September 26, 2014

Belajar Dari Referendum Skotlandia (1)


Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI

      Rakyat Skotlandia baru saja melaksanakan referendum pada Kamis, 18 September 2014 dengan dua opsi: ingin merdeka (pisah dari Inggris) dan tidak ingin merdeka (tetap bersama Inggris). Hasil pemungutan suara dari 32 wilayah regional (daerah pemilihan) di Skotlandia, kemenangan diraih oleh pihak yang tidak ingin merdeka (tetap bersama Inggris) dengan selisih 10 persen. Pihak “Yes”, yang menyatakan ingin merdeka hanya memperoleh 1.617.898 (44,7%) suara, dan pihak “No”, yang tidak ingin merdeka meraih 2.001.926 (55,3%) suara [sumber data: id.wikipedia.org].

Sejauh pemberitaan yang ada, referendum berlangsung dengan aman dan damai. Walaupun ada dua kubu yang saling head to head (berhadap-hadapan), tapi tidak sedikitpun menimbulkan gesekan-gesekan yang sekiranya mengganggu tatanan kehidupan bermasyarakat dan/atau bernegara. Referendum Skotladia sangat berbeda dengan referendum yang pernah dialami oleh rakyat Timor Timur (provinsi Indonesia ke-27 di masa Orde Baru) pada tahun 1999 silam (sekarang Republik Demokratik Timor Leste) yang menyisakan konflik, perseteruan dan duka mendalam dan berkepanjangan hingga kini. Terjadi eksodus besar-besaran dari pihak yang kalah yakni pihak yang ingin tetap bersama Indonesia (pro otonomi) akibat diintimidasi oleh pihak-pihak yang ingin pisah dari Indonesia (pro kemerdekaan) yang menang.   

Referendum Skotlandia boleh dikatakan, mungkin saja, berlangsung panas di awal-awal, tapi bermuara dengan happy ending. Kekalahan pihak yang pro kemerdekaan tidak sampai menimbulkan kasak-kusuk yang berlebihan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan. Ini ditunjukkan oleh perilaku elit yang menunjukkan sikap terhormat; siap menang dan siap kalah

Menyikapi kekalahan pihak pro kemerdekaan, Alex Salmond yang notabene sebagai elit yang pro kemerdekaan langsung saja mengundurkan diri tanpa basa-basi dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Besar Skotlandia. Sikap sang mantan Perdana Menteri Besar ini patut diacungi dua jempol, bukan karena mundur dari jabatannya saja, tetapi lebih dari itu karena ia menunjukkan sikap tunduk pada pilihan rakyatnya yang masih tetap ingin bersatu dengan Britania Raya. Sikap siap kalah inilah yang patut menjadi perhatian contoh bagi semua elit pemimpin maupun politisi di mana pun di belahan dunia ini.

Salmond pun tidak membuat argumen-argumen yang intinya hanya siap menang dan tidak siap kalah. Salmond dan pihak-pihak yang pro kemerdekaan tidak sedikit pun menciptakan suasana “perang badar” bagi dua kubu yang bersaing untuk meraih kemenangan. Bahkan ia tidak melakukan manuver politik picik dan licik yang ujung-ujungnya hanya merefleksikan ketidaknegarawanannya dan ketidakmatangaannya sebagai politisi.  [Next]

0 comments:

Post a Comment