August 31, 2014
Satu Hati, Cita, Cinta
Oleh: Pietro T. M.
Netti
Tuan Rumah RUMAH
IDE & KREASI
SATU HATI, CITA,
CINTA
lyric by: Pietro
T. M. Netti
dedicated to: My’queen’May
satukan hati,
satukan langkah kita
bergandengan tangan,
seiring sejalan
Raih harap hari
esok ceria
dengan langkah
pasti
satukan cita, satukan
cinta kita
jalin kembali
simpul-simpul kasih
berpadu satu,
seirama nada-
nada cinta-putih
tinggalkan.................,
semua perbedaan di
antara kita
dan lepaskan.............,
keakuan diri
membelenggu jiwa
tiada lagi
perbedaan, tiada lagi pertentangan
satu hati, satu
cita, satu cinta
Naikolan 271103
Syair di atas adalah sebuah
lirik lagu yang saya ciptakan pada 27 November 2003. Lagu ini sebenarnya adalah
sebuah lagu cinta yang bertemakan ajakan untuk tidak memandang
perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing pasangan kekasih menjadi
satu masalah atau persoalan atau pertentangan yang serius yang akhirnya bisa
mengancam kelangsungan dalam hubungan percintaan.
Kebetulan sekali musim politik
yang baru saja terjadi di Indonesia penuh intrik dan rekayasa yang bisa
berujung pertikaian dan perpecahan. Dengan tensi
politik yang cukup tinggi (atau boleh
jadi sangat tinggi), saya melihat
adanya kepberpihakan-keberpihakan politik yang menjurus pada ketidakharmonisan
yang bisa memecah-belah persatuan dan kesatuan dalam diri anak bangsa.
Sebenarnya pertentangan-pertentangan yang ada adalah ulah segelintir elit yang
sengaja ataupun berencana memanfaatkan kondisi politik ini untuk dijadikan sebagai
ajang adu domba antar sesama anak bangsa.
Maklum para elit (elit politik) memiliki
kepentingan sendiri-sendiri tanpa melihat kepentingan yang lebih besar terhadap
bangsa dan negara ini. Dan ini adalah cerminan elit yang opurtunis yang selalu pandai memancing di air keruh, yakni lihai memanfaatkan moment-moment kritis
atau yang dibuat kritis untuk memuaskan dahaga
kekuasaan mereka tanpa peduli kepada kepentingan-kepentingan yang lebih besar. Dan
setidaknya, rakyat sudah bisa melihat siapa oknum-oknum yang bisa dicap sebagai opurtunis sejati, dan siapa-siapa yang terkategori sebagai negrawan tulen.
Musim politik yang baru lewat cukup
menghadirkan tontonan/adegan kekanak-kanakan yang dilakoni oleh elit-elit yang
suka cari muka, senang menjilat, dan tidak tau diri. Semoga rakyat yang belum terkontaminasi praktek politik
yang tidak bermoral dan tidak beretika ini tidak terpengaruh dengan aksi bejat para elit tersebut. Namun, sadar
atau tidak, sebagian besar rakyat pun telah terpengaruh dengan perilaku elit
politik yang mau menang sendiri, dan merasa
benar sendiri. Hal ini sangat nyata
terjadi dalam kehidupan dan/atau pergaulan sosial (di dunia nyata) maupun di
media-media sosial online (di dunia maya).
Semoga dengan berakhirnya musim
politik ini (Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden) yakni dengan telah
dijatuhkannya ketok palu Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, seluruh
komponen bangsa bisa menerima keputusan hukum yang ada dan taat kepada
supremasi hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Sebagaimana lirik lagu di atas, marilah seluruh komponen bangsa bersatu-padu, bergandengan
tangan, dan melangkah pasti demi masa depan Indonesia Jaya.
Catatan:
Lirik
SATU HATI, CITA, CINTA juga telah diposting
di Notes Facebook Peter Netti pada
22 Juli 2014 lalu sesaat setelah Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia
secara resmi menetapkan pasangan Capres-Cawapres Jokowi-JK sebagai pemenang
Pilpres; menjadi Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Republik Indonesia periode
2014-2019.
