BLOG PIETRO T. M. NETTI: RUMAH IDE DAN KREASI

Blog PIETRO T. M. NETTI (pietronetti.blogspot.com) adalah sebuah situs/blog pribadi atas nama PIETRO T. M. NETTI. Blog PIETRO T. M. NETTI (pietronetti.blogspot.com) adalah sebuah situs/blog yang dianalogikan sebagai RUMAH IDE DAN KREASI. Sebagai rumah, situs/blog ini menyediakan beberapa ruang yang nyaman yang dapat menampung Ide dan Kreasi dari Tuan Rumah.

PIETRO T. M. NETTI: Tuan Rumah RUMAH IDE DAN KREASI

Moto: “Laborare est Orare: Bekerja adalah Berdoa. Berdoa bukan hanya memejamkan mata melainkan juga membuka mata dan melihat kenyataan. Berdoa bukan hanya melipat tangan melainkan juga turun tangan dan melakukan tindakan nyata (SELAMAT PAGI TUHAN-ANDAR ISMAIL).” “Bermusik bagi Tuhan adalah wujud Sembah, Pujian dan Doa yang nyata di hadapan hadirat Allah (PIETRO T. M. NETTI).”

RUANG IDE: Opini PIETRO T. M. NETTI

Ruang untuk berpendapat secara jujur dan independen dari sudut pandang Tuan Rumah: Menyalurkan ide dan gagasan berhubungan dengan tema-tema tertentu (Opini), Memberi ulasan/liputan terhadap obyek/peristiwa/persoalan yang informatif, menghibur, meyakinkan, dan menggugah simpati dan empati (Feature), Menghadirkan kisah/cerita dari yang dilihat, didengar, dipikirkan, dirasakan, dan yang dilakukan (Non Fiksi).

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

December 26, 2014

Salam Damai Natal Untuk Negeri & Penghuni Negeri

Kebaktian Malam Natal 24/12/2014 di Jemaat Gunung Sinai Naikolan (Dok. Pribadi)

Oleh: Pietro T. M. Netti

Terlebih dahulu saya ingin mengucapkan “Selamat merayakan Natal 25 Desember 2014 bagi umat Kristiani di seluruh dunia dan di seluruh pelosok negeri Indonesia! Kiranya Natal menbawa damai bagi negeri dan seluruh penghuni negeri ini! Salam Damai Natal untuk kita semua!”

Di tengah-tengah kemeriahan perayaan Natal yang sedang dirasakan oleh umat Kristiani saat ini, masih saja berkembang wacana boleh atau tidak mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Kristiani yang merayakan. Di sana-sini muncul polemik/perdebatan yang berkepanjangan dari tahun ke tahun. Tulisan singkat ini mungkin terlambat dimuat, karena mungkin saja perdebatan-perdebatannya sudah lewat, dan mungkin akan muncul lagi di masa yang sama (masa Natal) di tahun-tahun yang akan datang. Keterlambatan postingan ini semata-mata karena kesibukan saya yang sangat padat dalam persiapan-persiapan Perayaan Adventus (masa-masa penantian selama 4 minggu sebelum Natal) dan Perayaan Natal di gereja.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada saudara-saudara saya yang Muslim, sebenarnya polemik tentang boleh atau tidak boleh memberi ucapan “Selamat Natal” tersebut datang dari sekelompok orang dan/atau organisasi massa (ormas) Islam atau yang mengatasnamakan Islam. Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud menilai boleh atau tidak boleh memberi ucapan “Selamat Natal” sebagai suatu hal yang salah atau benar, karena menurut saya hal itu adalah sah-sah saja, walaupun hati kecil saya cenderung mengatakan “apa salahnya memberi ucapan selamat kepada saudara/sesama kita yang sedang bersukacita merayakan hari raya keagamaan mereka khususnya umat Kristen yang merayakan Natal”.

Tentu ada alasan mendasar (landasan teologis) yang dianut oleh orang/kelompok tertentu yang menganggap haram (??) dan secara tegas melarang umatnya dan/atau kelompoknya untuk sekali-kali tidak memberi ucapan “selamat” khususnya memberi ucapan “Selamat Natal”. Sebenarnya sejak awal munculnya perdebatan ini, saya sedikitpun tidak ambil pusing (tidak peduli), karena itu bukan urusan saya (It’s none of my business). Jika “urusan anda” menjadi “urusan saya”, bisa saja saya dicap turut mencampuri urusan keyakinan/kepercayaan dan bahkan urusan iman ajaran agama lain yang memang “bukan urusan saya”.

Saya pun saat ini tidak sedang mengambil urusan anda menjadi urusan saya, sepenuhnya hal boleh atau tidak boleh memberi ucapan “Selamat Natal” masih menjadi urusan anda (it’s totally your business). Hanya saja, kenapa ada orang/kelompok/ormas yang juga muslim yang merasa boleh memberi ucapan tersebut. Lagi-lagi hati kecil saya sangat mendukung orang/kelompok ini. Kelompok ini sedang menunjukkan sikap kemanusiaan dan kebersamaan sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat, menjunjung tinggi nilai-nilai sosial dan budaya dalam sebuah peradaban. Dan lagi, untuk konteks Indonesia yang ber-bhinneka ini, hati kecil saya merasa layak dan nyaman untuk hidup berdampingan dengan orang/kelompok ini.   

Sebelumnya ada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang santer terdengar mengharamkan pemberian ucapan “Selamat Natal” kepada umat Nasrani. Padahal fatwa MUI yang sesungguhnya adalah tentang: “mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram dan agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Swt dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal.” (http://www.kabarislam.com/). Tentu di balik fatwa MUI ini ada sejumlah alasan teologis yang patut/harus dihargai oleh pihak non muslim khususnya umat Kristiani.

Namun berkaitan dengan memberi ucapan “Selamat Natal” kepada umat Kristen yang merayakan, cendekiawan Prof. Dr. Sofjan Siregar, MA berpendapat: “Mengucapkan selamat Natal oleh seorang muslim hukumnya mubah, dibolehkan. Mengucapkan selamat Natal adalah bagian dari mu’amalah, non-ritual. Pada prinsipnya semua tindakan non-ritual adalah dibolehkan, kecuali ada nash ayat atau hadits yang melarang.” (http://www.kabarislam.com/).

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof DR. H. M Din Syamsuddin MA, mengaku terbiasa mengucapkan selamat Natal kepada pemeluk Kristen. “Saya tiap tahun memberi ucapan selamat Natal kepada teman-teman Kristiani,” katanya tahun 2005. (http://www.kabarislam.com/).

Memang masih banyak pro dan kontra tentang permasalahan ini, tapi melihat keber-bhinneka-an kita, mungkinkah ada rujukan lain yang kiranya dapat menjaga/memelihara keharmonisan berbangsa dan bernegara? Sebagai pemeluk Kristen, saya sangat menghargai dan mengapresiasi dua tokoh/cendekiawan Muslim di atas yang memiliki sikap yang sangat mulia tersebut. Kiranya kedua tokoh panutan tersebut menjadi teladan bagi segenap umat yang masih pro dan kontra.

