Kebaktian Malam Natal 24/12/2014 di Jemaat Gunung Sinai Naikolan (Dok. Pribadi) |
December 26, 2014
Salam Damai Natal Untuk Negeri & Penghuni Negeri
Oleh: Pietro T. M.
Netti
Terlebih dahulu saya ingin mengucapkan “Selamat merayakan
Natal 25 Desember 2014 bagi umat Kristiani di seluruh dunia dan di seluruh
pelosok negeri Indonesia! Kiranya Natal menbawa damai bagi negeri dan seluruh
penghuni negeri ini! Salam Damai Natal untuk kita semua!”
Di tengah-tengah kemeriahan perayaan Natal yang sedang
dirasakan oleh umat Kristiani saat ini, masih saja berkembang wacana boleh atau tidak mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Kristiani yang
merayakan. Di sana-sini muncul polemik/perdebatan yang berkepanjangan dari
tahun ke tahun. Tulisan singkat ini mungkin terlambat dimuat, karena mungkin
saja perdebatan-perdebatannya sudah lewat, dan mungkin akan muncul lagi di masa
yang sama (masa Natal) di tahun-tahun yang akan datang. Keterlambatan postingan ini semata-mata karena
kesibukan saya yang sangat padat dalam persiapan-persiapan Perayaan Adventus
(masa-masa penantian selama 4 minggu sebelum Natal) dan Perayaan Natal di
gereja.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada saudara-saudara
saya yang Muslim, sebenarnya polemik tentang boleh atau tidak boleh memberi
ucapan “Selamat Natal” tersebut datang dari sekelompok orang dan/atau
organisasi massa (ormas) Islam atau yang mengatasnamakan Islam. Dalam tulisan
ini, saya tidak bermaksud menilai boleh atau
tidak boleh memberi ucapan “Selamat
Natal” sebagai suatu hal yang salah atau
benar, karena menurut saya hal itu
adalah sah-sah saja, walaupun hati kecil saya cenderung mengatakan “apa salahnya memberi ucapan selamat kepada
saudara/sesama kita yang sedang bersukacita merayakan hari raya keagamaan
mereka khususnya umat Kristen yang merayakan Natal”.
Tentu ada alasan mendasar (landasan teologis) yang dianut
oleh orang/kelompok tertentu yang menganggap haram (??) dan secara tegas melarang umatnya dan/atau kelompoknya
untuk sekali-kali tidak memberi ucapan “selamat” khususnya memberi ucapan
“Selamat Natal”. Sebenarnya sejak awal munculnya perdebatan ini, saya
sedikitpun tidak ambil pusing (tidak
peduli), karena itu bukan urusan saya (It’s
none of my business). Jika “urusan anda”
menjadi “urusan saya”, bisa saja saya
dicap turut mencampuri urusan keyakinan/kepercayaan
dan bahkan urusan iman ajaran agama
lain yang memang “bukan urusan saya”.
Saya pun saat ini tidak sedang mengambil urusan anda menjadi urusan saya, sepenuhnya hal boleh
atau tidak boleh memberi ucapan
“Selamat Natal” masih menjadi urusan anda
(it’s totally your business). Hanya saja, kenapa ada orang/kelompok/ormas yang
juga muslim yang merasa boleh memberi
ucapan tersebut. Lagi-lagi hati kecil saya sangat mendukung
orang/kelompok ini. Kelompok ini sedang menunjukkan sikap kemanusiaan dan kebersamaan sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan
yang bermartabat, menjunjung tinggi nilai-nilai sosial dan budaya dalam sebuah peradaban.
Dan lagi, untuk konteks Indonesia yang ber-bhinneka ini, hati kecil saya merasa layak dan nyaman untuk hidup berdampingan
dengan orang/kelompok ini.
Sebelumnya ada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
santer terdengar mengharamkan pemberian ucapan “Selamat Natal” kepada umat
Nasrani. Padahal fatwa MUI yang sesungguhnya adalah tentang: “mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram dan agar
umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Swt dianjurkan
untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal.” (http://www.kabarislam.com/). Tentu di balik fatwa
MUI ini ada sejumlah alasan teologis yang patut/harus dihargai oleh pihak non
muslim khususnya umat Kristiani.
Namun berkaitan dengan memberi ucapan “Selamat Natal” kepada umat Kristen
yang merayakan, cendekiawan Prof. Dr. Sofjan Siregar, MA
berpendapat: “Mengucapkan selamat Natal oleh seorang muslim hukumnya mubah,
dibolehkan. Mengucapkan selamat Natal adalah bagian dari mu’amalah, non-ritual.
Pada prinsipnya semua tindakan non-ritual adalah dibolehkan, kecuali ada nash
ayat atau hadits yang melarang.” (http://www.kabarislam.com/).
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof DR. H. M
Din Syamsuddin MA, mengaku terbiasa mengucapkan selamat Natal kepada pemeluk
Kristen. “Saya tiap tahun memberi ucapan selamat Natal kepada teman-teman
Kristiani,” katanya tahun 2005. (http://www.kabarislam.com/).
