalam ingatan kita beberapa waktu yang lalu yang juga terjadi di negeri tetangga Singapore ini (21 September 2014), telah terjadi ketegangan di antara institusi TNI dan Polri sebagai akibat dari jatuhnya 4 korban luka dari pihak TNI AD yang tertembak oleh senjata aparat kepolisian. Bermula dari penggerebekan oleh aparat kepolisian terhadap gudang penyimpanan bahan bakar minyak illegal oleh oknum pengusaha setempat. Dari hasil penyelidikan tim investigasi gabungan bentukan TNI-Polri, Kapuspen TNI Mayjen Fuad Basya mengatakan bahwa ada anggota Yonif 134 yang menjadi tenaga pengamanan tempat penimbunan BBM tersebut (MERDEKA.COM).   

Bentrokan yang terjadi (Rabu, 19/11/2014) akibat lirikan mata ini mengakibatkan 1 anggota Yonif 134/Tuah Sakti tewas dalam baku tembak kontra Brimob Polda Kepri. Anggota TNI yang tertembak dan yang belum diketahui identitasnya ini tewas sesaat setelah dirawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Embung Fatimah. Korban diduga mengalami pendarahan hebat akibat tertembak di bagian dada dan pundak. Sementara itu, informasi terbaru menyebutkan, masih ada seorang anggota TNI Yonif 134 lainnya yang ikut dilarikan ke RSUD Embung Fatimah dengan ambilans Yonis 134. Anggota TNI tersebut mengalami luka-luka (JPNN.COM).

Pantauan melalui MetroTV semalam menunjukkan arogansi aparat keamanan yang tidak memikirkan keteriban dan ketenangan umum. Adu tembak berlangsung di tengah hiruk pikuk aktifitas masyarakat yang sedang bergelut dengan kehidupan. Suasana mencekam dipertontonkan di hadapan publik. Adu kuat dua institusi yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat menjadi teror yang menakutkan. Jika kejadian seperti ini selalu saja terjadi, kemana/kepada siapa lagi rakyat harus mencari perlindungan? Apakah rakyat pantas meminta perlindungan kepada mereka yang hanya bisa membuat onar dan teror?

Bentrok TNI-Polri telah menjadi fenomena biasa di negeri semenjak Reformasi 1998, yakni sejak diberlakukan pemisahan fungsi dan tugas kedua institusi tersebut. “Ada apa sebenarnya dengan kedua lembaga ini?” Ini menjadi pertanyaan yang tak terjawab untuk sekian lama tahun sejak memasuki Orde Reformasi. Secara umum peran dan tugas TNI dan Polri sebagai berikut: TNI menjaga keamanan dan pertahanan negara, dan Polri lebih ke memberikan pelayanan masyarakat (DATABASEKONTEN.COM).

“Lalu kenapa selalu saja terjadi gesekan di antara kedua lembaga ini?”

Berikut ini adalah liputan KOMPAS.COM (9 Mei 2012): TNI dan Polri Mutlak Berubah
“Upaya menekan arogansi TNI dan Polri mutlak dilakukan dengan perubahan mendasar di tubuh kedua institusi itu. Masalah yang mengakar di kedua institusi itu harus diselesaikan secara tuntas untuk memastikan anggotanya benar-benar mengabdi kepada rakyat, bukan ”musuh” rakyat.

Menurut pengajar Universitas Pertahanan, Jakarta, Anton Aliabbas, pasca-pemisahan dari TNI, tidak terlihat perubahan mendasar yang dilakukan Polri, termasuk militerisme yang tidak dihilangkan. Polri tidak dibangun dengan wajah yang lebih humanis. ”Selama ini, penanganan oleh Polri sedikit banyak pengaruh militeristik, bukan mengedepankan bahwa polisi itu harus melayani,” kata Anton, Selasa (8/5/2012).

Sementara itu, upaya perubahan di TNI pun menghadapi kondisi tak kalah kompleks. TNI membawa beban masa lalu yang menempatkan mereka sebagai ”warga kelas satu”. ”Problem ini mau tidak mau kemudian memengaruhi arogansi,” lanjutnya.

Ia mencontohkan soal penggunaan senjata. Semestinya senjata hanya digunakan anggota yang bertugas. Tidak semua satuan di Polri perlu membawa senjata. Untuk TNI, aturannya mesti lebih ketat. Tidak ada senjata yang dibawa kalau anggotanya tidak menjalankan tugas operasi, tidak ada senjata yang dibawa pulang ke rumah.