Jika yang merasa bahwa dengan memberi ucapan “Selamat Natal” kepada umat Kristiani adalah sebuah tindakan haram yang diduga kuat akan mendatangkan dosa, maka sebaiknya urungkan saja niat tersebut. Tapi jika memberi ucapan “Selamat Natal” sebagai wujud simpati, empati dan toleransi terhadap sesama umat beragama, dan diyakini tidak mendatangkan dosa, maka lanjutkan. Sebagai pihak yang merayakan Natal, saya sangat bersyukur kepada Tuhan yang saya imani dan berterimakasih jika sesama saya baik umat Muslim maupun umat non Kristen lainnya yang berkenan mengucapkan “Selamat Natal” kepada saya.

KIranya tulisan ini tidak memberi reaksi negatif kepada pembaca Kompasiana. Tulisan ini hanya merupakan sebuah ungkapan hati secara pribadi sebagai Kristen. Ada harapan besar yang ingin diraih sehubungan dengan hidup dalam kebersamaan, toleransi, kerukunan dan keharmonisan antar umat beragama khususnya di Indonesia. Saya membayangkan jika semua agama baik di dunia maupun di Indonesia sama-sama mengeluarkan fatwa-fatwa yang sama dan sebangun, maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. “HOME ALONE is better than ALONE TOGETHER at home.”

Mengakhiri tulisan ini, sekali lagi saya ingin mengucapkan: “Selamat merayakan Natal 25 Desember 2014 bagi umat Kristiani di seluruh dunia dan di seluruh pelosok negeri Indonesia! Kiranya Natal menbawa damai bagi negeri dan seluruh penghuni negeri ini! Salam Damai Natal untuk kita semua! Amin!”

[http://sosbud.kompasiana.com/2014/12/26/salam-damai-natal-untuk-negeri-penghuni-negeri-693675.html]

December 3, 2014

Jayalah di Laut, Indonesiaku!

Monumen Jalesveva Jayamahe | Surabaya (Gambar: Skyscrapercity.com)

Oleh: Pietro T. M. Netti

Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI

Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang memiliki perbandingan luas wilayah laut dan daratan sebesar 70% : 30%. Luas keseluruhan wilayah Indonesia didominasi oleh 2/3 wilayah laut dan hanya 1/3 wilayah daratan. Di samping itu, letak geografis Indonesia pun sangat strategis, terletak di antara dua buah benua (Benua Asia dan Benua Australia) dan dua buah samudera (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik).

Laut menjadi fokus perhatian pemerintah saat ini di bawah kepemimpinan Presiden Ir. Joko Widodo. Menurut Presiden RI ke-7 ini, selama ini kita selalu “memunggungi laut”, dan tidak pernah menatap dan memanfaatkan potensi laut secara optimal untuk kemakmuran rakyat. “Jalesveva Jayamahe” (Di Lautan Kita Jaya) hanya menjadi sebuah slogan kosong tanpa implementasi nyata bagi rakyat. Kini tiba saatnya menjadikan laut sebagai sumber daya yang terlupakan selama ini untuk kejayaan bangsa dan negara Indonesia.

Begitu pula dengan letak geografis Indonesia yang sangat strategis ini akan dan bahkan telah menyita perhatian bangsa-bangsa lain di dunia ini. Dengan demikian, sadar atau tidak, Indonesia sudah pasti menjadi begian penting bagi perekonomian dunia. Apalagi saat ini Asia Pasifik telah menjadi destinasi perekonomian dunia. Program pemerintah di bawah pemerintahan Jokowi yang menitikberatkan pada pemberdayaan kelautan dan kemaritiman patut disambut positif dan optimistis oleh seluruh komponen bangsa. Visi dan misi Jokowi yang sangat melekat dalam ingatan kita adalah pembangunan “Tol Laut” di Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai “Pusat Maritim Dunia”.

Pembangunan “Tol Laut” dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan wilayah yang dapat menjangkau ke seluruh pelosok nusantara. Sedangkan merealisasikan Indonesia sebagai “Pusat Maritim Dunia” menjadi hal mutlak untuk menjawab era perekonomian modern masa kini dan masa-masa yang akan datang, yang sudah tentu akan berdampak positif pada kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan bangsa Indonesia ke depannya.

Untuk menunjang terlaksananya visi dan misi tersebut, Jokowi membentuk Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan menunjuk Indroyono Soesilo sebagai menterinya. Langkah kerja awal telah dilaksanakan oleh pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang di komandani oleh Susi Pudjiatuti dengan melakukan gebrakan operasi laut secara besar-besaran. Hasilnya, puluhan perahu/kapal nelayan asal Malaysia ditangkap saat sedang “mencuri” di perairan Indonesia, dan penahanan sejumlah manusia perahu yang tidak jelas kewarganegaraannya.  Penangkapan dan wacana pemusnahan/penenggelaman sejumlah perahu/kapal maling asal Malaysia ini mendapat tanggapan positif dari berbagai kalangan dan rakyat Indonesia.

Presiden Jokowi pun secara tegas menginstruksikan untuk tidak mentoleransi kapal-kapal asing yang mencuri di perairan Indonesia. Jokowi memerintahkan agar kapal asing yang kedapatan mencuri ikan tersebut lebih baik langsung ditenggelamkan saja (republika.co.id). Sikap tegas Presiden ini mendapat tanggapan reaktif dari sebuah media lokal di Malaysia (Utusan Malaysia) yang langsung mencap Jokowi sebagai proxy (boneka atau kepanjangan tangan) Amerika Serikat dengan sejumlah alasan-alasan subyektif.  Dan lucunya lagi, Utusan Malaysia ini berusaha membangun opini untuk mengadudomba rakyat Indonesia dengan Presiden Jokowi atas kebijakan-kebijakan menaikkan harga BBM dan lain-lain. Dan lebih lucunya lagi, media ini malah cenderung ingin mencampuri urusan dalam negeri Indonesia (“Ha3x..lucu!”).

“Go to hell, Utusan Malaysia!”

Untuk merealisasikan semboyan “Jaleveva Jayamahe”, memang perlu kerja extra keras dari pihak pemerintah Indonesia beserta jajarannya. Indonesia yang kaya akan potensi kelautan dan kemaritimannya perlu mendapat prioritas pemerintah dalam hal pengamanan wilayah laut oleh aparat keamanan dari pencurian dan penangkapan ikan ilegal (illegal fishing) oleh nelayan-nelayan asing yang sangat merugikan negara. Sekretaris Kabinet, Andi Widjajanto, mengungkapkan bahwa illegal fishing yang marak terjadi di perairan Indonesia ini menyebabkan kerugian negara sebesar US$ 25 miliar atau sekitar Rp. 300 triliun per tahun. Di samping mencegah adanya ilegel fishing oleh pihak-pihak asing, pengamanan wilayah laut Indonesia juga merupakan wujud dari menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Prioritas pemerintah berikutnya adalah memanfaatkan potensi dan sumber daya kelautan dan kemaritiman kita untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Pemerintah pun dapat memfasilitasi para nelayan Indonesia (khususnya nelayan tradisional) dengan teknologi penangkapan ikan yang modern, ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable), sehingga dapat meningkatkan taraf hidup nelayan menjadi lebih baik dan lebih baik ke depannya.