Memang masih banyak pro dan kontra tentang permasalahan
ini, tapi melihat keber-bhinneka-an kita, mungkinkah ada rujukan lain yang
kiranya dapat menjaga/memelihara keharmonisan berbangsa dan bernegara? Sebagai pemeluk
Kristen, saya sangat menghargai dan mengapresiasi dua tokoh/cendekiawan Muslim
di atas yang memiliki sikap yang sangat mulia tersebut. Kiranya kedua tokoh
panutan tersebut menjadi teladan bagi segenap umat yang masih pro dan kontra.
Jika yang merasa bahwa dengan memberi ucapan “Selamat Natal” kepada umat Kristiani adalah sebuah
tindakan haram yang diduga kuat akan mendatangkan dosa, maka sebaiknya urungkan
saja niat tersebut. Tapi jika memberi
ucapan “Selamat Natal” sebagai wujud simpati, empati dan toleransi terhadap
sesama umat beragama, dan diyakini tidak mendatangkan dosa, maka lanjutkan.
Sebagai pihak yang merayakan Natal, saya sangat bersyukur kepada Tuhan yang
saya imani dan berterimakasih jika sesama saya baik umat Muslim maupun umat non
Kristen lainnya yang berkenan mengucapkan “Selamat
Natal” kepada saya.
KIranya tulisan ini tidak memberi reaksi negatif kepada
pembaca Kompasiana. Tulisan ini hanya
merupakan sebuah ungkapan hati secara pribadi sebagai Kristen. Ada harapan
besar yang ingin diraih sehubungan dengan hidup dalam kebersamaan, toleransi, kerukunan
dan keharmonisan antar umat beragama khususnya di Indonesia. Saya membayangkan
jika semua agama baik di dunia maupun di Indonesia sama-sama mengeluarkan
fatwa-fatwa yang sama dan sebangun,
maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi. “HOME ALONE is better than ALONE TOGETHER at home.”
Mengakhiri tulisan ini, sekali lagi saya ingin mengucapkan:
“Selamat merayakan Natal 25 Desember 2014 bagi umat Kristiani di seluruh dunia
dan di seluruh pelosok negeri Indonesia! Kiranya Natal menbawa damai bagi
negeri dan seluruh penghuni negeri ini! Salam Damai Natal untuk kita semua!
Amin!”
[http://sosbud.kompasiana.com/2014/12/26/salam-damai-natal-untuk-negeri-penghuni-negeri-693675.html]
December 3, 2014
Jayalah di Laut, Indonesiaku!
Monumen Jalesveva Jayamahe | Surabaya (Gambar: Skyscrapercity.com) |
Oleh: Pietro T. M.
Netti
Tuan Rumah RUMAH
IDE & KREASI
Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang memiliki perbandingan luas wilayah laut dan
daratan sebesar 70% : 30%. Luas keseluruhan wilayah Indonesia didominasi oleh
2/3 wilayah laut dan hanya 1/3 wilayah daratan. Di samping itu, letak geografis
Indonesia pun sangat strategis, terletak di antara dua buah benua (Benua Asia
dan Benua Australia) dan dua buah samudera (Samudera Hindia dan Samudera
Pasifik).
Laut menjadi fokus perhatian pemerintah saat ini di bawah
kepemimpinan Presiden Ir. Joko Widodo. Menurut Presiden RI ke-7 ini, selama ini
kita selalu “memunggungi laut”, dan
tidak pernah menatap dan memanfaatkan potensi laut secara optimal untuk
kemakmuran rakyat. “Jalesveva Jayamahe”
(Di Lautan Kita Jaya) hanya menjadi
sebuah slogan kosong tanpa implementasi nyata bagi rakyat. Kini tiba saatnya
menjadikan laut sebagai sumber daya yang terlupakan selama ini untuk kejayaan
bangsa dan negara Indonesia.
Begitu pula dengan letak geografis Indonesia yang sangat
strategis ini akan dan bahkan telah menyita perhatian bangsa-bangsa lain di
dunia ini. Dengan demikian, sadar atau tidak, Indonesia sudah pasti menjadi
begian penting bagi perekonomian dunia. Apalagi saat ini Asia Pasifik telah
menjadi destinasi perekonomian dunia. Program pemerintah di bawah pemerintahan
Jokowi yang menitikberatkan pada pemberdayaan kelautan dan kemaritiman patut disambut positif dan optimistis oleh
seluruh komponen bangsa. Visi dan misi Jokowi yang sangat melekat dalam
ingatan kita adalah pembangunan “Tol
Laut” di Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai “Pusat Maritim Dunia”.
Pembangunan “Tol
Laut” dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan wilayah yang
dapat menjangkau ke seluruh pelosok nusantara. Sedangkan merealisasikan
Indonesia sebagai “Pusat Maritim Dunia”
menjadi hal mutlak untuk menjawab era perekonomian modern masa kini dan masa-masa
yang akan datang, yang sudah tentu akan berdampak positif pada kesejahteraan,
kemakmuran dan kemajuan bangsa Indonesia ke depannya.
Untuk menunjang terlaksananya visi dan misi tersebut,
Jokowi membentuk Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan menunjuk
Indroyono Soesilo sebagai menterinya. Langkah kerja awal telah dilaksanakan oleh pemerintah melalui Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) yang di komandani oleh Susi Pudjiatuti dengan
melakukan gebrakan operasi laut
secara besar-besaran. Hasilnya, puluhan perahu/kapal nelayan asal Malaysia
ditangkap saat sedang “mencuri” di
perairan Indonesia, dan penahanan sejumlah manusia perahu yang tidak jelas
kewarganegaraannya. Penangkapan dan
wacana pemusnahan/penenggelaman sejumlah perahu/kapal
maling asal Malaysia ini mendapat tanggapan positif dari berbagai kalangan
dan rakyat Indonesia.