August 30, 2014
Pemilu Pilpres: Antara Tingkat Partisipasi & Keadaban (2)
Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI
Menjelang pesta demokrasi (Pemilu) Pilpres 9 Juli 2014 ini,
ada hal baru dan unik yang dirasakan dengan munculnya 2 pasang kandidat Presiden
dan Wakil Presiden. Pasangan kandidat no 1 adalah pasangan Prabowo-Hatta (baca:
4 Daya Tolak Plus 1 Terhadap Capres Jokowi), dan no 2 adalah pasangan Jokowi-JK (baca: 4 Daya Tarik Plus 1 Terhadap Capres Jokowi). Kedua pasangan ini
berhasil menyita perhatian dari seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai
Merauke, dan dari Sangihe sampai Rote. Rakyat Indonesia merasa seakan-akan ini
saatnya yang tepat untuk turut serta memberikan hak suara mereka kepada kedua pasangan calon yang “bertarung”.
Dan hal ini menyebabkan muncul dua kubu besar di Indonesia di samping dua koalisi besar (gemuk dan ramping) yang ada di pusat yang dibentuk
sebagai tim pemenangan untuk masing-masing calon. Dua kubu dan koalisi ini
bukan hanya baersaing secara sehat malah saling menyerang di luar akal sehat satu dengan yang lainnya. Di satu
sisi, pemilu pilpres kali ini berhasil mendulang partisipasi rakyak yang begitu
besar, dan di sisi yang lain, pemilu pilpres kali ini juga berhasil menunjukkan
seberapa tingginya moral, etika, keadaban dan bahkan keimanan/ketakwaan dari elit
dan anak bangsa di negeri yang berketuhanan dan berperikemanusiaan ini.
Musim politik kali telah menjadi ajang caci maki, cemooh,
dan fitnah di antara dua pihak yang saling “berseteru”
mulai dari elit hingga ke rakyat kecil. Saya lebih cenderung mengatakan bahwa
musim politik kali sebagai ajang caci
maki nasional, ajang cemooh nasional dan
ajang fitnah nasional karena semua (maaf, tidak semuanya tapi sebagian
besar) orang menjadi wajib/mudah mencaci
maki, mencemooh, dan memfitnah orang lain. Semua orang menjadi bebas-sebebas-bebasnya berekspresi tanpa
mengindahkan sedikit pun nilai-nilai ketimuran
yang katanya lebih beradab (baca: Kasak-Kusuk Perilaku Politik).
Pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum pun tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah atau menindak para pelaku caci maki, cemooh dan fitnah kecuali hanya bisa menghimbau dan menghimbau agar menjaga suasana tetap kondusif. Sebuah fenomena baru yang sulit diterima akal sehat yang mudah-mudahan tidak berlanjut pada musim-musim politik berikutnya.
Pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum pun tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah atau menindak para pelaku caci maki, cemooh dan fitnah kecuali hanya bisa menghimbau dan menghimbau agar menjaga suasana tetap kondusif. Sebuah fenomena baru yang sulit diterima akal sehat yang mudah-mudahan tidak berlanjut pada musim-musim politik berikutnya.
Saat ini pesta telah
usai, tapi kerja belum selesai. Presiden dan Wakil Presiden Terpilih sudah
di depan mata berdasarkan ketok palu Mahkamah
Konstitusi pada 22 Agustus 2014 (baca: Saya Memilih Jokowi). Kita harus percaya dengan supremasi hukum kita. Kalau ada
yang masih belum puas, jangan salahkan hukum kita, tapi salahkan mereka yang
berperkara yang tidak mampu meyakinkan kesembilan Hakim MK dengan bukti/fakta
hukum yang lemah (baca: Kau Curangi Aku: Sebuah Senandung Galau).
Tinggalkan kubu-kubuan, tinggalkan perbedaan, dan mari bersatu, bergandengan tangan mendukung kerja pemerintahan yang baru (yang akan dilantik pada 20 Oktober 2014) demi kesejahteraan, kemakmuran, kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara Indonesia ke depan! MERDEKA!
Tinggalkan kubu-kubuan, tinggalkan perbedaan, dan mari bersatu, bergandengan tangan mendukung kerja pemerintahan yang baru (yang akan dilantik pada 20 Oktober 2014) demi kesejahteraan, kemakmuran, kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara Indonesia ke depan! MERDEKA!
