Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI
Menjelang pesta demokrasi (Pemilu) Pilpres 9 Juli 2014 ini,
ada hal baru dan unik yang dirasakan dengan munculnya 2 pasang kandidat Presiden
dan Wakil Presiden. Pasangan kandidat no 1 adalah pasangan Prabowo-Hatta (baca:
4 Daya Tolak Plus 1 Terhadap Capres Jokowi), dan no 2 adalah pasangan Jokowi-JK (baca: 4 Daya Tarik Plus 1 Terhadap Capres Jokowi). Kedua pasangan ini
berhasil menyita perhatian dari seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai
Merauke, dan dari Sangihe sampai Rote. Rakyat Indonesia merasa seakan-akan ini
saatnya yang tepat untuk turut serta memberikan hak suara mereka kepada kedua pasangan calon yang “bertarung”.
Dan hal ini menyebabkan muncul dua kubu besar di Indonesia di samping dua koalisi besar (gemuk dan ramping) yang ada di pusat yang dibentuk
sebagai tim pemenangan untuk masing-masing calon. Dua kubu dan koalisi ini
bukan hanya baersaing secara sehat malah saling menyerang di luar akal sehat satu dengan yang lainnya. Di satu
sisi, pemilu pilpres kali ini berhasil mendulang partisipasi rakyak yang begitu
besar, dan di sisi yang lain, pemilu pilpres kali ini juga berhasil menunjukkan
seberapa tingginya moral, etika, keadaban dan bahkan keimanan/ketakwaan dari elit
dan anak bangsa di negeri yang berketuhanan dan berperikemanusiaan ini.
Musim politik kali telah menjadi ajang caci maki, cemooh,
dan fitnah di antara dua pihak yang saling “berseteru”
mulai dari elit hingga ke rakyat kecil. Saya lebih cenderung mengatakan bahwa
musim politik kali sebagai ajang caci
maki nasional, ajang cemooh nasional dan
ajang fitnah nasional karena semua (maaf, tidak semuanya tapi sebagian
besar) orang menjadi wajib/mudah mencaci
maki, mencemooh, dan memfitnah orang lain. Semua orang menjadi bebas-sebebas-bebasnya berekspresi tanpa
mengindahkan sedikit pun nilai-nilai ketimuran
yang katanya lebih beradab (baca: Kasak-Kusuk Perilaku Politik).
Pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum pun tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah atau menindak para pelaku caci maki, cemooh dan fitnah kecuali hanya bisa menghimbau dan menghimbau agar menjaga suasana tetap kondusif. Sebuah fenomena baru yang sulit diterima akal sehat yang mudah-mudahan tidak berlanjut pada musim-musim politik berikutnya.
Pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum pun tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah atau menindak para pelaku caci maki, cemooh dan fitnah kecuali hanya bisa menghimbau dan menghimbau agar menjaga suasana tetap kondusif. Sebuah fenomena baru yang sulit diterima akal sehat yang mudah-mudahan tidak berlanjut pada musim-musim politik berikutnya.
Saat ini pesta telah
usai, tapi kerja belum selesai. Presiden dan Wakil Presiden Terpilih sudah
di depan mata berdasarkan ketok palu Mahkamah
Konstitusi pada 22 Agustus 2014 (baca: Saya Memilih Jokowi). Kita harus percaya dengan supremasi hukum kita. Kalau ada
yang masih belum puas, jangan salahkan hukum kita, tapi salahkan mereka yang
berperkara yang tidak mampu meyakinkan kesembilan Hakim MK dengan bukti/fakta
hukum yang lemah (baca: Kau Curangi Aku: Sebuah Senandung Galau).
Tinggalkan kubu-kubuan, tinggalkan perbedaan, dan mari bersatu, bergandengan tangan mendukung kerja pemerintahan yang baru (yang akan dilantik pada 20 Oktober 2014) demi kesejahteraan, kemakmuran, kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara Indonesia ke depan! MERDEKA!
Tinggalkan kubu-kubuan, tinggalkan perbedaan, dan mari bersatu, bergandengan tangan mendukung kerja pemerintahan yang baru (yang akan dilantik pada 20 Oktober 2014) demi kesejahteraan, kemakmuran, kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara Indonesia ke depan! MERDEKA!
0 comments:
Post a Comment