Presiden Jokowi pun secara tegas menginstruksikan untuk
tidak mentoleransi kapal-kapal asing yang mencuri di perairan Indonesia. Jokowi
memerintahkan agar kapal asing yang kedapatan mencuri ikan tersebut lebih baik
langsung ditenggelamkan saja (republika.co.id). Sikap tegas Presiden ini
mendapat tanggapan reaktif dari sebuah media lokal di Malaysia (Utusan Malaysia) yang langsung mencap
Jokowi sebagai proxy (boneka atau kepanjangan tangan) Amerika
Serikat dengan sejumlah alasan-alasan subyektif. Dan lucunya lagi, Utusan Malaysia ini berusaha membangun opini untuk mengadudomba rakyat Indonesia dengan
Presiden Jokowi atas kebijakan-kebijakan menaikkan harga BBM dan lain-lain. Dan
lebih lucunya lagi, media ini malah cenderung ingin mencampuri urusan dalam
negeri Indonesia (“Ha3x..lucu!”).
“Go to hell, Utusan
Malaysia!”
Untuk merealisasikan semboyan “Jaleveva Jayamahe”, memang perlu kerja extra keras dari pihak pemerintah Indonesia beserta jajarannya.
Indonesia yang kaya akan potensi kelautan dan kemaritimannya perlu mendapat prioritas
pemerintah dalam hal pengamanan wilayah laut oleh aparat keamanan dari
pencurian dan penangkapan ikan ilegal (illegal
fishing) oleh nelayan-nelayan asing yang sangat merugikan negara.
Sekretaris Kabinet, Andi Widjajanto, mengungkapkan bahwa illegal fishing yang marak terjadi di perairan Indonesia ini
menyebabkan kerugian negara sebesar US$ 25 miliar atau sekitar Rp. 300 triliun
per tahun. Di samping mencegah adanya ilegel
fishing oleh pihak-pihak asing, pengamanan wilayah laut Indonesia juga merupakan
wujud dari menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Prioritas pemerintah berikutnya adalah memanfaatkan potensi
dan sumber daya kelautan dan kemaritiman kita untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat Indonesia. Pemerintah pun dapat memfasilitasi para nelayan Indonesia
(khususnya nelayan tradisional) dengan teknologi penangkapan ikan yang modern,
ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable),
sehingga dapat meningkatkan taraf hidup nelayan menjadi lebih baik dan lebih
baik ke depannya.
Prioritas berikut yang sama pentingnya adalah sebagaimana
yang disebut-sebut oleh Jokowi yakni membangun dan memperbaiki infrastruktur kelautan
yang dapat menunjang akses dari pulau yang satu ke pulau yang lain. Infrastruktur
kelautan yang sudah ada perlu dilakukan pemeliharaan dan ditingkatkan kualitas
dan kapasitasnya. Pembangunan infrastrukur kelautan yang dimaksudkan antara
lain: pembangunan dermaga, pelabuhan, perbaikan dan pengadaan kapal-kapal
nelayan, angkutan dan transportasi laut, dan sebagainya.
Dengan demikian maka pembangunan infrastruktur kelautan
ini, di samping menjadi akses dari pulau ke pulau, juga bisa berperan menunjang
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan wilayah yang lebih baik dan merata di
seluruh wilayah Indonesia. Demikian pula pembangunan infrastruktur kelautan
dapat memicu/merangsang tumbuhnya sektor-sektor perekonomian baru dan
berkembangnya sektor-sektor perekonomian yang sudah ada. Dan manfaat lain sebagai
dampak ikutan dari pembangunan infrastruktur kelautan di Indonesia sebagai negara
kepulauan ini adalah sebagai alat pemersatu bangsa.
Akhirnya, semoga pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan
Presiden Ir. Joko Widodo dapat merealisasikan visi dan misi-nya yang
berhubungan pemanfaatan kekayaan laut dan sumber daya laut dan maritim, dan
pembangunan “Tol Laut” untuk
kesejahteraan, kemakmuran dan kejayaan seluruh rakyat Indonesia.
“Jalesveva Jayamahe:
Di Laut Kita Jaya!”
November 29, 2014
Panggung Rising Star Indonesia Gagal “Ber-endang-endut”.
Rising Star Indonesia di RCTI (Gambar: rcti.tv) |
Oleh: Pietro T. M.
Netti
Tuan Rumah RUMAH IDE & KREASI
Rising Star Indonesia
(Only Star Will Rise!) di RCTI, Jumat 28 November 2014,
memasuki babak Lucky Seven yang mengusung
tema “Dangdut & Melayu”. Para peserta akan diuji kebolehannya untuk unjuk gigi dalam menyanyikan lagu-lagu
Dangdut dan/atau Melayu. Sayangnya, Panggung Rising Star kali ini yang
seharusnya dihiasi “cengkok & aksi
joget” ini tidak berlangsung sesuai dengan
tema yang diusung.