Prioritas berikut yang sama pentingnya adalah sebagaimana yang disebut-sebut oleh Jokowi yakni membangun dan memperbaiki infrastruktur kelautan yang dapat menunjang akses dari pulau yang satu ke pulau yang lain. Infrastruktur kelautan yang sudah ada perlu dilakukan pemeliharaan dan ditingkatkan kualitas dan kapasitasnya. Pembangunan infrastrukur kelautan yang dimaksudkan antara lain: pembangunan dermaga, pelabuhan, perbaikan dan pengadaan kapal-kapal nelayan, angkutan dan transportasi laut, dan sebagainya.

Dengan demikian maka pembangunan infrastruktur kelautan ini, di samping menjadi akses dari pulau ke pulau, juga bisa berperan menunjang pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan wilayah yang lebih baik dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Demikian pula pembangunan infrastruktur kelautan dapat memicu/merangsang tumbuhnya sektor-sektor perekonomian baru dan berkembangnya sektor-sektor perekonomian yang sudah ada. Dan manfaat lain sebagai dampak ikutan dari pembangunan infrastruktur kelautan di Indonesia sebagai negara kepulauan ini adalah sebagai alat pemersatu bangsa.

Akhirnya, semoga pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Ir. Joko Widodo dapat merealisasikan visi dan misi-nya yang berhubungan pemanfaatan kekayaan laut dan sumber daya laut dan maritim, dan pembangunan “Tol Laut” untuk kesejahteraan, kemakmuran dan kejayaan seluruh rakyat Indonesia.

“Jalesveva Jayamahe: Di Laut Kita Jaya!”

[http://politik.kompasiana.com/2014/12/02/jayalah-di-laut-indonesiaku-689825.html]

November 29, 2014

Panggung Rising Star Indonesia Gagal “Ber-endang-endut”.

Rising Star Indonesia di RCTI (Gambar: rcti.tv)

Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI


Rising Star Indonesia (Only Star Will Rise!) di RCTI, Jumat 28 November 2014, memasuki babak Lucky Seven yang mengusung tema “Dangdut & Melayu”. Para peserta akan diuji kebolehannya untuk unjuk gigi dalam menyanyikan lagu-lagu Dangdut dan/atau Melayu. Sayangnya, Panggung Rising Star kali ini yang seharusnya dihiasi “cengkok & aksi joget”  ini tidak berlangsung sesuai dengan tema yang diusung.

Panggung Rising Star Indonesia kali ini menyisakan 7 peserta yang saling beradu kebolehan bernyanyi untuk merebut The Best Six pada Jumat depan (5/12/2014). Acara yang berlangsung kurang lebih 3 jam ini menghadirkan expert Bebi Romeo (Penyanyi/Producer), Kevin “Vierra”, Ayu Tingting (Penyanyi Dangdut), dan Ahmad Dhani (Producer). Ketujuh peserta yang bertarung adalah Reyna Qontrunnada, Hanin Dhiya, Sonny Saragih, Indah Nevertari, Ghaitsa, Evony Arty, dan Bluesmates.

Tantangan panggung Rising Star kali ini yang menghadirkan tema “Dangdut & Melayu” tidak mampu dijawab oleh sebagian besar peserta Lucky Seven ini. Lagu-lagu yang dipilih oleh para lucky 7 keseluruhannya adalah lagu Dangdut dan Melayu, tapi lagu-lagu tersebut dibawakan dengan cara yang sama sekali  tidak bernuansa Dangdut dan Melayu. Kelihatan sekali para peserta tidak mau(?), atau tidak mampu(?), atau tidak berani(?) bernyanyi dalam genre musik Dangdut dan Melayu.

Tema Dangdut dan Melayu, menurut hemat saya gagal terlaksana di malam Lucky 7 ini. Panggung Rising Star Indonesia gagal menghadirkan tontonan yang seharusnya, menurut Ahmad Dhani, mengusung tema Tribue to dangdut tersebut. Sebagian besar peserta menyanyikan lagu-lagu dangdut/Melayu dalam arransemen yang tidak berbeda dengan lagu-lagu ber-genre jazz. Panggung yang seharusnya Tribute to Dangdut/Melayu menjadi panggung Jazz Night.

Sebenarnya, jika kita melihat secara kesuluruhan, aksi-aksi yang ditunjukkan oleh para peserta sangatlah luar biasa. Tidak ada yang salah dengan mereka. Aksi-aksi yang ditunjukkan pun sangat memukau. Ketujuh peserta tersebut telah menunjukkan kualitas vokal/bernyanyi yang sangat tinggi. Masing-masing peserta telah menampilkan keunikan dan ciri khas bernyanyi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Keunikan dan ciri khas mereka patut diacungi jempol.

Bebi Romeo dalam penilaiannya sering mengatakan bahwa melihat dari bakat/talenta luar biasa dari masing-masing peserta, peserta-peserta ini memang terlahir untuk bernyanyi (born to sing) yakni terlahir dengan suara yang bagus sebagai anugerah dari Tuhan. Ada pula penyanyi yang memiliki vokal yang ber-citarasa internasional. Dan itu semua patut dibanggakan, mengingat usia para peserta yang masih belia, yang masih memiliki perjalanan karir yang panjang ke depannya.

“Namun, kenapa pada malam tribute to dangdut (istilah Dhani) ini, para peserta tidak bernyanyi dangdut atau bernyanyi Melayu?” Pertanyaan ini muncul bukan karena saya sangat fanatik dengan musik/lagu dangdut atau Melayu, tetapi lebih kepada kenapa para peserta tidak berani mengeksplorasi kemampuan mereka untuk bernyanyi dangdut atau Melayu di ajang spektakuler ini.

Para peserta memang menampilkan sesuatu yang berbeda, tetapi sesungguhnya melenceng dari tantangan/tema yang diusung pada pertunjukan malam itu. Melihat aksi para kontestan yang tidak sepenuhnya bernyanyi dangdut/Melayu, Ahmad Dhani pun sempat mengatakan bahwa bernyanyi dangdut bukan hal yang mudah. Ketika diperhadapkan dengan lagu dangdut/Melayu, para peserta jangan berpikir “mau atau tidak mau” bernyanyi dangdut/Melayu, tetapi “bisa atau tidak bisa”.  