”Kalau ada pelanggaran, tidak ada lagi sanksi yang hanya berupa etika atau disiplin. Semua harus dibawa ke pengadilan. Pelanggaran marak karena mereka merasa sanksinya ringan. Masa mukulin orang cuma sanksi etika atau disiplin?” ujar Anton.

Pengamat militer dari Universitas Indonesia, Edy Prasetiono, menilai, situasi keamanan yang gamang ini merupakan hasil dari minimnya kemampuan elite, yaitu pemerintah dan parlemen, dalam menganalisis dan membuat kebijakan keamanan. Analisis masalah tak sampai ke akarnya.

Edy menyatakan, sebenarnya sudah ada pembagian kewenangan jelas antara TNI dan Polri. TNI berfungsi untuk pertahanan internal dan eksternal. Polri bertanggung jawab dalam ketertiban masyarakat, yang demi tujuan ini melakukan penegakan hukum, pengayoman, dan perlindungan masyarakat.

Edy mengusulkan ada sistem perekrutan anggota Polri yang lebih ketat sehingga dihasilkan aparat profesional. Pengawasan yang selama ini dipegang Komisi Kepolisian Nasional harus lebih diperkuat. Untuk TNI harus diperbanyak pelatihan dan penyusunan sistem pengawasan yang ketat.

Arogansi aparat, kata Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia Benny Susetyo, menunjukkan dilupakannya fungsi dan tugas melindungi rakyat. Hal itu diperparah tak adanya pemimpin yang berwibawa.

Jika ada kemauan politik dan kewibawaan pemimpin, semestinya kedua lembaga itu bisa ditata. Nilai-nilai Sapta Marga dan Bhayangkara bisa dihayati dan menjadi aturan main di lembaga penegak hukum itu.

Namun, pengajar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Airlangga Surabaya, Radian Salman, menilai, sesungguhnya TNI dan Polri masih memahami fungsinya. Masalahnya, ujarnya, pendayagunaan untuk tugas-tugas mereka tidak maksimal. Ketika peran polisi di keamanan meluas, peran TNI tidak berkembang. Akibatnya, ada peluang bermain- main di lahan yang dulu menjadi bagian TNI itu. Rivalitas kedua lembaga semakin kuat.

Seharusnya, kata pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, kepolisian tidak ditempatkan di bawah presiden, tetapi di bawah kementerian. Dengan keberadaan langsung di bawah presiden, polisi rentan digunakan oleh kekuasaan. (FAJ/INA/EDN/DIK/IAM/ONG)

(http://regional.kompasiana.com/2014/11/20/bentrok-tni-polri-di-batam-tatapan-menggoda-berujung-baku-tembak-687623.html)

November 19, 2014

Wajarkah Iklan Dewasa Ditayang Di Kompasiana?

Gambar: Gamexeon

Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah Rumah IDE & KREASI


Semula saya sangat kaget alias terganggu dengan beberapa gambar iklan dewasa yang muncul di halaman Kompasiana. Saya menahan diri untuk tidak menulis (memberikan opini/komentar) tentang gambar-gambar dewasa tersebut, sambil menunggu mungkin saja ada komentar-komentar dari sesama kompasianer lainnya yang mau menyoroti tayangan iklan dewasa tersebut.

Saya baru bergabung di Kompasiana pada 14 September 2014 lalu, tapi saya telah menjadi pembaca kompasiana (tidak rutin) jauh hari sebelum memutuskan bergabung menjadi kompasianer. Pada saat “singgah” di www.kompasiana.com saya tidak pernah mendapati iklan-iklan tersebut. Di awal saya bergabung pun hingga beberapa saat setelahnya, saya belum melihat tayangan-tayangan tersebut.

Pada suatu ketika masih di bulan September, saat saya log in (masuk) dan ingin mem-posting tulisan (lupa posting-an ke berapa, mungkin posting-an ke-2 atau ke-3) di Kompasiana, saya kaget bukan kepalang melihat tayangan iklan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya dan sama sekali tidak saya harapkan muncul di halaman Kompasiana. Ada tayangan iklan dengan tema “mempenjang alat vital pria” lengkap dengan tampilan gambar alat vitalnya yang berukuran XL (extra long). Di bagian lain terdapat pula tayangan iklan dengan gambar, animasi dan bahkan cuplikan video porno yang lagi-lagi di luar dugaan saya.