Panggung Rising Star Indonesia
kali ini menyisakan 7 peserta yang saling beradu kebolehan bernyanyi untuk
merebut The Best Six pada Jumat depan
(5/12/2014). Acara yang berlangsung kurang lebih 3 jam ini menghadirkan expert Bebi Romeo (Penyanyi/Producer),
Kevin “Vierra”, Ayu Tingting (Penyanyi Dangdut), dan Ahmad Dhani (Producer).
Ketujuh peserta yang bertarung adalah Reyna Qontrunnada, Hanin Dhiya, Sonny
Saragih, Indah Nevertari, Ghaitsa, Evony Arty, dan Bluesmates.
Tantangan panggung Rising
Star kali ini yang menghadirkan tema “Dangdut & Melayu” tidak mampu
dijawab oleh sebagian besar peserta Lucky
Seven ini. Lagu-lagu yang dipilih oleh para lucky 7 keseluruhannya adalah lagu Dangdut dan Melayu, tapi
lagu-lagu tersebut dibawakan dengan cara yang sama sekali tidak bernuansa Dangdut dan Melayu. Kelihatan
sekali para peserta tidak mau(?), atau tidak mampu(?), atau tidak berani(?)
bernyanyi dalam genre musik Dangdut dan
Melayu.
Tema Dangdut dan Melayu, menurut hemat saya gagal
terlaksana di malam Lucky 7 ini.
Panggung Rising Star Indonesia gagal
menghadirkan tontonan yang seharusnya, menurut Ahmad Dhani, mengusung tema Tribue to dangdut tersebut. Sebagian
besar peserta menyanyikan lagu-lagu dangdut/Melayu dalam arransemen yang tidak berbeda
dengan lagu-lagu ber-genre jazz. Panggung
yang seharusnya Tribute to Dangdut/Melayu
menjadi panggung Jazz Night.
Sebenarnya, jika kita melihat secara kesuluruhan, aksi-aksi
yang ditunjukkan oleh para peserta sangatlah luar biasa. Tidak ada yang salah
dengan mereka. Aksi-aksi yang ditunjukkan pun sangat memukau. Ketujuh peserta
tersebut telah menunjukkan kualitas vokal/bernyanyi yang sangat tinggi.
Masing-masing peserta telah menampilkan keunikan dan ciri khas bernyanyi yang
berbeda satu dengan yang lainnya. Keunikan dan ciri khas mereka patut diacungi
jempol.
Bebi Romeo dalam penilaiannya sering mengatakan bahwa melihat
dari bakat/talenta luar biasa dari masing-masing peserta, peserta-peserta ini memang
terlahir untuk bernyanyi (born to sing)
yakni terlahir dengan suara yang bagus sebagai anugerah dari Tuhan. Ada pula
penyanyi yang memiliki vokal yang ber-citarasa
internasional. Dan itu semua patut dibanggakan, mengingat usia para peserta
yang masih belia, yang masih memiliki perjalanan karir yang panjang ke depannya.
“Namun, kenapa pada malam tribute to dangdut (istilah Dhani) ini, para peserta tidak
bernyanyi dangdut atau bernyanyi Melayu?” Pertanyaan ini muncul bukan karena
saya sangat fanatik dengan musik/lagu dangdut atau Melayu, tetapi lebih kepada
kenapa para peserta tidak berani mengeksplorasi kemampuan mereka untuk
bernyanyi dangdut atau Melayu di ajang spektakuler ini.
Para peserta memang menampilkan sesuatu yang berbeda,
tetapi sesungguhnya melenceng dari tantangan/tema yang diusung pada pertunjukan
malam itu. Melihat aksi para kontestan yang tidak sepenuhnya bernyanyi
dangdut/Melayu, Ahmad Dhani pun sempat mengatakan bahwa bernyanyi dangdut bukan
hal yang mudah. Ketika diperhadapkan dengan lagu dangdut/Melayu, para peserta jangan
berpikir “mau atau tidak mau” bernyanyi dangdut/Melayu,
tetapi “bisa atau tidak bisa”.
Menurut saya, sebenarnya seorang penyanyi yang born to sing harus mau dan bisa menyanyikan
lagu apa saja dan/atau menerima tantangan apa saja yang disodorkan. Saya yakin
sesusah-susahnya dangdut/Melayu pasti bisa dibawakan oleh para kontestan ini. Sebenarnya
ada misunderstanding dari para
kontestan dalam menyikapi tantangan untuk bernyanyi dangdut dan Melayu.
Lagu-lagu tersebut memang harus dibawakan sesuai karakter bernyanyi masing-masing
peserta, tetapi bukan berarti harus merubah genre
lagu-lagu tersebut.
Arransemen musik yang dinakodai Bang Onny (kalau tidak salah) tidak menampilkan kekhasan dari genre dangdut/Melayu. Arransemen musik hanya
mengikuti arransemen vokal dari masing-masing peserta, demikian yang dikatakan
oleh Hanin Dhiya (peserta Rising Star
RCTI termuda berusia 13 tahun). Mau dikatakan salah pun tidak, karena memang arransemen musik harus disesuaikan
dengan cara bernyanyi dari masing-masing peserta. Dengan demikian maka dapat
dikatakan bahwa pada babak Lucky Seven kali
ini, peserta Rising Star Indonesia-lah
yang tidak mau dan/atau tidak berani (bukan tidak bisa) mengeksplorasi kemampuan mereka untuk menjawab
tantangan panggung Rising Star Indonesia
yang seharusnya “bercengkok” dan “berjoget” ria.