Menurut saya, sebenarnya seorang penyanyi yang born to sing harus mau dan bisa menyanyikan lagu apa saja dan/atau menerima tantangan apa saja yang disodorkan. Saya yakin sesusah-susahnya dangdut/Melayu pasti bisa dibawakan oleh para kontestan ini. Sebenarnya ada misunderstanding dari para kontestan dalam menyikapi tantangan untuk bernyanyi dangdut dan Melayu. Lagu-lagu tersebut memang harus dibawakan sesuai karakter bernyanyi masing-masing peserta, tetapi bukan berarti harus merubah genre lagu-lagu tersebut.

Arransemen musik yang dinakodai Bang Onny (kalau tidak salah) tidak menampilkan kekhasan dari genre dangdut/Melayu. Arransemen musik hanya mengikuti arransemen vokal dari masing-masing peserta, demikian yang dikatakan oleh Hanin Dhiya (peserta Rising Star RCTI termuda berusia 13 tahun). Mau dikatakan salah pun tidak, karena memang arransemen musik harus disesuaikan dengan cara bernyanyi dari masing-masing peserta. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa pada babak Lucky Seven kali ini, peserta Rising Star Indonesia-lah yang tidak mau dan/atau tidak berani (bukan tidak bisa) mengeksplorasi kemampuan mereka untuk menjawab tantangan panggung Rising Star Indonesia yang seharusnya “bercengkok” dan “berjoget”  ria.

Dari tujuh peserta, hanya satu peserta, Indah Nevertari, yang menurut saya berani mengeksplorasi kemampuan olah vokalnya serta dapat menyuguhkan aksi brilian yang sekaligus menghentak panggung spektakuler Rising Star Indonesia. Nirmala, sebuah lagu Melayu yang sangat terkenal di Malaysia dibawakan dengan sangat sempurna dengan menghadirkan teknik olah vokal, ciri khas bernyanyi dan aksi panggung seorang Nevertari yang memang sangat mendukung tema panggung Rising Star Indonesia yang sesungguhnya: “Tribute to Dangdut/Melayu”.

Kontestasi panggung Rising Star Indonesia akhirnya menyisakan 6 kontestan yakni: Reyna Qontrunnada, Hanin Dhiya, Indah Nevertari, Ghaitsa, Evony Arty, dan Bluesmates, yang akan bertarung pada babak The Best Six minggu depan (5/12/2014). Sonny Saragih (peserta berusia 15 tahun) harus puas berada di posisi tujuh besar, dan harus meninggalkan teman-teman seperjuangannya yang juga sekaligus sebagai competitor di ajang Rising Star Indonesia. Sonny yang sejak awal telah menduduki kursi panas tidak mampu bersaing dengan Bluesmates, Band Blues asal Surabaya, dalam pengumpulan dan perolehan prosentasi penilaian tertinggi.

Rising Star Indonesia: Only Star Will Rise!

[http://hiburan.kompasiana.com/musik/2014/11/29/panggung-rising-star-indonesia-gagal-ber-endang-endut-689346.html]

KPK Menjemput “Bola Pertama” Di NTT

Marthen Dira Tome (Gambar: Pos Kupang)

Oleh: Pietro T. M. Netti

Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI

Senin, 17 November 2014, suasana Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Nusa Tenggara Timur di Jl. Jend. Soeharto, depan kampus Universitas Nusa Cendana lama, dikejutkan dengan kedatangan sejumlah aparat berseragam Brimob Polda Nusa Tenggara Timur dengan bersenjata lengkap. Kedatangan anggota Brimob secara mendadak ini sempat membuat panik para pegawai di dinas setempat yang baru saja melaksanakan apel pagi (Apel Kesadaran tiap tanggal 17).

“Mungkinkah ada kasus tindak kejahatan/kriminal yang sedang terjadi? Atau mungkinkah ada teror yang dilancarkan oleh orang tidak dikenal yang mengancam keselamatan kantor dan karyawan?”

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka di benak pegawai-pegawai saat itu. Suasana baru sedikit mencair ketika di antara kurang lebih sepuluh personil Brimob tersebut terdapat pula aparat penegak hukum lainnya yang mengenakan rompi yang bertuliskan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Walaupun demikian, suasana tetap menegangkan, karena kehadiran para aparat penegak hukum ini (KPK) tidak disangka-sangka sebelumnya oleh para karyawan.

“Kami tidak menyangka sama sekali KPK akan datang! Tidak ada pengumuman atau pemberitahuan sebelumnya!”, ungkap beberapa karyawan.

Kehadiran KPK di Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi NTT terkait dengan penyelidikan kasus tindak pidana korupsi dana Pendidikan Luar Sekolah (PLS) tahun 2007. Kasus korupsi ini melibatkan Bupati Sabu Raijua, Marthen Dira Tome, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Bidang PLS. Status orang nomor satu di Kabupaten Sabu Raijua telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, setelah sekian lama terkatung-katung di Kejaksaan Tinggi NTT.  

Menurut Juru Bicara KPK, Johan Budi, dalam pengelolaan dana PLS ditemukan penyaluran dana yang tidak sesuai peruntukkannya yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 77 miliar (Pos Kupang).

Penetapan status tersangka kepada Marthen oleh KPK ini menjadi sorotan tersendiri bagi masyarakat NTT pada umumnya, mengingat NTT adalah salah satu Propinsi yang belum pernah dijamah oleh KPK sebelumnya. Dari sekian banyak kasus korupsi di Indonesia yang ditangani, dan sekian banyak tersangka koruptor yang ditetapkan oleh KPK, belum ada satupun kasus korupsi di NTT yang ditangani oleh KPK. Begitu pula dengan belum adanya satu pun tersangka koruptor di NTT yang ditetapkan oleh KPK.

Memang telah banyak tersangka kasus korupsi yang sudah ditangani oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan dan dijebloskan ke dalam penjara, tapi tingkat kepuasan masyarakat belum sepenuhnya terobati jika bukan KPK yang menanganinya langsung. Mengingat pula pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ini memang untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.

“Para koruptor seharusnya digilas sendiri oleh KPK!”, demikian harapan masyarakat NTT.

Saat ini masyarakat NTT mulai melihat titik terang pemberantasan korupsi di NTT, walaupun masih banyak kasus yang diduga menyelewengkan uang negara ini belum sepenuhnya tersentuh oleh KPK. “Bola pertama” telah dijemput KPK, dan kiranya KPK akan terus menjemput “bola-bola” berikutnya yang masih bebas “menggelinding” di tanah Flobamora (Flores, Sumba, Timor, Alor) baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten/kota.

[http://regional.kompasiana.com/2014/11/28/kpk-menjemput-bola-pertama-di-ntt-689030.html]

November 28, 2014

“Tamatan Malaysia” Rata-Rata Sakit Jiwa

Toga (Gambar: smpinovatif.com)

Oleh: Pietro T. M. Netti

Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI

Ada fenomena unik yang saya jumpai sendiri saat saya berkesempatan menetap dan bekerja selama beberapa saat di Pulau Batam dan Pulau Bintan di tahun 2000 silam. Dimana-mana di kedua pulau ini terdapat cukup banyak orang yang oleh warga setempat biasa dijuluki sebagai “Tamatan/Lulusan/Alumni Malaysia”.