Pemilu Pilpres: Antara Tingkat Partisipasi & Keadaban (1)
Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI
Pemilu (Pemilihan Umum) Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli
2014 tercatat sebagai satu-satunya pesta demokrasi yang sangat partisipatif di sepanjang
orde/era reformasi yang sudah berusia
16 tahun, dan bahkan mungkin di sepanjang sejarah pemilu di Indonesia sejak orde lama dan orde baru. Rakyat sebagai konstituen pemilih melaksanakan haknya
dalam memeriahkan pesta demokrasi lima tahunan ini dengan penuh antusias tanpa
teror dan intimidasi. Rakyat dengan penuh kesadaran, sukarela, dan senang hati
berbondong-bondong datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) guna menyalurkan hak
suara mereka.
Antusiasme ini pun terjadi pada mereka yang selama
bertahun-tahun tidak mau peduli bahkan tidak tertarik sama sekali untuk
memberikan hak suara mereka alias Golput (Golongan Putih). Sebagai warga
negara yang baik, tentunya setiap orang seharusnya mau/bersedia memberikan hak
suara mereka guna dapat memilih wakil-wakil rakyat maupun pemimpin yang
sekiranya dapat membawa perubahan yang lebih baik bagi bangsa dan negara ini,
Indonesia. Memberikan hak suara sama
halnya dengan turut serta membangun masa depan bangsa dan negara tentunya ke
arah yang lebih baik melalui wakil-wakil dan pemimpin yang kita pilih sendiri.
Tapi namanya hak, setiap orang bisa memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan haknya di dalam setiap perhelatan pesta demokrasi
tersebut. Dan yang namanya hak, tidak
ada sangsi hukum yang dapat dilimpahkan kepada mereka yang tidak melaksanakan
haknya.
Ada berbagai alasan mengapa sebagian rakyat memilih untuk
menjadi golput:
Rakyat sudah bosan, bahkan muak dengan tingkah laku kebanyakan elit baik elit politik maupun
elit pemerintahan yang cenderung hanya tinggi
gunung seribu janji demi merebut simpati rakyat, janji tinggal janji untuk mengemis suara rakyat, dan mulut
manis berbisa guna memperdayai rakyat kecil. Simpati, empati dan kepedulian
kepada rakyat kecil telah menjadi menu wajib di setiap musim politik yang penuh kepura-puraan dan kepalsuan.
Rakyat merasakan sendiri kesenjangan sosial dan kesenjangan
ekonomi yang semakin tajam antara si kaya dan si miskin, antara yang
mewakili dan yang diwakili, serta
antara yang memimpin dan yang dipimpin. Sebuah jarak senjang yang
sangat-amat-terlalu jauh sejauh langit dan bumi. Sebagai warga negara yang baik, rakyat sudah menyiapkan dan
memberikan jatah lumbung yang cukup
kepada para wakil rakyat, para pemimpin
bangsa dan para penyelenggara negara yang
diberikan juga secara bertanggungjawab dari jatah
lumbung milik rakyat sendiri yang masih berkekurangan. Tapi jatah lumbung
selalu ditelan oleh tikus-tikus pencuri yang
selalu rakus walaupun sudah buncit. Sangat mustahil, sampai kucing keluar tanduk
sekalipun tidak akan pernah terjadi pejabat tikus berperut six pack, yang ada adalah berperut six month layaknya ibu hamil yang tinggal 3 bulan melahirkan. Ya,
itulah potret negeri yang dihuni oleh banyak sekali pejabat bunting.
Rakyat melihat sendiri bagaimana hukum yang adalah panglima tertinggi di negeri ini
dilecehkan dan diperkosa dengan penuh
birahi oleh para bunciters. Pedang hukum memiliki 2 mata pedang yang sayangnya hanya
tajam ke bawah, cepat sekali menebas
rakyat kecil yang sebenarnya butuh keadilan.
Sebenarnya bukan pedangnya, tapi si pengayun pedangnya yang tidak bernyali
untuk menebas ke atas, dan tidak
tega(?)menzolimi para manusia bunting(?). Malah pedangnya bisa ditawar-tawar layaknya
transaksi pasar rakyat dan sekalian dengan harga
diri si pemegang pedang pun bisa dijual
sekaligus dan dibeli putus di bawah
harga. Penegakan hukum masih jalan-jalan di tempat malah lebih parah
jika selalu isterahat di tempat, dan/atau sedang bergerak maju tetapi dengan iringan lagu poco-poco (pinjam kritikan Megawati SP): maju satu langkah, mundur dua langkah, geser ke kiri, ke kanan, dan
putar-putar di tempat.
