BLOG PIETRO T. M. NETTI: RUMAH IDE DAN KREASI

Blog PIETRO T. M. NETTI (pietronetti.blogspot.com) adalah sebuah situs/blog pribadi atas nama PIETRO T. M. NETTI. Blog PIETRO T. M. NETTI (pietronetti.blogspot.com) adalah sebuah situs/blog yang dianalogikan sebagai RUMAH IDE DAN KREASI. Sebagai rumah, situs/blog ini menyediakan beberapa ruang yang nyaman yang dapat menampung Ide dan Kreasi dari Tuan Rumah.

PIETRO T. M. NETTI: Tuan Rumah RUMAH IDE DAN KREASI

Moto: “Laborare est Orare: Bekerja adalah Berdoa. Berdoa bukan hanya memejamkan mata melainkan juga membuka mata dan melihat kenyataan. Berdoa bukan hanya melipat tangan melainkan juga turun tangan dan melakukan tindakan nyata (SELAMAT PAGI TUHAN-ANDAR ISMAIL).” “Bermusik bagi Tuhan adalah wujud Sembah, Pujian dan Doa yang nyata di hadapan hadirat Allah (PIETRO T. M. NETTI).”

RUANG IDE: Opini PIETRO T. M. NETTI

Ruang untuk berpendapat secara jujur dan independen dari sudut pandang Tuan Rumah: Menyalurkan ide dan gagasan berhubungan dengan tema-tema tertentu (Opini), Memberi ulasan/liputan terhadap obyek/peristiwa/persoalan yang informatif, menghibur, meyakinkan, dan menggugah simpati dan empati (Feature), Menghadirkan kisah/cerita dari yang dilihat, didengar, dipikirkan, dirasakan, dan yang dilakukan (Non Fiksi).

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

August 31, 2014

Satu Hati, Cita, Cinta


Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI

SATU HATI, CITA, CINTA

lyric by: Pietro T. M. Netti
dedicated to: My’queen’May

satukan hati, satukan langkah kita
bergandengan tangan, seiring sejalan
Raih harap hari esok ceria
dengan langkah pasti

satukan cita, satukan cinta kita
jalin kembali simpul-simpul kasih
berpadu satu, seirama nada-
nada cinta-putih

tinggalkan.................,
semua perbedaan di antara kita
dan lepaskan.............,
keakuan diri membelenggu jiwa
tiada lagi perbedaan, tiada lagi pertentangan
satu hati, satu cita, satu cinta

Naikolan 271103

                Syair di atas adalah sebuah lirik lagu yang saya ciptakan pada 27 November 2003. Lagu ini sebenarnya adalah sebuah lagu cinta yang bertemakan ajakan untuk tidak memandang perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing pasangan kekasih menjadi satu masalah atau persoalan atau pertentangan yang serius yang akhirnya bisa mengancam kelangsungan dalam hubungan percintaan.

                Kebetulan sekali musim politik yang baru saja terjadi di Indonesia penuh intrik dan rekayasa yang bisa berujung pertikaian dan perpecahan. Dengan tensi politik yang cukup tinggi (atau boleh jadi sangat tinggi), saya melihat adanya kepberpihakan-keberpihakan politik yang menjurus pada ketidakharmonisan yang bisa memecah-belah persatuan dan kesatuan dalam diri anak bangsa. Sebenarnya pertentangan-pertentangan yang ada adalah ulah segelintir elit yang sengaja ataupun berencana memanfaatkan kondisi politik ini untuk dijadikan sebagai ajang adu domba antar sesama anak bangsa.

                Maklum para elit (elit politik) memiliki kepentingan sendiri-sendiri tanpa melihat kepentingan yang lebih besar terhadap bangsa dan negara ini. Dan ini adalah cerminan elit yang opurtunis yang selalu pandai memancing di air keruh, yakni lihai memanfaatkan moment-moment kritis atau yang dibuat kritis untuk memuaskan dahaga kekuasaan mereka tanpa peduli kepada kepentingan-kepentingan yang lebih besar. Dan setidaknya, rakyat sudah bisa melihat siapa oknum-oknum yang bisa dicap sebagai opurtunis sejati, dan siapa-siapa yang terkategori sebagai negrawan tulen.

                Musim politik yang baru lewat cukup menghadirkan tontonan/adegan kekanak-kanakan yang dilakoni oleh elit-elit yang suka cari muka, senang menjilat, dan tidak tau diri. Semoga rakyat yang belum terkontaminasi praktek politik yang tidak bermoral dan tidak beretika ini tidak terpengaruh dengan aksi bejat para elit tersebut. Namun, sadar atau tidak, sebagian besar rakyat pun telah terpengaruh dengan perilaku elit politik yang mau menang sendiri, dan merasa benar sendiri. Hal ini sangat nyata terjadi dalam kehidupan dan/atau pergaulan sosial (di dunia nyata) maupun di media-media sosial online (di dunia maya).