Jika dilihat dari kehidupan para “alumnus” ini memang sangat memprihatinkan, tetapi begitulah kenyataan yang terjadi. Mereka adalah sosok-sosok yang tidak jelas atau lebih tepatnya tidak diketahui asal-usul dan latar belakang identitas, keluarga dan kewarganegaraannya. Teman-teman saya mengatakan bahwa para alumnus ini ada yang berasal dari Vietnam, Philipine, India, negara-negara tetangga lainnya di Asia Tenggara dan Asia, dan juga sebagian lagi berasal dari Indonesia sendiri yang tidak bisa kembali ke kampung halamannya masing-masing.

Para lulusan Malaysia ini menghabiskan hidup keseharian mereka di jalan-jalan, di emperan-emperan toko, tapi tanpa meminta dan mengharapkan belas kasihan orang-orang di sekelilingnya. Ya, mereka hidup dengan cara mereka sendiri tanpa berniat membebani orang lain. Mereka bukan preman yang hidup dengan mengandalkan kekerasan dan/atau pemerasan. Mereka juga bukan gelandangan dan pengemis yang mengulurkan tangan untuk sekeping/dua keping rupiah walaupun banyak orang yang turut merasa berbelas kasihan dan iba kepada mereka. Mereka juga bukan pelaku kriminal atau bahkan teroris walaupun kadang suka membuat onar dan menebar teror.

Mereka adalah para “Tamatan/lulusan/alumni Malaysia” (istilah yang dilekatkan pada diri mereka). Ya, para tamatan/lulusan/alumni ini adalah mantan pekerja keras di negeri Jiran Malaysia yakni para mantan tenaga kerja yang akhirnya dideportasi keluar dari Malaysia. Yang aneh dari para mantan tenaga kerja ini adalah bahwa mereka semua mengalami gangguan jiwa akut alias tidak waras atau gila. Ada cerita yang berkembang bahwa sebagian besar dari mereka sebelumnya adalah tenaga kerja illegal yang ditangkap dan telah menjalani masa hukuman di Malaysia dan kemudian dideportasi. Rata-rata mereka memiliki bekas luka cambuk di bagian punggung, dan anehnya rata-rata dari mereka menjadi berangsur-angsur tidak waras setelah dideportasi.

Telah menjadi pengetahuan umum bahwa pemerintah kerajaan Malaysia hingga saat ini memberlakukan hukum cambuk (sesuai Hukum Syariat) kepada setiap pelanggar hukum di negeri Jiran ini. Bekas cambukan di tubuh mereka akan menjadi kenang-kenangan abadi bagi mereka yang pernah melakukan tindak kriminal. Yang belum menjadi pengetahuan umum bagi kita adalah: “Kenapa sebagian besar mantan tenaga kerja termasuk Tenaga Kerja Indonesia dan/atau Tenaga Kerja Wanita (TKI/TKW) yang pernah bekerja di negeri serumpun ini selalu menderita sakit jiwa/tidak waras/gila setelah dideportasi atau setelah pulang kampung?”

Selama berdomisili di Batam (3 bulan) dan di Bintan (9 bulan), saya sempat mendapatkan informasi-informasi dari warga setempat yang membuat trenyuh, karena informasi-informasi tersebut sungguh tidak bisa diterima oleh akal sehat saya. Entah benar atau tidak benar, itulah informasi yang saya dengar. “Setiap orang gila yang ada di Batam/Bintan pastilah tamatan/lulusan/alumni dari Malaysia!” demikian pendapat-pendapat warga di dua pulau di Kepulauan Riau ini.  

Semula saya berpikir jika para tamatan Malaysia ini kemungkinan besar mengalami stress berkepanjangan sebagai akibat dari siksaan, hukuman dan pendeportasian yang mereka alami yang akhirnya menyebabkan mereka mengalami gangguan jiwa. Dugaan siksaan yang menimpa para tenaga kerja ini juga diakui oleh sebagian warga sebagai salah satu pemicu terjadinya gangguan jiwa walau diakui sangat kecil kemungkinannya. Saya juga berpikir jika para tamatan Malaysia ini, lagi-lagi, mengalami stress mengingat begitu kerasnya kehidupan di Batam dan/atau di Bintan yang harus dijalani. Namun dugaan saya tersebut langsung dibantah oleh sebagian besar warga masyarakat. “Kalau alasannya stress tentang kerasnya kehidupan, kitapun pasti sudah gila sejak lama!”

“Lantas apa yang sebenarnya terjadi dengan nasib para Wisudawan Malaysia tersebut?”

Melihat fenomena orang gila yang tidak diketahui asal-usulnya ini yang juga adalah mantan tenaga kerja di Malaysia ini, saya mendengar banyak sekali pendapat warga yang senada. Saat ditanya: “Siapa orang-orang itu?”, jawabannya selalu sama: “Tamatan dari Malaysia!” Jika ditanya lagi: “Kenapa mereka menjadi tidak waras atau gila?”, jawabannya singkat, padat dan jelas: “Disuntik laah…!”

Sekali lagi, telah menjadi “pengetahuan umum” bahwa hukum di Malaysia masih memberlakukan Hukum Cambuk yang merupakan penerapan dari Hukum Islam/Hukum Syariat. Yang belum menjadi “pengetahuan umum” adalah: “Kenapa sebagian besar mantan tenaga yang pernah bekerja di negeri serumpun ini selalu menderita sakit jiwa/tidak waras/gila?” Namun demikian, ada satu hal yang sudah menjadi “rahasia umum” bahwa negeri Jiran inipun melaksanakan Hukum Suntik (istilah sendiri) kepada tenaga kerja yang berkewarganegaraan asing(?). Walaupun Hukum Suntik ini mungkin saja bukan termasuk dan/atau tidak dikenal dalam Hukum Syariat di Malaysia, namun banyak pihak yang membicarakan tentang pemberlakuan Hukum Suntik ini di Malaysia.

Dikatakan bahwa hukum suntik ini tidak serta-merta membuat korban langsung menjadi tidak waras/gila, tapi secara berangsur-angsur suntikan maut tersebut akan merusak sel/jaringan syaraf otak. Isu suntik gila yang, katanya, diberlakukan oleh oknum aparat penegak hukum di Malaysia kepada para tenaga kerja illegal yang kemudian akan dideportasi ini dimaksudkan agar para tenaga kerja illegal ini tidak akan kembali lagi ke Malaysia dengan status yang sama (illegal) untuk mengadu peruntungan mereka. Dikatakan pula bahwa menurut aparat keamanan di Malaysia, “sekali illegal akan tetap illegal”. Setelah disuntik, mereka dipastikan tidak akan kembali lagi ke Malaysia karena pastinya mereka akan mengalami hilang ingatan setelah dideportasi.

