August 30, 2014

Pemilu Pilpres: Antara Tingkat Partisipasi & Keadaban (1)


Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI

Musim politik di negeri ini baru saja berlalu dengan berbagai kasak-kusuk (baca: Kasak-Kusuk Pesta Rakyat) dan hiruk-pikuk politiknya (baca: PEMILU Dari Perspektif Masyarakat Pemilih Yang Buta Politik). Semua ini menjadi sebuah pembelajaran positif bagi seluruh anak bangsa di negeri ini. Tulisan kali ini menyorot tentang kenyataan-kenyataan yang dapat dilihat pada musim politik di Indonesia kali ini yang muncul dalam Pemilu Pilpres 2014 yang menghadirkan dua fenomena unik yang menggembirakan dan sekaligus yang tidak menggembirakan.

Pemilu (Pemilihan Umum) Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014 tercatat sebagai satu-satunya pesta demokrasi yang sangat partisipatif di sepanjang orde/era reformasi yang sudah berusia 16 tahun, dan bahkan mungkin di sepanjang sejarah pemilu di Indonesia sejak orde lama dan orde baru. Rakyat sebagai konstituen pemilih melaksanakan haknya dalam memeriahkan pesta demokrasi lima tahunan ini dengan penuh antusias tanpa teror dan intimidasi. Rakyat dengan penuh kesadaran, sukarela, dan senang hati berbondong-bondong datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) guna menyalurkan hak suara mereka.

Antusiasme ini pun terjadi pada mereka yang selama bertahun-tahun tidak mau peduli bahkan tidak tertarik sama sekali untuk memberikan hak suara mereka alias Golput (Golongan Putih). Sebagai warga negara yang baik, tentunya setiap orang seharusnya mau/bersedia memberikan hak suara mereka guna dapat memilih wakil-wakil rakyat maupun pemimpin yang sekiranya dapat membawa perubahan yang lebih baik bagi bangsa dan negara ini, Indonesia. Memberikan hak suara sama halnya dengan turut serta membangun masa depan bangsa dan negara tentunya ke arah yang lebih baik melalui wakil-wakil dan pemimpin yang kita pilih sendiri.

                Tapi namanya hak, setiap orang bisa memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan haknya di dalam setiap perhelatan pesta demokrasi tersebut. Dan yang namanya hak, tidak ada sangsi hukum yang dapat dilimpahkan kepada mereka yang tidak melaksanakan haknya.

Ada berbagai alasan mengapa sebagian rakyat memilih untuk menjadi golput:
               
                Rakyat sudah bosan, bahkan muak dengan tingkah laku kebanyakan elit baik elit politik maupun elit pemerintahan yang cenderung hanya tinggi gunung seribu janji demi merebut simpati rakyat, janji tinggal janji untuk mengemis suara rakyat, dan mulut manis berbisa guna memperdayai rakyat kecil. Simpati, empati dan kepedulian kepada rakyat kecil telah menjadi menu wajib di setiap musim politik yang penuh kepura-puraan dan kepalsuan.

Rakyat merasakan sendiri kesenjangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang semakin tajam antara si kaya dan si miskin, antara yang mewakili dan yang diwakili, serta antara yang memimpin dan yang dipimpin. Sebuah jarak senjang yang sangat-amat-terlalu jauh sejauh langit dan bumi. Sebagai warga negara yang baik, rakyat sudah menyiapkan dan memberikan jatah lumbung yang cukup kepada para wakil rakyat, para pemimpin bangsa dan para penyelenggara negara yang diberikan juga secara bertanggungjawab dari jatah lumbung milik rakyat sendiri yang masih berkekurangan. Tapi jatah lumbung selalu ditelan oleh tikus-tikus pencuri yang selalu rakus walaupun sudah buncit. Sangat mustahil, sampai kucing keluar tanduk sekalipun tidak akan pernah terjadi pejabat tikus berperut six pack, yang ada adalah berperut six month layaknya ibu hamil yang tinggal 3 bulan melahirkan. Ya, itulah potret negeri yang dihuni oleh banyak sekali pejabat bunting.

Rakyat melihat sendiri bagaimana hukum yang adalah panglima tertinggi di negeri ini dilecehkan dan diperkosa dengan penuh birahi oleh para bunciters. Pedang hukum memiliki 2 mata pedang yang sayangnya hanya tajam ke bawah, cepat sekali menebas rakyat kecil yang sebenarnya butuh keadilan. Sebenarnya bukan pedangnya, tapi si pengayun pedangnya yang tidak bernyali untuk menebas ke atas, dan tidak tega(?)menzolimi para manusia bunting(?). Malah pedangnya bisa ditawar-tawar layaknya transaksi pasar rakyat dan sekalian dengan harga diri si pemegang pedang pun bisa dijual sekaligus dan dibeli putus di bawah harga.  Penegakan hukum masih jalan-jalan di tempat malah lebih parah jika selalu isterahat di tempat,  dan/atau sedang bergerak maju tetapi dengan iringan lagu poco-poco (pinjam kritikan Megawati SP): maju satu langkah, mundur dua langkah, geser ke kiri, ke kanan, dan putar-putar di tempat.

                Dari beberapa alasan yang dikemukakan di atas, rakyat merasa percuma memberikan hak suara mereka di dalam setiap pesta/perhelatan politik yang dilaksanakan di negeri ini.

0 comments:

Post a Comment