Dari beberapa alasan yang
dikemukakan di atas, rakyat merasa percuma
memberikan hak suara mereka di dalam
setiap pesta/perhelatan politik yang dilaksanakan di negeri ini.
August 23, 2014
Kau Curangi Aku (2): Sebuah Senandung Galau
Oleh: Pietro T. M. Netti
Media dijajal kredibilitasnya dalam hal kualitas dan
objektifitas pemberitaan sebagai akibat dari keberpihakan yang tidak rasional
dari pemilik media kepada sang "idol".
Melalui media pun dipertontonkan pertaruhan kredibilatas
dari para pakar dan pengamat, dan para praktisi hukum yang membela mati-matian
terhadap kliennya.
Dan tidak salah juga kalau akhirnya rakyat berani menilai
kredibilitas dari para calon yang berkompetisi, termasuk di dalamnya kredibilitas politisi yang berada dalam 2 koalisi besar yang saling "menyerang" satu dengan yang lainnya bahkan cenderung saling "membunuh".
Dari kacamata rakyat, yang menang adalah yang kredibel,
dan yang kalah sudah pasti tidak kredibel.
Sangat simpel!
"Pertarungan" (dalam tanda petik, jangan ditafsir
sebagai Perang Badar) sudah lama usai, namun kemenangan baru saja diraih, hanya
karena ulah para pecundang yang belum rela.
Hak kemenangan dari lawan sengaja diulur-ulur dengan
menciptakan opini "kau curangi aku", "akulah sang
pemenang", "akulah yang mendapatkan mandat rakyat".
Ternyata "Kau Curangi Aku" bukan lagi menjadi
milik Anang seorang, tetapi juga telah menjadi milik seseorang yang lain yang
katanya lebih tegas, berani dan bertampang gagah.
Taktik gerilya ala Sudirman disalahgunakan pada keadaan
yang salah dan dengan maksud yang salah pula.
Sudirman masa lalu bergerilya untuk tujuan yang mulia
yakni membebaskan negeri ini dari tangan penjajah.
"Sudirman" hari ini bergerilya hanya dengan
maksud mengulur waktu(?) hanya karena ternyata tidak siap dan belum berani
berhadap-hadapan dengan kehidupan nyata(?). Taktik gerilya yang dilakoni hanya
untuk lari dan menghindar dari kenyataan.
Gerilya kini terhenti(?) karena terbentur tembok mahkamah
yang kokoh dan berwibawa.
Yang semula sengaja dibuat samar, kini menjadi terang
benderang oleh ketok palu mahkamah.
Dan kini jelaslah, "di alam nyata apa yang
terjadi?"
Sejak 21 Agustus 2014, rakyat Indonesia resmi memiliki
Presiden Terpilih RI, Ir. Joko Wododo dan Wakil Presiden Terpilih RI, Drs. M.
Jusuf Kalla untuk menjadi "RI-1 dan RI-2" untuk periode 5 tahun ke
depan.
Congratulation, Mr. President & Mr. Vice President!
Kau Curangi Aku (1): Sebuah Senandung Galau
Oleh: Pietro T. M. Netti
Ranah hukum dicampuradukkan dengan ranah kode etik, bahkan
politik.
Maklum yang berperkara orang-orang politik...selalu "salah
masuk pintu".
Hanya banyak omong yang ujung-ujungnya kosong...
Rakyat diprovokasi oleh segelintir elit yang suka
"cari nama" dengan alasan "kau curangi aku".
Akhir yang tragis memang menurut mereka yang katanya sudah
bekerja keras...!
Katanya kerja keras mereka adalah menghadirkan
fakta/bukti hukum yang mencengangkan...padahal menggelikan...
Maklum para praktisi hukum pun telah terkontaminasi
politik bahkan pandai berpolitik...
Seluruh proposal dengan dalil-dalil yang diajukan
diabaikan oleh para pengadil...
Karena bisa jadi fakta hukum yang dihadirkan hanya berupa
argumen politik dan argumen etik yang bukan tempatnya...
Lagi-lagi praktisi hukum suka berpolitik soalnya...
Semula kredibilitas lembaga survey sudah dipertaruhkan
hanya karena pelaku survey pun senang berpolitik...