Tentu pendapat-pendapat warga di pulau Batam dan Bintan ini tidak harus ditelan bulat-bulat, bisa saja “salah”, tapi bisa juga “benar”. Apapun bisa terjadi! Oleh sebab itu, perlu ada investigasi dan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan salah-benar-nya pendapat/cerita yang sudah berkembang luas di tengah masyarakat ini. Hal inipun perlu menjadi perhatian serius Pemerintah Indonesia dalam hal ini pihak-pihak terkait/berwajib, dan/atau Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli pada penegakan Hak Asasi Manusia untuk menelusuri dan mengungkap fakta dan kebenarannya. Jika saja benar sesuai dengan tuturan masyarakat di atas, maka kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan Malaysia ini sungguh sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Negara/kerajaan yang mengusung Syariat Islam ini akan dikenal sebagai negara dan bangsa paling biadab di muka bumi ini (butuh pendalaman dan pembuktian lebih lanjut).

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), Kupang, juga terdapat banyak kasus serupa yang luput dari perhatian pemerintah maupun pemberitaan media. Para korban yang akhirnya menderita gangguan jiwa tersebut juga rata-rata adalah mantan tenaga kerja yang pernah bekerja di Malaysia. Sebagaimana kita ketahui, NTT juga tercatat sebagai salah satu penyumbang tenaga kerja terbesar di Indonesia untuk dipekerjakan di Malaysia dan beberapa negara lainnya. Kasus human trafficking pun marak terjadi di NTT. Masih lekat dalam ingatan kita, kasus yang menimpa Nirmala Bonat, TKW asal Timor, yang mengalami penyiksaan di luar perikemanusiaan oleh majikannya di Malaysia. Dan masih banyak lagi kasus yang sama dialami oleh saudara/i kita yang berasal dari daerah lain di Indonesia. Pihak keluarga hanya bisa pasrah menerima keadaan apa adanya dan tidak bisa berbuat banyak karena tidak tahu harus mengadu kemana(?).

Saya juga sempat kaget membaca tulisan seorang Kompasianer (----) beberapa hari yang lalu (24/11/2014), yang membeberkan data TKI di daerahnya, Jawa ----, yang mengalami gangguan jiwa. Dalam tulisan tersebut tercatat TKI yang pernah bekerja di Malaysia, 70% diantaranya mengalami gangguan jiwa saat kembali ke daerah asalnya. Sebuah data yang sangat mencengangkan! (Lihat: ---) Dan tulisan itu pun menginspirasi saya untuk menceritakan fakta-fakta yang berhubungan dengan para TKI yang mengalami gangguan jiwa seusai bekerja di Malaysia. Ada benang merah di antara data di Jawa --- tersebut dan fakta-fakta yang terjadi di berbagai pelosok negeri.

“Mungkinkah sekian banyak kasus serupa (kasus gangguan jiwa) yang terjadi di berbagai pelosok negeri ini yang menimpa para TKI kita hanya sebuah KEBETULAN belaka? Mungkinkah KEBETULAN saja sama-sama pernah bekerja sebagai tenaga kerja di Malaysia, dan saat kembali ke tanah air KEBETULAN pula sama-sama mengalami gangguan jiwa?”

Melihat kasus-kasus yang terjadi dan yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan/atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri, khususnya, di Malaysia, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Tenaga Kerja perlu memberikan jaminan keamanan yang pasti dan bantuan hukum yang memadai bagi mereka. Dalam pemberitaan-pemberitaan, para TKI kita yang bekerja di luar negeri sering mendapat perlakuan yang tidak bereprikemanusiaan dari majikan-majikan mereka. Kasus hukum yang dialami dan tuntutan hukum yang dikenakan kepada para TKI/TKW pun tidak adil, cenderung mengada-ada dan malah terkesan semena-mena.

Lebih khusus lagi, Pemerintah dalam hal ini aparat terkait/berwenang (entah apa itu namanya) perlu menganalisa penyebab gangguan jiwa yang terjadi pada kebanyakan tenaga kerja kita yang rata-rata pernah bekerja di Malaysia. Dan yang terakhir, bila perlu, Pemerintah bisa mengerahkan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mengusut dan/atau menelusuri isu Hukum Suntik atau Suntik Gila yang marak diperbincangkan tersebut.

Sekali lagi, mengakhiri tulisan ini, saya ingin menggarisbawahi dan mempertegas kembali pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengusik hati dan pikiran saya sekian lama sejak tahun 2000 silam. Pertanyaan-pertanyaan yang mengusik ini kiranya bisa menjadi perhatian kita semua, khususnya bisa menjadi perhatian serius dari Pemerintah Indonesia ke depannya dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia:

“Mungkinkah sekian banyak kasus serupa (kasus gangguan jiwa) yang terjadi di berbagai pelosok negeri ini yang menimpa para TKI kita hanya sebuah KEBETULAN belaka? Mungkinkah KEBETULAN saja sama-sama pernah bekerja sebagai tenaga kerja di Malaysia, dan saat kembali ke tanah air KEBETULAN pula sama-sama mengalami gangguan jiwa?”

“Only heaven knows!”

[http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/11/26/tamatan-malaysia-rata-rata-sakit-jiwa-688790.html]

November 23, 2014

Tindak Pidana Pornografi Di Dunia Maya

Hukum & Undang-undang Pornografi (Gambar: Liputan6)

Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI

Pornografi di dunia maya tumbuh laksana jamur di musim hujan, walaupun tidak sedikit situs/ website berisi pornografi yang sudah diblokir oleh pemerintah di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Nama yang kerap menjadi sorotan media karena sibuk membredel situs-situs berbahaya ini lewat kementeriannya adalah mantan Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Tifatul Sembiring.

Alasannya sudah pasti agar dapat melindungi rakyat Indonesia supaya tidak terjerumus dalam konten-konten pornografi sebagaiamana yang dicontohkan oleh salah satu mantan anggota dewan rekan separtainya, Arifinto. Sang anggota DPR RI asal PKS tersebut tertangkap basah oleh kamera wartawan sedang asik menikmati adegan mesum melalui gadget handphone-nya di dalam ruang sidang DPR RI. Namun sahabat baik Tifatul ini membantah jika ia tidak sedang asik menikmati, tetapi ia tidak sengaja membuka link yang dikirim oleh temannya (hehe…alasan…alasan..!). Dan kalau tidak salah, di era Tifatul menjabat sebagai Menkominfo pulalah seluruh tayangan televisi di-blur bagian-bagian yang “terpampang nyata” (pinjam Syahrini) demi tidak mengumbar aurat yang mengundang syahwat dan  birahi.

Di dunia maya (dumay), tersedia begitu banyak layanan/konten pornografi yang mudah diakses oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja, sampai-sampai sang Menteri yang kerjanya memerangi situs-situs haram inipun salah meng-klik alias tidak sengaja atau tidak berniat meng-klik (katanya sih) dan tentu saja tidak pula berniat menjadi follower dari salah satu akun porno di twitter (hehe…senjata makan tuan atau tuan makan senjata nih?). Tayangan-tayangan iklan yang berhubungan dengan pornografi pun tersebar luas dimana-mana lengkap dengan ungkapan, gambar, animasi dan video yang fulgar. Iklan-iklan tersebut menawarkan banyak hal yang berhubungan dangan dan/atau mengandung unsur pornografi.