Dari tujuh peserta, hanya satu peserta, Indah Nevertari, yang
menurut saya berani mengeksplorasi kemampuan olah vokalnya serta dapat menyuguhkan
aksi brilian yang sekaligus menghentak panggung spektakuler Rising Star Indonesia. Nirmala, sebuah lagu Melayu yang sangat terkenal
di Malaysia dibawakan dengan sangat sempurna dengan menghadirkan teknik olah
vokal, ciri khas bernyanyi dan aksi panggung seorang Nevertari yang memang sangat mendukung tema panggung Rising Star Indonesia yang sesungguhnya:
“Tribute to Dangdut/Melayu”.
Kontestasi panggung Rising
Star Indonesia akhirnya menyisakan 6 kontestan yakni: Reyna Qontrunnada, Hanin
Dhiya, Indah Nevertari, Ghaitsa, Evony Arty, dan Bluesmates, yang akan
bertarung pada babak The Best Six
minggu depan (5/12/2014). Sonny Saragih (peserta berusia 15 tahun) harus puas
berada di posisi tujuh besar, dan harus
meninggalkan teman-teman seperjuangannya yang juga sekaligus sebagai competitor di ajang Rising Star Indonesia. Sonny
yang sejak awal telah menduduki kursi
panas tidak mampu bersaing dengan Bluesmates,
Band Blues asal Surabaya, dalam pengumpulan dan perolehan prosentasi penilaian
tertinggi.
Rising Star
Indonesia: Only Star Will Rise!
[http://hiburan.kompasiana.com/musik/2014/11/29/panggung-rising-star-indonesia-gagal-ber-endang-endut-689346.html]
KPK Menjemput “Bola Pertama” Di NTT
Marthen Dira Tome (Gambar: Pos Kupang) |
Oleh: Pietro T. M.
Netti
Tuan Rumah RUMAH
IDE & KREASI
Senin, 17 November 2014, suasana Dinas Pendidikan Dan
Kebudayaan Propinsi Nusa Tenggara Timur di Jl. Jend. Soeharto, depan kampus
Universitas Nusa Cendana lama, dikejutkan dengan kedatangan sejumlah aparat
berseragam Brimob Polda Nusa Tenggara Timur dengan bersenjata lengkap. Kedatangan
anggota Brimob secara mendadak ini sempat membuat panik para pegawai di dinas
setempat yang baru saja melaksanakan apel pagi (Apel Kesadaran tiap tanggal
17).
“Mungkinkah ada kasus tindak kejahatan/kriminal yang sedang
terjadi? Atau mungkinkah ada teror yang dilancarkan oleh orang tidak dikenal
yang mengancam keselamatan kantor dan karyawan?”
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka di benak
pegawai-pegawai saat itu. Suasana baru sedikit mencair ketika di antara kurang
lebih sepuluh personil Brimob tersebut terdapat pula aparat penegak hukum
lainnya yang mengenakan rompi yang bertuliskan
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Walaupun demikian, suasana tetap
menegangkan, karena kehadiran para aparat penegak hukum ini (KPK) tidak
disangka-sangka sebelumnya oleh para karyawan.
“Kami tidak menyangka sama sekali KPK akan datang! Tidak
ada pengumuman atau pemberitahuan sebelumnya!”, ungkap beberapa karyawan.
Kehadiran KPK di Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi
NTT terkait dengan penyelidikan kasus tindak pidana korupsi dana Pendidikan
Luar Sekolah (PLS) tahun 2007. Kasus korupsi ini melibatkan Bupati Sabu Raijua,
Marthen Dira Tome, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Bidang PLS. Status
orang nomor satu di Kabupaten Sabu Raijua telah ditetapkan sebagai tersangka
oleh KPK, setelah sekian lama terkatung-katung di Kejaksaan Tinggi NTT.
Menurut Juru Bicara KPK, Johan Budi, dalam pengelolaan dana
PLS ditemukan penyaluran dana yang tidak sesuai peruntukkannya yang menyebabkan
kerugian negara sebesar Rp. 77 miliar (Pos Kupang).
Penetapan status tersangka kepada Marthen oleh KPK ini
menjadi sorotan tersendiri bagi masyarakat NTT pada umumnya, mengingat NTT
adalah salah satu Propinsi yang belum pernah dijamah oleh KPK sebelumnya. Dari sekian banyak kasus korupsi di
Indonesia yang ditangani, dan sekian banyak tersangka koruptor yang ditetapkan oleh
KPK, belum ada satupun kasus korupsi di NTT yang ditangani oleh KPK. Begitu
pula dengan belum adanya satu pun tersangka koruptor di NTT yang ditetapkan
oleh KPK.
Memang telah banyak tersangka kasus korupsi yang sudah
ditangani oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan dan dijebloskan ke dalam penjara,
tapi tingkat kepuasan masyarakat belum sepenuhnya terobati jika bukan KPK yang
menanganinya langsung. Mengingat pula pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi
ini memang untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.
“Para koruptor seharusnya digilas sendiri oleh KPK!”, demikian harapan masyarakat NTT.