                Semoga dengan berakhirnya musim politik ini (Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden) yakni dengan telah dijatuhkannya ketok palu Mahkamah Konstitusi  Republik Indonesia, seluruh komponen bangsa bisa menerima keputusan hukum yang ada dan taat kepada supremasi hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Sebagaimana lirik lagu di atas, marilah seluruh komponen bangsa bersatu-padu, bergandengan tangan, dan melangkah pasti demi masa depan Indonesia Jaya.  

Catatan:
Lirik SATU HATI, CITA, CINTA juga telah diposting di Notes Facebook Peter Netti pada 22 Juli 2014 lalu sesaat setelah Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia secara resmi menetapkan pasangan Capres-Cawapres Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres; menjadi Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Republik Indonesia periode 2014-2019.

August 30, 2014

Pemilu Pilpres: Antara Tingkat Partisipasi & Keadaban (2)

Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI

Menjelang pesta demokrasi (Pemilu) Pilpres 9 Juli 2014 ini, ada hal baru dan unik yang dirasakan dengan munculnya 2 pasang kandidat Presiden dan Wakil Presiden. Pasangan kandidat no 1 adalah pasangan Prabowo-Hatta (baca: 4 Daya Tolak Plus 1 Terhadap Capres Jokowi), dan no 2 adalah pasangan Jokowi-JK (baca: 4 Daya Tarik Plus 1 Terhadap Capres Jokowi). Kedua pasangan ini berhasil menyita perhatian dari seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dan dari Sangihe sampai Rote. Rakyat Indonesia merasa seakan-akan ini saatnya yang tepat untuk turut serta memberikan hak suara mereka kepada kedua pasangan calon yang “bertarung”.

Dan hal ini menyebabkan muncul dua kubu besar di Indonesia di samping dua koalisi besar (gemuk dan ramping) yang ada di pusat yang dibentuk sebagai tim pemenangan untuk masing-masing calon. Dua kubu dan koalisi ini bukan hanya baersaing secara sehat malah saling menyerang di luar akal sehat satu dengan yang lainnya. Di satu sisi, pemilu pilpres kali ini berhasil mendulang partisipasi rakyak yang begitu besar, dan di sisi yang lain, pemilu pilpres kali ini juga berhasil menunjukkan seberapa tingginya moral, etika, keadaban dan bahkan keimanan/ketakwaan dari elit dan anak bangsa di negeri yang berketuhanan dan berperikemanusiaan ini.

Musim politik kali telah menjadi ajang caci maki, cemooh, dan fitnah di antara dua pihak yang saling “berseteru” mulai dari elit hingga ke rakyat kecil. Saya lebih cenderung mengatakan bahwa musim politik kali sebagai ajang caci maki nasional, ajang cemooh nasional dan ajang fitnah nasional karena semua (maaf, tidak semuanya tapi sebagian besar) orang menjadi wajib/mudah mencaci maki, mencemooh, dan memfitnah orang lain. Semua orang menjadi bebas-sebebas-bebasnya berekspresi tanpa mengindahkan sedikit pun nilai-nilai ketimuran yang katanya lebih beradab (baca: Kasak-Kusuk Perilaku Politik).

       Pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum pun tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah atau menindak para pelaku caci maki, cemooh dan fitnah  kecuali hanya bisa menghimbau dan menghimbau agar menjaga suasana tetap kondusif. Sebuah fenomena baru yang sulit diterima akal sehat yang mudah-mudahan tidak berlanjut pada musim-musim politik berikutnya.  

Saat ini pesta telah usai, tapi kerja belum selesai. Presiden dan Wakil Presiden Terpilih sudah di depan mata berdasarkan ketok palu Mahkamah Konstitusi pada 22 Agustus 2014 (baca: Saya Memilih Jokowi). Kita harus percaya dengan supremasi hukum kita. Kalau ada yang masih belum puas, jangan salahkan hukum kita, tapi salahkan mereka yang berperkara yang tidak mampu meyakinkan kesembilan Hakim MK dengan bukti/fakta hukum yang lemah (baca: Kau Curangi Aku: Sebuah Senandung Galau).

      Tinggalkan kubu-kubuan, tinggalkan perbedaan, dan mari bersatu, bergandengan tangan mendukung kerja pemerintahan yang baru (yang akan dilantik pada 20 Oktober 2014) demi kesejahteraan, kemakmuran, kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara Indonesia ke depan! MERDEKA!