Saya bertanya-tanya, mungkinkah benar tayangan-tayangan iklan tersebut dilakukan sendiri oleh Administrator Kompasiana? Atau mungkin saja gambar-gambar tersebut dimunculkan oleh pihak lain yang sengaja “mengganggu” Kompasiana? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sampai sekarang masih terus ada dalam pikiran saya. Namun hingga saat ini saya pun belum menjumpai satu pun tulisan dari kompasianer yang mengomentari tentang tayangan iklan dimaksud. Atau mungkin saja sudah ada yang pernah menulis tapi tidak sempat saya baca (?).

Sebenarnya tayangan-tayangan iklan yang seperti saya sebutkan di atas banyak dijumpai di media-media online lain yang bertebaran di dunia maya. Ada website/situs dan blog-blog tertentu (khusus dewasa/18+) yang berisi konten-konten pornography marak menayangkan iklan-iklan seperti itu, dan itu menurut hemat saya wajar dan biasa saja. Karena memang iklan-iklan tersebut sesuai dengan konten yang terdapat di dalam situs-situs  khusus tersebut. Yang menjadi aneh jika situs-situs tersebut juga menayangkan iklan-iklan yang bersifat agamis dan religius.

Berhadapan dengan dunia online saat ini, kita sebagai pengguna internet (netizen) diberi kebebasan sebesar-besarnya untuk memilih konten-konten apa saja yang diinginkan dan/atau yang dibutuhkan. Semua hal di dunia ini dapat diakses dengan mudah oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja sepanjang didukung dengan/oleh peralatan media/gadget dan jaringan internet yang memadai. Sebagai netizen kita juga bebas menentukan kemana arah langkah kita berselancar di dunia maya; menuju ke konten-konten positif atau ke konten-konten negatif. Semua pilihan terserah pada kita sendiri yang memutuskan. Dan hal lain yang sangat penting adalah kita juga diberi kebebasan seluas-luasnya untuk mau atau tidak mau membentengi diri sendiri dengan nilai-nilai (moral, etika, dan agama) agar bisa terhindar dan tidak terjerumus pada pilihan-pilihan yang menyesatkan. Sekali lagi, semua terserah kita!

“Lantas bagaimana dengan tayangan iklan-iklan dewasa (baca: iklan pornography) di Kompasiana? Wajarkah Kompasiana menayangkan iklan-iklan tersebut?”

Terus terang, saya bergabung di Kompasiana, karena saya merasa mendapatkan media yang cocok dan sesuai dengan keinginan saya. Berikut ini adalah alasan-alasan mengapa saya ingin bergabung di Kompasiana sebagai kompasianer, adalah:

PERTAMA, saya dapat menambah wawasan dalam berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan melalui rubrik-rubrik yang ada di Kompasiana. “Kompasiana menampung beragam konten yang menarik, bermanfaat dan dapat dipertanggungjawabkan dari semua lapisan masyarakat dengan beragam latar belakang budaya, hobi, profesi dan kompetensi. Keterlibatan warga secara masif ini diharapkan dapat mempercepat arus informasi dan memperkuat pondasi demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.” (Tentang Kompasina)

KEDUA, saya dapat menyalurkan ide dan kreatifitas saya sebebas-bebasnya melalui tulisan, gambar ataupun rekaman audio dan video sepanjang tidak melanggar aturan-aturan yang ditetapkan oleh Kompasiana dan tidak melanggar hukum positif (perundang-undangan) yang berlaku di Indonesia. “Kompasiana adalah sebuah Media Warga (Citizen Media). Di sini, setiap orang dapat mewartakan peristiwa, menyampaikan pendapat dan gagasan serta menyalurkan aspirasi dalam bentuk tulisan, gambar ataupun rekaman audio dan video.” (Tentang Kompasiana)

KETIGA, saya dapat terus berlatih dan mengasah ketrampilan menulis sekaligus secara perlahan-lahan melatih alur dan pola pikir yang teratur, kreatif, kritis dan sistematis dalam mewartakan peristiwa, menyampaikan pendapat dan gagasan serta menyalurkan aspirasi. Kompasiana bagi saya adalah sebuah media sosial yang sangat berbeda dengan media-media sosial lainnya yang sedang booming. Kompasiana mensyaratkan setiap tulisan yang ditayang tidak boleh kurang dari 70 kata/karakter. Dengan demikian Kompasiana memang diperuntukkan khusus kepada mereka yang memiliki hobi minat dan bakat dalam hal membaca dan menulis, jika tidak, maka sebaiknya memilih media sosial lain yang membatasi jumlah kata/karakter dalam setiap posting-an, dan/atau memilih media sosial lain yang bahkan tidak mensyaratkan jumlah kata/karakter pada setiap postingan-nya.