Saat ini masyarakat NTT mulai melihat titik terang
pemberantasan korupsi di NTT, walaupun masih banyak kasus yang diduga
menyelewengkan uang negara ini belum sepenuhnya tersentuh oleh KPK. “Bola pertama” telah dijemput KPK, dan
kiranya KPK akan terus menjemput “bola-bola”
berikutnya yang masih bebas “menggelinding”
di tanah Flobamora (Flores,
Sumba, Timor, Alor) baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten/kota.
[http://regional.kompasiana.com/2014/11/28/kpk-menjemput-bola-pertama-di-ntt-689030.html]
[http://regional.kompasiana.com/2014/11/28/kpk-menjemput-bola-pertama-di-ntt-689030.html]
November 28, 2014
“Tamatan Malaysia” Rata-Rata Sakit Jiwa
Tuan Rumah RUMAH
IDE & KREASI
Ada fenomena unik yang saya jumpai sendiri saat saya
berkesempatan menetap dan bekerja selama beberapa saat di Pulau Batam dan Pulau
Bintan di tahun 2000 silam. Dimana-mana di kedua pulau ini terdapat cukup
banyak orang yang oleh warga setempat biasa dijuluki sebagai “Tamatan/Lulusan/Alumni Malaysia”.
Jika dilihat dari kehidupan para “alumnus” ini memang sangat memprihatinkan, tetapi begitulah
kenyataan yang terjadi. Mereka adalah sosok-sosok yang tidak jelas atau lebih
tepatnya tidak diketahui asal-usul dan latar belakang identitas, keluarga dan
kewarganegaraannya. Teman-teman saya mengatakan bahwa para alumnus ini ada yang berasal dari Vietnam, Philipine, India, negara-negara
tetangga lainnya di Asia Tenggara dan Asia, dan juga sebagian lagi berasal dari
Indonesia sendiri yang tidak bisa kembali ke kampung halamannya masing-masing.
Para lulusan Malaysia ini menghabiskan hidup
keseharian mereka di jalan-jalan, di emperan-emperan toko, tapi tanpa meminta
dan mengharapkan belas kasihan orang-orang di sekelilingnya. Ya, mereka hidup
dengan cara mereka sendiri tanpa berniat membebani orang lain. Mereka bukan preman yang hidup dengan mengandalkan
kekerasan dan/atau pemerasan. Mereka juga bukan gelandangan dan pengemis
yang mengulurkan tangan untuk sekeping/dua keping rupiah walaupun banyak orang
yang turut merasa berbelas kasihan dan iba kepada mereka. Mereka juga bukan pelaku kriminal atau bahkan teroris walaupun kadang suka membuat
onar dan menebar teror.
Mereka adalah para “Tamatan/lulusan/alumni
Malaysia” (istilah yang dilekatkan pada diri mereka). Ya, para tamatan/lulusan/alumni ini adalah mantan
pekerja keras di negeri Jiran Malaysia yakni para mantan tenaga kerja yang akhirnya
dideportasi keluar dari Malaysia. Yang aneh dari para mantan tenaga kerja ini adalah bahwa mereka
semua mengalami gangguan jiwa akut alias
tidak waras atau gila. Ada cerita yang berkembang bahwa sebagian besar dari
mereka sebelumnya adalah tenaga kerja illegal yang ditangkap dan telah
menjalani masa hukuman di Malaysia dan kemudian dideportasi. Rata-rata mereka
memiliki bekas luka cambuk di bagian punggung, dan anehnya rata-rata dari
mereka menjadi berangsur-angsur tidak waras setelah dideportasi.
Telah menjadi pengetahuan umum bahwa pemerintah kerajaan Malaysia
hingga saat ini memberlakukan hukum cambuk (sesuai Hukum Syariat) kepada setiap pelanggar hukum di negeri
Jiran ini. Bekas cambukan di tubuh mereka akan menjadi kenang-kenangan abadi
bagi mereka yang pernah melakukan tindak kriminal. Yang belum menjadi
pengetahuan umum bagi kita adalah: “Kenapa sebagian besar mantan tenaga kerja termasuk
Tenaga Kerja Indonesia dan/atau Tenaga Kerja Wanita (TKI/TKW) yang pernah
bekerja di negeri serumpun ini selalu
menderita sakit jiwa/tidak waras/gila setelah
dideportasi atau setelah pulang kampung?”
Selama berdomisili di Batam (3 bulan) dan di Bintan (9
bulan), saya sempat mendapatkan informasi-informasi dari warga setempat yang
membuat trenyuh, karena
informasi-informasi tersebut sungguh tidak bisa diterima oleh akal sehat saya.
Entah benar atau tidak benar, itulah informasi yang saya dengar. “Setiap orang
gila yang ada di Batam/Bintan pastilah tamatan/lulusan/alumni
dari Malaysia!” demikian pendapat-pendapat warga di dua pulau di Kepulauan Riau
ini.
Semula saya berpikir jika para tamatan Malaysia ini kemungkinan besar mengalami stress
berkepanjangan sebagai akibat dari siksaan, hukuman dan pendeportasian yang
mereka alami yang akhirnya menyebabkan mereka mengalami gangguan jiwa. Dugaan
siksaan yang menimpa para tenaga kerja ini juga diakui oleh sebagian warga
sebagai salah satu pemicu terjadinya gangguan jiwa walau diakui sangat kecil
kemungkinannya. Saya juga berpikir jika para tamatan Malaysia ini, lagi-lagi, mengalami stress mengingat begitu
kerasnya kehidupan di Batam dan/atau di Bintan yang harus dijalani. Namun
dugaan saya tersebut langsung dibantah oleh sebagian besar warga masyarakat.