Pemilu Pilpres: Antara Tingkat Partisipasi & Keadaban (1)


Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI

Musim politik di negeri ini baru saja berlalu dengan berbagai kasak-kusuk (baca: Kasak-Kusuk Pesta Rakyat) dan hiruk-pikuk politiknya (baca: PEMILU Dari Perspektif Masyarakat Pemilih Yang Buta Politik). Semua ini menjadi sebuah pembelajaran positif bagi seluruh anak bangsa di negeri ini. Tulisan kali ini menyorot tentang kenyataan-kenyataan yang dapat dilihat pada musim politik di Indonesia kali ini yang muncul dalam Pemilu Pilpres 2014 yang menghadirkan dua fenomena unik yang menggembirakan dan sekaligus yang tidak menggembirakan.

Pemilu (Pemilihan Umum) Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014 tercatat sebagai satu-satunya pesta demokrasi yang sangat partisipatif di sepanjang orde/era reformasi yang sudah berusia 16 tahun, dan bahkan mungkin di sepanjang sejarah pemilu di Indonesia sejak orde lama dan orde baru. Rakyat sebagai konstituen pemilih melaksanakan haknya dalam memeriahkan pesta demokrasi lima tahunan ini dengan penuh antusias tanpa teror dan intimidasi. Rakyat dengan penuh kesadaran, sukarela, dan senang hati berbondong-bondong datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) guna menyalurkan hak suara mereka.

Antusiasme ini pun terjadi pada mereka yang selama bertahun-tahun tidak mau peduli bahkan tidak tertarik sama sekali untuk memberikan hak suara mereka alias Golput (Golongan Putih). Sebagai warga negara yang baik, tentunya setiap orang seharusnya mau/bersedia memberikan hak suara mereka guna dapat memilih wakil-wakil rakyat maupun pemimpin yang sekiranya dapat membawa perubahan yang lebih baik bagi bangsa dan negara ini, Indonesia. Memberikan hak suara sama halnya dengan turut serta membangun masa depan bangsa dan negara tentunya ke arah yang lebih baik melalui wakil-wakil dan pemimpin yang kita pilih sendiri.

                Tapi namanya hak, setiap orang bisa memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan haknya di dalam setiap perhelatan pesta demokrasi tersebut. Dan yang namanya hak, tidak ada sangsi hukum yang dapat dilimpahkan kepada mereka yang tidak melaksanakan haknya.

Ada berbagai alasan mengapa sebagian rakyat memilih untuk menjadi golput:
               
                Rakyat sudah bosan, bahkan muak dengan tingkah laku kebanyakan elit baik elit politik maupun elit pemerintahan yang cenderung hanya tinggi gunung seribu janji demi merebut simpati rakyat, janji tinggal janji untuk mengemis suara rakyat, dan mulut manis berbisa guna memperdayai rakyat kecil. Simpati, empati dan kepedulian kepada rakyat kecil telah menjadi menu wajib di setiap musim politik yang penuh kepura-puraan dan kepalsuan.

Rakyat merasakan sendiri kesenjangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang semakin tajam antara si kaya dan si miskin, antara yang mewakili dan yang diwakili, serta antara yang memimpin dan yang dipimpin. Sebuah jarak senjang yang sangat-amat-terlalu jauh sejauh langit dan bumi. Sebagai warga negara yang baik, rakyat sudah menyiapkan dan memberikan jatah lumbung yang cukup kepada para wakil rakyat, para pemimpin bangsa dan para penyelenggara negara yang diberikan juga secara bertanggungjawab dari jatah lumbung milik rakyat sendiri yang masih berkekurangan. Tapi jatah lumbung selalu ditelan oleh tikus-tikus pencuri yang selalu rakus walaupun sudah buncit. Sangat mustahil, sampai kucing keluar tanduk sekalipun tidak akan pernah terjadi pejabat tikus berperut six pack, yang ada adalah berperut six month layaknya ibu hamil yang tinggal 3 bulan melahirkan. Ya, itulah potret negeri yang dihuni oleh banyak sekali pejabat bunting.