KEEMPAT, sebagai media warga (citizen media) yang interaktif, saya dapat melakukan pertemanan dan bertukar pikiran dengan sesama kompasianer (baik senior maupun junior) yang ada di Indonesia yang notabene adalah penulis-penulis kreatif dan andal. Kompasiana boleh dikatakan sebagai sebuah media yang dapat dipercaya, karena tulisan yang ditayang oleh setiap kompasianer harus bisa dipertanggungjawabkan isinya, sumber,  fakta maupun kebenarannya. Gossip dan fitnah tidak mendapat tempat di Kompasiana yang didiami oleh kompasianer-kompasianer cerdas dan kritis.

Dan KELIMA, sebagai media warga (citizen media), saya sangat berbangga jika hasil karya saya (tulisan-tulisan, gambar ataupun rekaman audio dan video yang ditayangkan) dapat dibaca, dilihat dan diapresiasi oleh sesama kompasianer yang ada di seluruh Indonesia. Kritik, saran dan tanggapan dari sesama kompasianer akan membuka wawasan berpikir yang lebih luas dan matang.     

Kembali ke: Wajar atau tidak Kompasiana menayangkan iklan-iklan yang berbau pornography.

Sebagaimana kita ketahui bersama, Kompasiana adalah sebuah media warga (citizen media). Sebagai media warga, seluruh warga bisa dan bebas mengakses Kompasiana. Tapi perlu dicatat disini bahwa Kompasiana adalah citizen media yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sudah tentu memiliki tatanan etika, norma dan nilai-nilai khususnya kesusilaan. Penayangan gambar-gambar, animasi dan cuplikan video yang berbau pornography tentu saja melanggar kesusilaan. Belum lagi, hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia pun telah secara jelas mengatur tentang pelanggaran kesusilaan tersebut (akan dibahas kemudian).

Melihat tayangan iklan dewasa (iklan seks) yang ditayangkan di Kompasiana sebenarnya sangat mengganggu. Mengapa? Kompasiana sebagai sebuah media warga yang adalah anak kandung dari KOMPAS, sebuah media yang diakui kredibilitasnya di dunia pers nasional, tidak patut memuat iklan-iklan pornography. Kompasiana bukanlah sebuah situs khusus yang memuat konten-konten dewasa/18+. Terus terang, sebagaimana yang telah saya sebutkan tentang alasan-alasan saya bergabung di Kompasiana di atas, saya sama sekali tidak mengharapkan adanya tayangan-tayangan iklan berbau pornography di Kompasiana, karena memang Kompasiana bukan untuk pornography.

Katakanlah, semua kompasianer adalah orang dewasa yang boleh dan/atau layak melihat dan mungkin tidak lagi “terpengaruh” dengan tayangan-tayangan iklan tersebut, tapi bagaimana dengan anak-anak dan remaja kita yang masih di bawah umur yang kebetulan mengakses Kompasiana dan melihat tayangan-tayangan tersebut? Sebenarnya ada begitu banyak tulisan dari para kompasianer yang sangat aktual, inspiratif, bermanfaat, dan menarik yang layak direkomendasikan kepada banyak orang, tetapi lagi-lagi terkendala dengan tayangan-tayangan yang mengganggu tersebut.

Mungkin saja ada alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh Administrator (admin) Kompasiana dalam hal penayangan iklan-iklan dewasa tersebut. Walaupun demikian, Admin Kompasiana perlu mempertimbangkannya kembali dari aspek/sudut pandang pornography atau muatan yang melanggar kesusilan. Menurut analisis saya (pinjam Sentilun), Kompasiana tidak perlu menayangkan iklan yang dilengkapi dengan gambar-gambar, animasi, video yang berbau pornography, mengingat Kompasiana adalah media warga yang bisa dan bebas diakses oleh seluruh rakyat Indonesia di semua lapisan, oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja, baik tua maupun muda, dan baik dewasa maupun anak-anak. Ada hal-hal besar yang berhubungan dengan karakter dan kepribadian bangsa yang patut kita jaga dan pelihara bersama. Salam!

http://media.kompasiana.com/new-media/2014/11/18/wajarkah-iklan-dewasa-ditayang-di-kompasiana--687265.html]

November 17, 2014

Lagi! Kisruh Dewan…! Di Parlemen DKI Jakarta

Gubernur DKI Jakarta: Basuki Tjahaja Purnama (Gambar:tribunenews)
Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI

“Lagi-lagi dewan…lagi-lagi dewan!”