Lembaga survey yang "tidak becus" tersebut
telah berani bermain-main dengan apa yang disebut sebagai "seni mengatur
dan mengelola"...
Hasil survey yang seharusnya pasti karena dilakukan
dengan metode-metode ilmiah "diatur dan dikelola" dengan sedemikian
cantiknya, sehingga menghasilkan 2 presiden terpilih di Republik ini...Sungguh
konyol...!!
Yang satu mendeklarasikan kemenangan, yang lain sujud
syukur karena dibisiki menang dengan total prosentase yang tidak genap...
Siapa membodohi siapa? Siapa dibodohi siapa? Yang jelas
yang membodohi dan yang dibodohi sama-sama "bodoh".
Rakyat kecil yang selalu dibilang bodoh ternyata tidak
sebodoh mereka yang saling membodohi dan dibodohi.
Lebih baik menjadi rakyat kecil yang selalu dibilang bodoh oleh
para pembodoh ternyata tidak bodoh sebodoh mereka yang mengaku tidak bodoh tapi
sesungguhnya bodoh...
August 21, 2014
Tentang “SOS: Selamatkan Jiwa/Spirit Kekristenan”
“SOS: Selamatkan Jiwa/Spirit Kekristenan” adalah judul yang
saya anggap tepat untuk menuangkan ide/pendapat tentang menyelamatkan
jiwa/spirit kekristenan kita. Dimanakah terletak jiwa/spirit kekristenan?
Sebagai pelaku/pemain musik gereja, saya melihat bahwa jiwa/spirit kekristenan kita berada di
dalam puji-pujian/nyanyian jemaat
kita, yakni puji-pujian/nyanyian jemaat
yang selalu dinyanyikan di setiap kebaktian (peribadatan orang Kristen).
“Lantas mengapa perlu diselamatkan? Apa ada yang salah
dengan jiwa/spirit kekristenan kita?”
Jawabannya tertuang secara lengkap di dalam seri tulisan
dengan judul kecil “Surat Kepada Sahabat GMIT-ku”. Surat Kepada Sahabat GMIT-ku terdiri dari 6 seri tulisan yang telah
dimuat secara berturut-turut di blog RUMAH MUGER pada bulan Januari lalu (21-26
Januari 2014).
Tulisan ini dibuat dalam rangka memberi pemahaman tentang
pentingnya puji-pujian/nyanyian jemaat bagi kita sebagai orang Kristen, dan mengajak
semua komponen khususnya di dalam tubuh Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT),
terlebih kepada kaum muda GMIT, untuk memberi perhatian yang lebih dan/atau serius
pada praktek puji-pujian secara baik dan benar.
Keenam seri Surat
Kepada Sahabat GMIT-ku dengan judul utama “SOS: Selamatkan Jiwa/Spirit
Kekristenan” masing-masing diberi sub judul:
- MereformasiPuji-pujian dalam Praktek
- CitraNegatif di Pundak GMIT
- Backto Basic
- SiapMenghadapi Resistensi
- Bentuk-bentukResistensi
- CatatanAkhir: Persiapan (Belajar & Latihan)
Selamat membaca!
August 18, 2014
Dirgahayu RI ke-69 (17 Agustus 2014)
AKU SANG MERAH-PUTIH
Oleh: Pietro T. M.
Netti
Aku sang Merah
Berkibar dalam
semangat, merobek angkasa dalam gelora
Menjemput harap di
puncak tertinggi
Aku sang Merah
Menetes dalam
pengorbanan, bersimbah darah tanpa perih
Menggapai kemenangan
bagimu pertiwi
Aku sang Putih
Tegak berdiri di antara
tulang-tulang nusantara yang kian rapuh
Kokoh menopang
harap bagimu negeri
Aku sang Putih
Tetap setia
mencinta selamanya, tulus mengabdi tiada pamrih
Memberi jiwa dan
raga bagimu nusa dan bangsa
Aku sang Merah,
aku sang Putih
Adalah darahku,
adalah tulangku
Membentang sepanjang
katulistiwa, dari Timur ke Barat, Utara ke Selatan
Aku sang Merah,
aku sang Putih
Adalah jiwaku, adalah nafasku
Menghempas tirai,
menembus batas di antara nusa, bangsa dan bahasa
Berkibarlah di
angkasa!
Berkobarlah dalam
darah!
Naikolan, 17 August
2012