Rakyat melihat sendiri bagaimana hukum yang adalah panglima tertinggi di negeri ini dilecehkan dan diperkosa dengan penuh birahi oleh para bunciters. Pedang hukum memiliki 2 mata pedang yang sayangnya hanya tajam ke bawah, cepat sekali menebas rakyat kecil yang sebenarnya butuh keadilan. Sebenarnya bukan pedangnya, tapi si pengayun pedangnya yang tidak bernyali untuk menebas ke atas, dan tidak tega(?)menzolimi para manusia bunting(?). Malah pedangnya bisa ditawar-tawar layaknya transaksi pasar rakyat dan sekalian dengan harga diri si pemegang pedang pun bisa dijual sekaligus dan dibeli putus di bawah harga.  Penegakan hukum masih jalan-jalan di tempat malah lebih parah jika selalu isterahat di tempat,  dan/atau sedang bergerak maju tetapi dengan iringan lagu poco-poco (pinjam kritikan Megawati SP): maju satu langkah, mundur dua langkah, geser ke kiri, ke kanan, dan putar-putar di tempat.

                Dari beberapa alasan yang dikemukakan di atas, rakyat merasa percuma memberikan hak suara mereka di dalam setiap pesta/perhelatan politik yang dilaksanakan di negeri ini.

August 23, 2014

Kau Curangi Aku (2): Sebuah Senandung Galau


Oleh: Pietro T. M. Netti

Pertaruhan kredibel dan tidak kredibel pun dialami oleh media penyiaran (cetak/elekronik).
Media dijajal kredibilitasnya dalam hal kualitas dan objektifitas pemberitaan sebagai akibat dari keberpihakan yang tidak rasional dari pemilik media kepada sang "idol".
Melalui media pun dipertontonkan pertaruhan kredibilatas dari para pakar dan pengamat, dan para praktisi hukum yang membela mati-matian terhadap kliennya.
Dan tidak salah juga kalau akhirnya rakyat berani menilai kredibilitas dari para calon yang berkompetisi, termasuk di dalamnya kredibilitas politisi yang berada dalam 2 koalisi besar yang saling "menyerang" satu dengan yang lainnya bahkan cenderung saling "membunuh".
Dari kacamata rakyat, yang menang adalah yang kredibel, dan yang kalah sudah pasti tidak kredibel.
Sangat simpel!

"Pertarungan" (dalam tanda petik, jangan ditafsir sebagai Perang Badar) sudah lama usai, namun kemenangan baru saja diraih, hanya karena ulah para pecundang yang belum rela.
Hak kemenangan dari lawan sengaja diulur-ulur dengan menciptakan opini "kau curangi aku", "akulah sang pemenang", "akulah yang mendapatkan mandat rakyat".
Ternyata "Kau Curangi Aku" bukan lagi menjadi milik Anang seorang, tetapi juga telah menjadi milik seseorang yang lain yang katanya lebih tegas, berani dan bertampang gagah.

Taktik gerilya ala Sudirman disalahgunakan pada keadaan yang salah dan dengan maksud yang salah pula.
Sudirman masa lalu bergerilya untuk tujuan yang mulia yakni membebaskan negeri ini dari tangan penjajah.  
"Sudirman" hari ini bergerilya hanya dengan maksud mengulur waktu(?) hanya karena ternyata tidak siap dan belum berani berhadap-hadapan dengan kehidupan nyata(?). Taktik gerilya yang dilakoni hanya untuk lari dan menghindar dari kenyataan.

Gerilya kini terhenti(?) karena terbentur tembok mahkamah yang kokoh dan berwibawa.
Yang semula sengaja dibuat samar, kini menjadi terang benderang oleh ketok palu mahkamah.
Dan kini jelaslah, "di alam nyata apa yang terjadi?" 

Sejak 21 Agustus 2014, rakyat Indonesia resmi memiliki Presiden Terpilih RI, Ir. Joko Wododo dan Wakil Presiden Terpilih RI, Drs. M. Jusuf Kalla untuk menjadi "RI-1 dan RI-2" untuk periode 5 tahun ke depan. 

Congratulation, Mr. President & Mr. Vice President!

Kau Curangi Aku (1): Sebuah Senandung Galau


Oleh: Pietro T. M. Netti

Gaungnya hebat...berusaha membentuk opini dan meyakinkan publik "seolah-olah" dicurangi.
Ranah hukum dicampuradukkan dengan ranah kode etik, bahkan politik.
Maklum yang berperkara orang-orang politik...selalu "salah masuk pintu".
Hanya banyak omong yang ujung-ujungnya kosong...
Rakyat diprovokasi oleh segelintir elit yang suka "cari nama" dengan alasan "kau curangi aku".

Akhir yang tragis memang menurut mereka yang katanya sudah bekerja keras...!
Katanya kerja keras mereka adalah menghadirkan fakta/bukti hukum yang mencengangkan...padahal menggelikan...
Maklum para praktisi hukum pun telah terkontaminasi politik bahkan pandai berpolitik...  
Seluruh proposal dengan dalil-dalil yang diajukan diabaikan oleh para pengadil...
Karena bisa jadi fakta hukum yang dihadirkan hanya berupa argumen politik dan argumen etik yang bukan tempatnya...
Lagi-lagi praktisi hukum suka berpolitik soalnya...