“Kalau alasannya stress tentang kerasnya kehidupan, kitapun pasti sudah gila
sejak lama!”
“Lantas apa yang sebenarnya terjadi dengan nasib para Wisudawan Malaysia tersebut?”
Melihat fenomena orang
gila yang tidak diketahui asal-usulnya ini yang juga adalah mantan tenaga
kerja di Malaysia ini, saya mendengar banyak sekali pendapat warga yang senada.
Saat ditanya: “Siapa orang-orang itu?”,
jawabannya selalu sama: “Tamatan dari
Malaysia!” Jika ditanya lagi: “Kenapa
mereka menjadi tidak waras atau gila?”, jawabannya singkat, padat dan jelas:
“Disuntik laah…!”
Sekali lagi, telah menjadi “pengetahuan umum” bahwa hukum di Malaysia masih memberlakukan Hukum Cambuk yang merupakan penerapan dari Hukum Islam/Hukum Syariat. Yang belum menjadi “pengetahuan umum” adalah: “Kenapa sebagian besar mantan tenaga
yang pernah bekerja di negeri serumpun
ini selalu menderita sakit jiwa/tidak
waras/gila?” Namun demikian, ada satu hal yang sudah menjadi “rahasia umum” bahwa negeri Jiran inipun
melaksanakan Hukum Suntik (istilah
sendiri) kepada tenaga kerja yang berkewarganegaraan asing(?). Walaupun Hukum Suntik ini mungkin saja bukan
termasuk dan/atau tidak dikenal dalam Hukum Syariat di Malaysia, namun banyak
pihak yang membicarakan tentang pemberlakuan Hukum Suntik ini di Malaysia.
Dikatakan bahwa hukum
suntik ini tidak serta-merta membuat korban langsung menjadi tidak waras/gila, tapi secara
berangsur-angsur suntikan maut tersebut
akan merusak sel/jaringan syaraf otak. Isu suntik
gila yang, katanya, diberlakukan oleh oknum aparat penegak hukum di
Malaysia kepada para tenaga kerja illegal yang kemudian akan dideportasi ini
dimaksudkan agar para tenaga kerja illegal ini tidak akan kembali lagi ke
Malaysia dengan status yang sama (illegal) untuk mengadu peruntungan mereka.
Dikatakan pula bahwa menurut aparat keamanan di Malaysia, “sekali illegal akan tetap illegal”. Setelah disuntik, mereka
dipastikan tidak akan kembali lagi ke Malaysia karena pastinya mereka akan mengalami
hilang ingatan setelah dideportasi.
Tentu pendapat-pendapat warga di pulau Batam dan Bintan ini
tidak harus ditelan bulat-bulat, bisa
saja “salah”, tapi bisa juga “benar”. Apapun bisa terjadi! Oleh sebab
itu, perlu ada investigasi dan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan salah-benar-nya pendapat/cerita yang
sudah berkembang luas di tengah masyarakat ini. Hal inipun perlu menjadi perhatian
serius Pemerintah Indonesia dalam hal ini pihak-pihak terkait/berwajib, dan/atau
Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli pada penegakan Hak Asasi Manusia
untuk menelusuri dan mengungkap fakta dan kebenarannya. Jika saja benar sesuai dengan tuturan masyarakat
di atas, maka kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan Malaysia ini sungguh sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Negara/kerajaan yang mengusung Syariat
Islam ini akan dikenal sebagai negara dan bangsa paling biadab di muka bumi ini (butuh
pendalaman dan pembuktian lebih lanjut).
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), Kupang, juga terdapat banyak
kasus serupa yang luput dari perhatian pemerintah maupun pemberitaan media.
Para korban yang akhirnya menderita gangguan
jiwa tersebut juga rata-rata adalah mantan tenaga kerja yang pernah bekerja
di Malaysia. Sebagaimana kita ketahui, NTT juga tercatat sebagai salah satu
penyumbang tenaga kerja terbesar di Indonesia untuk dipekerjakan di Malaysia
dan beberapa negara lainnya. Kasus human
trafficking pun marak terjadi di NTT.
Masih lekat dalam ingatan kita, kasus yang menimpa Nirmala Bonat, TKW asal Timor, yang mengalami penyiksaan di luar
perikemanusiaan oleh majikannya di Malaysia. Dan masih banyak lagi kasus yang
sama dialami oleh saudara/i kita yang berasal dari daerah lain di Indonesia.
Pihak keluarga hanya bisa pasrah menerima keadaan apa adanya dan tidak bisa
berbuat banyak karena tidak tahu harus mengadu kemana(?).
