Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI
Pemilu (Pemilihan Umum) Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli
2014 tercatat sebagai satu-satunya pesta demokrasi yang sangat partisipatif di sepanjang
orde/era reformasi yang sudah berusia
16 tahun, dan bahkan mungkin di sepanjang sejarah pemilu di Indonesia sejak orde lama dan orde baru. Rakyat sebagai konstituen pemilih melaksanakan haknya
dalam memeriahkan pesta demokrasi lima tahunan ini dengan penuh antusias tanpa
teror dan intimidasi. Rakyat dengan penuh kesadaran, sukarela, dan senang hati
berbondong-bondong datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) guna menyalurkan hak
suara mereka.
Antusiasme ini pun terjadi pada mereka yang selama
bertahun-tahun tidak mau peduli bahkan tidak tertarik sama sekali untuk
memberikan hak suara mereka alias Golput (Golongan Putih). Sebagai warga
negara yang baik, tentunya setiap orang seharusnya mau/bersedia memberikan hak
suara mereka guna dapat memilih wakil-wakil rakyat maupun pemimpin yang
sekiranya dapat membawa perubahan yang lebih baik bagi bangsa dan negara ini,
Indonesia. Memberikan hak suara sama
halnya dengan turut serta membangun masa depan bangsa dan negara tentunya ke
arah yang lebih baik melalui wakil-wakil dan pemimpin yang kita pilih sendiri.
Tapi namanya hak, setiap orang bisa memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan haknya di dalam setiap perhelatan pesta demokrasi
tersebut. Dan yang namanya hak, tidak
ada sangsi hukum yang dapat dilimpahkan kepada mereka yang tidak melaksanakan
haknya.
Ada berbagai alasan mengapa sebagian rakyat memilih untuk
menjadi golput:
Rakyat sudah bosan, bahkan muak dengan tingkah laku kebanyakan elit baik elit politik maupun
elit pemerintahan yang cenderung hanya tinggi
gunung seribu janji demi merebut simpati rakyat, janji tinggal janji untuk mengemis suara rakyat, dan mulut
manis berbisa guna memperdayai rakyat kecil. Simpati, empati dan kepedulian
kepada rakyat kecil telah menjadi menu wajib di setiap musim politik yang penuh kepura-puraan dan kepalsuan.
Rakyat merasakan sendiri kesenjangan sosial dan kesenjangan
ekonomi yang semakin tajam antara si kaya dan si miskin, antara yang
mewakili dan yang diwakili, serta
antara yang memimpin dan yang dipimpin. Sebuah jarak senjang yang
sangat-amat-terlalu jauh sejauh langit dan bumi. Sebagai warga negara yang baik, rakyat sudah menyiapkan dan
memberikan jatah lumbung yang cukup
kepada para wakil rakyat, para pemimpin
bangsa dan para penyelenggara negara yang
diberikan juga secara bertanggungjawab dari jatah
lumbung milik rakyat sendiri yang masih berkekurangan. Tapi jatah lumbung
selalu ditelan oleh tikus-tikus pencuri yang
selalu rakus walaupun sudah buncit. Sangat mustahil, sampai kucing keluar tanduk
sekalipun tidak akan pernah terjadi pejabat tikus berperut six pack, yang ada adalah berperut six month layaknya ibu hamil yang tinggal 3 bulan melahirkan. Ya,
itulah potret negeri yang dihuni oleh banyak sekali pejabat bunting.
Rakyat melihat sendiri bagaimana hukum yang adalah panglima tertinggi di negeri ini
dilecehkan dan diperkosa dengan penuh
birahi oleh para bunciters. Pedang hukum memiliki 2 mata pedang yang sayangnya hanya
tajam ke bawah, cepat sekali menebas
rakyat kecil yang sebenarnya butuh keadilan.
Sebenarnya bukan pedangnya, tapi si pengayun pedangnya yang tidak bernyali
untuk menebas ke atas, dan tidak
tega(?)menzolimi para manusia bunting(?). Malah pedangnya bisa ditawar-tawar layaknya
transaksi pasar rakyat dan sekalian dengan harga
diri si pemegang pedang pun bisa dijual
sekaligus dan dibeli putus di bawah
harga. Penegakan hukum masih jalan-jalan di tempat malah lebih parah
jika selalu isterahat di tempat, dan/atau sedang bergerak maju tetapi dengan iringan lagu poco-poco (pinjam kritikan Megawati SP): maju satu langkah, mundur dua langkah, geser ke kiri, ke kanan, dan
putar-putar di tempat.
Dari beberapa alasan yang
dikemukakan di atas, rakyat merasa percuma
memberikan hak suara mereka di dalam
setiap pesta/perhelatan politik yang dilaksanakan di negeri ini.
0 comments:
Post a Comment