Ya, itulah kata-kata yang terucap ketika menyaksikan tontonan berita televisi dan headline berita surat kabar dan media-media online akhir-akhir ini. Bosan rasanya melihat acara televisi yang selalu diwarnai dengan adegan-adegan tidak mendidik dari sebagian anggota dewan di negeri ini. Mau muntah (pinjam Nurul Arifin) rasanya membaca berita yang hanya berisi kisruh dewan melulu.

Setelah sekian lama rakyat muntah-muntah melihat kisruh dewan di Senayan, kini anggota DPRD DKI Jakarta pun mulai berulah atas nama rakyat dan untuk kepentingan rakyat, dan katanya lagi, hendak memberikan pendidikan dan pembelajaran politik kepada rakyatnya(?). Dari segi pendidikan politik, entah unsur pendidikan dan pembelajaran politik macam apa yang hendak diajarkan kepada rakyat. Sedangkan aksi-aksi yang dipertontonkan hanyalah aksi kekanak-kanakan yang cenderung menunjukkan ketidakcerdasan dan ketololan mereka. 

Manfaat apa yang dapat dipetik dan dirasakan oleh rakyat jika ulah dan aksi anggota dewan jelas-jelas mencerminkan isi kepala dewan yang hanya dipenuhi dengan hawa nafsu kekuasaan? Sangat menyedihkan melihat kenyataan di pihak elit saat ini yang selalu tidak mau kalah atau mau menang sendiri dan merasa benar sendiri. Apakah kenyataan seperti ini yang mau diajarkan kepada rakyat?

DPRD DKI Jakarta kembali menunjukkan hal yang sama yang pernah dilakukan oleh DPR RI belum lama ini. Masih jelas dalam ingatan bahwa perseteruan dan pertikaian di antara dua kubu koalisi di DPR RI (Koalisi Merah Putih dan Kolisi Indonesia Hebat) saling unjuk gigi dalam memperebutkan kursi kekuasaan pimpinan dan alat kelengkapan dewan yang berujung pada mosi tidak percaya dan dualisme kepemimpinan dari pihak koalisi yang kalah. Aksi yang sama pun tengah dipertontonkan saat ini oleh para anggota dewan di parlemen DKI.

Kekisruhan parlemen DKI bermula dari polemik berkepanjangan seputar penetapan Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Ir. H. Joko Widodo yang telah menduduki kursi RI 1. Ada berbagai macam tafsiran terhadap undang-undang yang berkaitan dengan boleh atau tidaknya Ahok (sapaan akrab Basuki Tjahaja Purnama) menggantikan Jokowi (sapaan akrab Ir. H. Joko Widodo) sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Saya tidak akan membahas secara khusus tentang isi undang-undang apa/mana yang menjadi pro-kontra tersebut. Secara garis besar, yang menjadi penyebab kekisruhan di parlemen DKI saat ini adalah ada kubu yang pro (KIH) dan ada kubu yang kontra (KMP) dengan rencana penetapan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi. Kubu KIH mengatakan bahwa Ahok secara otomatis harus ditetapkan sebagai Gubernur menggantikan Jokowi ketika Jokowi telah ditetapkan/dilantik sebagai Presiden RI. Sedangkan kubu KMP mengacu pada undang-undang lain yang menyatakan sebaliknya. Entah mana yang benar dan/atau mana yang salah(?). Kenyataan ini sangat membingungkan rakyat.

Kubu KIH berada pada posisi yang sama dengan pemerintah pusat yakni Kementerian Dalam Negeri RI yang telah memerintahkan DPRD DKI Jakarta untuk segera menetapkan dan/atau melantik Plt. Gubernur DKI Jakarta, Ahok, menjadi Gubernur DKI Jakarta definitif hingga tahun 2017 mendatang. Sedangkan kubu KMP berada pada posisi yang sama dengan Front Pembela Islam (FPI) yang secara mati-matian menolak penetapan dan/atau pelantikan dimaksud.