Di tengah pesatnya perkembangan media online saat ini, mau tidak mau kita harus berhadapan (head to head) dengan derasnya arus informasi yang datang di hadapan kita. Benar kata pepatah “dunia tidak selebar daun kelor” tapi cuma selebar layar monitor komputer, dan layar gadget Ipad/HP. Seluruh informasi yang ada di bawah kolong langit ini dapat diakses bebas oleh siapapun tanpa mengenal ruang dan waktu. Pertanyaan yang muncul: “Sudah siapkah kita saat ini menyikapi derasnya arus informasi di media-media online dan menyaring konten-konten informasi mana saja yang patut atau tidak patut dan/atau layak atau tidak layak dikonsumsi?”  

Sebagai pengguna internet (netizen), kita bebas menentukan kemana arah langkah kita berselancar di dunia maya; menuju ke konten-konten positif atau ke konten-konten negatif. Semua pilihan terserah pada kita sendiri yang memutuskan. Dan hal lain yang sangat penting adalah kita juga diberi kebebasan seluas-luasnya untuk mau atau tidak mau membentengi diri sendiri dengan nilai-nilai (moral, etika, dan agama) agar bisa terhindar dan tidak terjerumus pada pilihan-pilihan yang menyesatkan.  Sekali lagi, semua terserah kita! (Lihat: Wajarkah Iklan Dewasa Ditayang Di Kompasiana?)

Siapapun kita bisa menjadi netizen. Apalagi dengan maraknya media-media sosial yang bermunculan, kita bebas bergabung dan berinteraksi. Kita dapat sebebas-bebasnya memberikan pendapat, pandangan dan opini kita tentang apa saja yang sedang terjadi. Kita pun bebas mengekspresikan diri melalui media-media ini baik dalam kata-kata, gambar, animasi, audio maupun video. Hanya saja yang terjadi belakangan ini adalah kebebasan berpendapat dan berekspresi yang kita miliki disalahartikan dengan bebas (baca: sewenang-wenang) menyerang orang/pribadi tertentu dengan tidak lagi mempedulikan tatanan nilai, moral, etika dan religiusitas di dalam masyarakat beradab yang berketuhanan dan berperikemanusiaan.

Masih segar dalam ingatan kita kasus penyebaran gambar porno oleh si pembantu tukang sate, Muhammad Arsyad, belum lama ini. Arsyad dilaporkan ke polisi oleh politisi PDIP Hendri Yosoningrat pada 27 Juli 2014 atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran gambar pornografi Presiden Jokowi. Pada Kamis, 23 Oktober 2014, ia ditangkap dan ditahan di Bareskrim Polri.
Atas tindakannya, Arsyad dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 29 Juncto Pasal 4. Ayat 1 UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Pasal 310 dan 311 KUHP, Pasal 156 dan 157 KUHP, Pasal 27, 45, 32, 35, 36, 51 UU ITE.

Khusus tentang pornografi, berikut ini adalah ulasan tentang undang-undang pornografi di dunia maya yang dikutip dari Hukum Online. Ulasan berikut adalah sebuah jawaban oleh Shanti Rachmadsyah, SH atas pertanyaan seputar Cyber Pornografi (Pornografi di dunia maya).

Pertanyaan: Cyber pornography (pornografi dunia maya). “Selamat sore, saya mau bertanya, andaikata ada permasalahan mengenai pornografi dunia maya (cyber pornography) misalnya, website atau pun forum tertentu, undang-undang manakah yang akan berlaku, apakah KUHP, UU Pornografi atau UU ITE? Apakah asas lex specialis derogat legi generalis berlaku terhadap undang-undang tersebut (tiga UU yang dimaksud di atas)? Atau apakah ada pertentangan atau konflik di antara ketiga UU tersebut? (kalau ada, maka UU manakah yang dipergunakan?) Terima kasih sebelumnya.” EDUARDNONG

Jawaban: Pornografi di dunia maya disebut dengan istilah cyber pornography yang dapat diartikan sebagai penyebaran muatan pornografi melalui internet. Tindak pidana pornografi di dunia maya dapat dijerat dengan pasal-pasal di dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik), dan Undang-undang Pornografi.

KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

Memang dalam KUHP tidak dikenal istilah dan/atau kejahatan pornography, tapi ada pasal yang dapat dikenakan terhadap perbuatan ini, yakni pasal 282 KUHP:

Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah

UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik)

Dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pun tidak mengenal adanya istilah pornography, tetapi muatan yang melanggar kesusilaan. Penyebarluasan muatan yang melanggar kesusilaan melalui internet diatur dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE mengenai Perbuatan yang Dilarang, yaitu:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” 

Pelanggaran terhadap pasal 27 ayat (1) UU ITE dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 milyar (pasal 45 ayat [1] UU ITE). 

UU Pornografi (Undang-undang Pornografi)

Undang-undang yang secara tegas mengatur mengenai pornografi melalui internet adalah UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi). Pengertian pornografi menurut pasal 1 angka 1 UU Pornografi adalah:         

“… gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”

Pelarangan penyebarluasan muatan pornografi, termasuk melalui di internet, diatur dalam pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, yaitu; 

“Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
  1. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
  2. kekerasan seksual;
  3. masturbasi atau onani;
  4. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
  5. alat kelamin; atau
  6. pornografi anak.” 

Pelanggaran pasal 4 ayat (1) UU Pornografi diancam pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar (pasal 29 UU Pornografi). 

Pasal 44 UU Pornografi menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. 

[http://hukum.kompasiana.com/2014/11/23/-tindak-pidana-pornografi-di-dunia-maya-688148.html]

November 20, 2014

Bentrok TNI-Polri Di Batam: “Tatapan Menggoda Berujung Baku Tembak”

TNI & Polri (Gambar: RADARONLINE.CO.ID)

Oleh: Pietro T. M. Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI

Batam, Kepulauan Riau, kembali bergejolak. Hujan peluru menderas langit malam negeri Lancang Kuning (Rabu, 19 November 2014).

Bentrok TNI-Polri kembali berkecamuk hanya karena dipicu persoalan sepele. Saling tatap menggoda antara beberapa oknum aparat keamanan tersebut mengakibatkan perseteruan yang menyeret dua institusi yang sama-sama memiliki angakatan bersenjata. Pandang bertemu pandang mengusik rindu dendam yang terpendam. Hujan peluru pun berkecamuk mengusik ketenangan rakyat sipil di jalan Trans Barelang-Trembesi, Batam. Oknum aparat diketahui berasal dari Yonif 134/Tuah Sakti dan Satuan Brimob Polda Kepri.