Semula kredibilitas lembaga survey sudah dipertaruhkan hanya karena pelaku survey pun senang berpolitik...
Lembaga survey yang "tidak becus" tersebut telah berani bermain-main dengan apa yang disebut sebagai "seni mengatur dan mengelola"...
Hasil survey yang seharusnya pasti karena dilakukan dengan metode-metode ilmiah "diatur dan dikelola" dengan sedemikian cantiknya, sehingga menghasilkan 2 presiden terpilih di Republik ini...Sungguh konyol...!!
Yang satu mendeklarasikan kemenangan, yang lain sujud syukur karena dibisiki menang dengan total prosentase yang tidak genap...
Siapa membodohi siapa? Siapa dibodohi siapa? Yang jelas yang membodohi dan yang dibodohi sama-sama "bodoh".

Rakyat kecil yang selalu dibilang bodoh ternyata tidak sebodoh mereka yang saling membodohi dan dibodohi.
Lebih baik menjadi rakyat kecil yang selalu dibilang bodoh oleh para pembodoh ternyata tidak bodoh sebodoh mereka yang mengaku tidak bodoh tapi sesungguhnya bodoh...

Bersambung ke (2)....

August 21, 2014

Tentang “SOS: Selamatkan Jiwa/Spirit Kekristenan”


“SOS: Selamatkan Jiwa/Spirit Kekristenan” adalah judul yang saya anggap tepat untuk menuangkan ide/pendapat tentang menyelamatkan jiwa/spirit kekristenan kita. Dimanakah terletak jiwa/spirit kekristenan?

Sebagai pelaku/pemain musik gereja, saya melihat bahwa jiwa/spirit kekristenan kita berada di dalam puji-pujian/nyanyian jemaat kita, yakni puji-pujian/nyanyian jemaat yang selalu dinyanyikan di setiap kebaktian (peribadatan orang Kristen).

“Lantas mengapa perlu diselamatkan? Apa ada yang salah dengan jiwa/spirit kekristenan kita?”

Jawabannya tertuang secara lengkap di dalam seri tulisan dengan judul kecil “Surat Kepada Sahabat GMIT-ku”. Surat Kepada Sahabat GMIT-ku terdiri dari 6 seri tulisan yang telah dimuat secara berturut-turut di blog RUMAH MUGER pada bulan Januari lalu (21-26 Januari 2014).

Tulisan ini dibuat dalam rangka memberi pemahaman tentang pentingnya puji-pujian/nyanyian jemaat bagi kita sebagai orang Kristen, dan mengajak semua komponen khususnya di dalam tubuh Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), terlebih kepada kaum muda GMIT, untuk memberi perhatian yang lebih dan/atau serius pada praktek puji-pujian secara baik dan benar.

Keenam seri Surat Kepada Sahabat GMIT-ku dengan judul utama “SOS: Selamatkan Jiwa/Spirit Kekristenan” masing-masing diberi sub judul:
  1. MereformasiPuji-pujian dalam Praktek
  2. CitraNegatif di Pundak GMIT
  3. Backto Basic
  4. SiapMenghadapi Resistensi
  5. Bentuk-bentukResistensi
  6. CatatanAkhir: Persiapan (Belajar & Latihan)

                Selamat membaca!

August 18, 2014

Dirgahayu RI ke-69 (17 Agustus 2014)


AKU SANG MERAH-PUTIH

Oleh: Pietro T. M. Netti

Aku sang Merah
Berkibar dalam semangat, merobek angkasa dalam gelora
Menjemput harap di puncak tertinggi

Aku sang Merah
Menetes dalam pengorbanan, bersimbah darah tanpa perih
Menggapai kemenangan bagimu pertiwi

Aku sang Putih
Tegak berdiri di antara tulang-tulang nusantara yang kian rapuh
Kokoh menopang harap bagimu negeri

Aku sang Putih
Tetap setia mencinta selamanya, tulus mengabdi tiada pamrih
Memberi jiwa dan raga bagimu nusa dan bangsa

Aku sang Merah, aku sang Putih
Adalah darahku, adalah tulangku
Membentang sepanjang katulistiwa, dari Timur ke Barat, Utara ke Selatan

Aku sang Merah, aku sang Putih
Adalah  jiwaku, adalah nafasku
Menghempas tirai, menembus batas di antara nusa, bangsa dan bahasa

Berkibarlah di angkasa!
Berkobarlah dalam darah!


Naikolan, 17 August 2012