Perbedaan pandangan dua kubu yang sangat tajam ini akhirnya berujung pada ketidakhadiran seluruh anggota dewan dari kubu KMP dalam Sidang Paripurna Istimewa DPRD DKI Jakarta (Jumat, 14 November 2014) dalam rangka menetapkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Perbedaan yang sangat tajam itu pula berimbas pada munculnya wacana dari kubu KMP untuk melaksanakan Sidang Paripurna Istimewa tandingan. “Sedikit-sedikit tandingan…! Sedikit-sedikit tandingan…! Tandingan kok cuman sedikit?” (he..he..)

Penolakan terhadap Ahok untuk menduduki kursi DKI 1 sebenarnya telah dimulai sesaat setelah Jokowi yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur resmi dicalonkan menjadi calon presiden oleh PDIP untuk Pilpres 2014. Rupanya pencalonan Jokowi running for president tersebut sudah menjadi momok tersendiri dan sekaligus menimbulkan kekuatiran luar biasa bagi kelompok yang juga ingin bersaing dalam pilpres. Begitu pula kekuatiran yang sama dialami oleh oknum dan kelompok tertentu di DKI yang tidak rela DKI bakal dipimpin oleh Ahok yang bermata sipit dan Nasrani itu jika akhirnya Jokowi harus menang pada pilpres.

Kekuatiran yang berlebihan tersebut melahirkan kreatifitas negatif untuk menjegal langkah Jokowi ke istana negara, sekaligus menghalangi langkah Ahok menjadi orang numero uno di Balaikota Jakarta. Black campaign berupa Isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) diangkat sebagai senjata pamungkas untuk menyerang Jokowi dan Ahok sekaligus. Jokowi dituduh kafir karena selalu/sengaja menggandeng pasangan non Muslim di dua ajang pilkada yang berbeda. Di Solo, Wakil Walikota F. X. Hadi Rudyatmo akhirnya menjabat Walikota Solo setelah Jokowi terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan jangan sampai di Jakarta, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki T. Purnama akan menjadi Gubernur jika Jokowi lolos melenggang ke Isatana Kepresidenan.

Pada akhirnya, segala kekuatiran yang menghantui menjadi kenyataan yang tidak bisa tidak diterima. Jokowi, di luar dugaan kubu pesaing, keluar sebagai pemenang pilpres dan mau tidak mau Jokowi pun nantinya harus menitipkan Jakarta kepada wakilnya yang bukan beragama mayoritas. Untuk kedua kalinya Jokowi harus menyerahkan kursi emas DKI 1 yang digiuri banyak pihak kepada si Nasrani dan bermata sipit pula. Apa kata para “peserakah” kekuasaan yang hanya bisa menatap tanpa daya sambil meratapi langit? “Sakitnya di sini..!” sambil menekan dada (he..he..dangdut).

Sebut saja satu, dua, atau lebih anggota dewan dari kubu KMP yang gencar menolak penetapan Ahok sebagai Gubernur definitif (atau mungkin sedang birahi kekuasaan) dengan pontang-panting mencari-cari celah undang-undang yang sekiranya bisa menjegal langkah Ahok. Sebenarnya alasan undang-undang yang diumbar tersebut hanyalah topeng yang dipakai untuk menutupi “wajah garis keras” yang melekat pada diri mereka selama ini. Mereka adalah para pengecut yang bisanya cuma “lempar batu sembunyi tangan”, dan hanya bisa bersembunyi di balik ketiak FPI (Front Pembela Islam) yang secara terang-terangan menolak Ahok hanya karena Ahok beragama Kristen, yang disebut-sebut sebagai orang kafir, bahkan Ahok dikatakan sebagai musuhnya Islam.

Sungguh ironi, Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini diobrak-abrik oleh segelintir oknum dan/atau organisasi massa (ormas) yang sengaja berlindung di balik Islam untuk melawan hukum positif yang berlaku. Ormas yang menganut paham anarkisme ini pun dengan leluasanya menunggangi Islam dan sekaligus meng-kambinghitam-kan Islam untuk menghalalkan segala tindakan biadab mereka yang tidak Islami. Oleh karenanya, pantas juga jika Ahok menyebutnya ormas yang menyimpang dari jalan Tuhan ini sebagai Front Perusak Islam dan tidak layak untuk hidup di Indonesia.

Kini Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah resmi ditetapkan sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan tinggal menunggu waktu pelantikan oleh Presiden atau Wakil Presiden atau Mendagri pada 18 November 2014 mendatang.

“Selamat bekerja, bapak Gubernur DKI Jakarta yang baru, bapak Basuki Tjahaja Purnama!”