Sebelumnya, masih lekat dalam ingatan kita beberapa waktu yang lalu yang juga terjadi di negeri tetangga Singapore ini (21 September 2014), telah terjadi ketegangan di antara institusi TNI dan Polri sebagai akibat dari jatuhnya 4 korban luka dari pihak TNI AD yang tertembak oleh senjata aparat kepolisian. Bermula dari penggerebekan oleh aparat kepolisian terhadap gudang penyimpanan bahan bakar minyak illegal oleh oknum pengusaha setempat. Dari hasil penyelidikan tim investigasi gabungan bentukan TNI-Polri, Kapuspen TNI Mayjen Fuad Basya mengatakan bahwa ada anggota Yonif 134 yang menjadi tenaga pengamanan tempat penimbunan BBM tersebut (MERDEKA.COM).   

Bentrokan yang terjadi (Rabu, 19/11/2014) akibat lirikan mata ini mengakibatkan 1 anggota Yonif 134/Tuah Sakti tewas dalam baku tembak kontra Brimob Polda Kepri. Anggota TNI yang tertembak dan yang belum diketahui identitasnya ini tewas sesaat setelah dirawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Embung Fatimah. Korban diduga mengalami pendarahan hebat akibat tertembak di bagian dada dan pundak. Sementara itu, informasi terbaru menyebutkan, masih ada seorang anggota TNI Yonif 134 lainnya yang ikut dilarikan ke RSUD Embung Fatimah dengan ambilans Yonis 134. Anggota TNI tersebut mengalami luka-luka (JPNN.COM).

Pantauan melalui MetroTV semalam menunjukkan arogansi aparat keamanan yang tidak memikirkan keteriban dan ketenangan umum. Adu tembak berlangsung di tengah hiruk pikuk aktifitas masyarakat yang sedang bergelut dengan kehidupan. Suasana mencekam dipertontonkan di hadapan publik. Adu kuat dua institusi yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat menjadi teror yang menakutkan. Jika kejadian seperti ini selalu saja terjadi, kemana/kepada siapa lagi rakyat harus mencari perlindungan? Apakah rakyat pantas meminta perlindungan kepada mereka yang hanya bisa membuat onar dan teror?

Bentrok TNI-Polri telah menjadi fenomena biasa di negeri semenjak Reformasi 1998, yakni sejak diberlakukan pemisahan fungsi dan tugas kedua institusi tersebut. “Ada apa sebenarnya dengan kedua lembaga ini?” Ini menjadi pertanyaan yang tak terjawab untuk sekian lama tahun sejak memasuki Orde Reformasi. Secara umum peran dan tugas TNI dan Polri sebagai berikut: TNI menjaga keamanan dan pertahanan negara, dan Polri lebih ke memberikan pelayanan masyarakat (DATABASEKONTEN.COM).

“Lalu kenapa selalu saja terjadi gesekan di antara kedua lembaga ini?”

Berikut ini adalah liputan KOMPAS.COM (9 Mei 2012): TNI dan Polri Mutlak Berubah
“Upaya menekan arogansi TNI dan Polri mutlak dilakukan dengan perubahan mendasar di tubuh kedua institusi itu. Masalah yang mengakar di kedua institusi itu harus diselesaikan secara tuntas untuk memastikan anggotanya benar-benar mengabdi kepada rakyat, bukan ”musuh” rakyat.

Menurut pengajar Universitas Pertahanan, Jakarta, Anton Aliabbas, pasca-pemisahan dari TNI, tidak terlihat perubahan mendasar yang dilakukan Polri, termasuk militerisme yang tidak dihilangkan. Polri tidak dibangun dengan wajah yang lebih humanis. ”Selama ini, penanganan oleh Polri sedikit banyak pengaruh militeristik, bukan mengedepankan bahwa polisi itu harus melayani,” kata Anton, Selasa (8/5/2012).

Sementara itu, upaya perubahan di TNI pun menghadapi kondisi tak kalah kompleks. TNI membawa beban masa lalu yang menempatkan mereka sebagai ”warga kelas satu”. ”Problem ini mau tidak mau kemudian memengaruhi arogansi,” lanjutnya.

Ia mencontohkan soal penggunaan senjata. Semestinya senjata hanya digunakan anggota yang bertugas. Tidak semua satuan di Polri perlu membawa senjata. Untuk TNI, aturannya mesti lebih ketat. Tidak ada senjata yang dibawa kalau anggotanya tidak menjalankan tugas operasi, tidak ada senjata yang dibawa pulang ke rumah.

”Kalau ada pelanggaran, tidak ada lagi sanksi yang hanya berupa etika atau disiplin. Semua harus dibawa ke pengadilan. Pelanggaran marak karena mereka merasa sanksinya ringan. Masa mukulin orang cuma sanksi etika atau disiplin?” ujar Anton.

Pengamat militer dari Universitas Indonesia, Edy Prasetiono, menilai, situasi keamanan yang gamang ini merupakan hasil dari minimnya kemampuan elite, yaitu pemerintah dan parlemen, dalam menganalisis dan membuat kebijakan keamanan. Analisis masalah tak sampai ke akarnya.

Edy menyatakan, sebenarnya sudah ada pembagian kewenangan jelas antara TNI dan Polri. TNI berfungsi untuk pertahanan internal dan eksternal. Polri bertanggung jawab dalam ketertiban masyarakat, yang demi tujuan ini melakukan penegakan hukum, pengayoman, dan perlindungan masyarakat.

Edy mengusulkan ada sistem perekrutan anggota Polri yang lebih ketat sehingga dihasilkan aparat profesional. Pengawasan yang selama ini dipegang Komisi Kepolisian Nasional harus lebih diperkuat. Untuk TNI harus diperbanyak pelatihan dan penyusunan sistem pengawasan yang ketat.

Arogansi aparat, kata Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia Benny Susetyo, menunjukkan dilupakannya fungsi dan tugas melindungi rakyat. Hal itu diperparah tak adanya pemimpin yang berwibawa.

Jika ada kemauan politik dan kewibawaan pemimpin, semestinya kedua lembaga itu bisa ditata. Nilai-nilai Sapta Marga dan Bhayangkara bisa dihayati dan menjadi aturan main di lembaga penegak hukum itu.

Namun, pengajar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Airlangga Surabaya, Radian Salman, menilai, sesungguhnya TNI dan Polri masih memahami fungsinya. Masalahnya, ujarnya, pendayagunaan untuk tugas-tugas mereka tidak maksimal. Ketika peran polisi di keamanan meluas, peran TNI tidak berkembang. Akibatnya, ada peluang bermain- main di lahan yang dulu menjadi bagian TNI itu. Rivalitas kedua lembaga semakin kuat.

Seharusnya, kata pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, kepolisian tidak ditempatkan di bawah presiden, tetapi di bawah kementerian. Dengan keberadaan langsung di bawah presiden, polisi rentan digunakan oleh kekuasaan. (FAJ/INA/EDN/DIK/IAM/ONG)

(http://regional.kompasiana.com/2014/11/20/bentrok-tni-polri-di-batam-tatapan-menggoda-berujung-baku-tembak-687623.html)