Saya juga sempat kaget membaca tulisan seorang Kompasianer (----) beberapa hari yang
lalu (24/11/2014), yang membeberkan data TKI di daerahnya, Jawa ----, yang
mengalami gangguan jiwa. Dalam tulisan tersebut tercatat TKI yang pernah
bekerja di Malaysia, 70% diantaranya mengalami gangguan jiwa saat kembali ke
daerah asalnya. Sebuah data yang sangat mencengangkan! (Lihat: ---) Dan tulisan
itu pun menginspirasi saya untuk menceritakan fakta-fakta yang berhubungan
dengan para TKI yang mengalami gangguan jiwa seusai bekerja di Malaysia. Ada benang merah di antara data di Jawa ---
tersebut dan fakta-fakta yang terjadi di berbagai pelosok negeri.
“Mungkinkah sekian
banyak kasus serupa (kasus gangguan jiwa) yang terjadi di berbagai pelosok
negeri ini yang menimpa para TKI kita hanya sebuah KEBETULAN belaka? Mungkinkah
KEBETULAN saja sama-sama pernah bekerja sebagai tenaga kerja di Malaysia, dan
saat kembali ke tanah air KEBETULAN pula sama-sama mengalami gangguan jiwa?”
Melihat kasus-kasus yang terjadi dan yang menimpa Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) dan/atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri,
khususnya, di Malaysia, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Tenaga Kerja perlu
memberikan jaminan keamanan yang pasti dan bantuan hukum yang memadai bagi
mereka. Dalam pemberitaan-pemberitaan, para TKI kita yang bekerja di luar
negeri sering mendapat perlakuan yang tidak bereprikemanusiaan dari
majikan-majikan mereka. Kasus hukum yang dialami dan tuntutan hukum yang
dikenakan kepada para TKI/TKW pun tidak adil, cenderung mengada-ada dan malah
terkesan semena-mena.
Lebih khusus lagi, Pemerintah dalam hal ini aparat
terkait/berwenang (entah apa itu namanya) perlu menganalisa penyebab gangguan
jiwa yang terjadi pada kebanyakan tenaga kerja kita yang rata-rata pernah
bekerja di Malaysia. Dan yang terakhir, bila perlu, Pemerintah bisa mengerahkan
Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mengusut dan/atau menelusuri isu Hukum Suntik atau Suntik Gila yang marak diperbincangkan tersebut.
Sekali lagi, mengakhiri tulisan ini, saya ingin menggarisbawahi
dan mempertegas kembali pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengusik hati dan
pikiran saya sekian lama sejak tahun 2000 silam. Pertanyaan-pertanyaan yang
mengusik ini kiranya bisa menjadi perhatian kita semua, khususnya bisa menjadi
perhatian serius dari Pemerintah Indonesia ke depannya dalam rangka melindungi
segenap bangsa Indonesia:
“Mungkinkah sekian
banyak kasus serupa (kasus gangguan jiwa) yang terjadi di berbagai pelosok
negeri ini yang menimpa para TKI kita hanya sebuah KEBETULAN belaka? Mungkinkah
KEBETULAN saja sama-sama pernah bekerja sebagai tenaga kerja di Malaysia, dan
saat kembali ke tanah air KEBETULAN pula sama-sama mengalami gangguan jiwa?”
“Only heaven knows!”
[http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/11/26/tamatan-malaysia-rata-rata-sakit-jiwa-688790.html]
[http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/11/26/tamatan-malaysia-rata-rata-sakit-jiwa-688790.html]
November 23, 2014
Tindak Pidana Pornografi Di Dunia Maya
Hukum & Undang-undang Pornografi (Gambar: Liputan6) |
Oleh: Pietro T. M.
Netti
Tuan Rumah RUMAH
IDE & KREASI
Pornografi di dunia maya tumbuh laksana jamur di musim
hujan, walaupun tidak sedikit situs/ website berisi pornografi yang sudah diblokir oleh pemerintah di era
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Nama yang kerap menjadi sorotan media
karena sibuk membredel situs-situs
berbahaya ini lewat kementeriannya adalah mantan Menteri Komunikasi dan
Informasi (Kominfo) Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Tifatul Sembiring.
Alasannya sudah pasti agar dapat melindungi rakyat
Indonesia supaya tidak terjerumus dalam konten-konten pornografi sebagaiamana
yang dicontohkan oleh salah satu mantan anggota dewan rekan separtainya, Arifinto. Sang anggota DPR RI asal PKS
tersebut tertangkap basah oleh kamera wartawan sedang asik menikmati adegan mesum
melalui gadget handphone-nya di dalam
ruang sidang DPR RI. Namun sahabat baik Tifatul ini membantah jika ia tidak
sedang asik menikmati, tetapi ia tidak sengaja membuka link yang dikirim oleh temannya (hehe…alasan…alasan..!). Dan kalau tidak
salah, di era Tifatul menjabat sebagai Menkominfo pulalah seluruh tayangan
televisi di-blur bagian-bagian yang “terpampang nyata” (pinjam Syahrini) demi
tidak mengumbar aurat yang mengundang
syahwat dan birahi.
Di dunia maya (dumay), tersedia begitu banyak
layanan/konten pornografi yang mudah diakses oleh siapa saja, kapan saja dan
dimana saja, sampai-sampai sang Menteri yang kerjanya memerangi situs-situs
haram inipun salah meng-klik alias tidak sengaja atau tidak berniat
meng-klik (katanya sih) dan tentu
saja tidak pula berniat menjadi follower
dari salah satu akun porno di twitter (hehe…senjata makan tuan atau tuan makan senjata nih?). Tayangan-tayangan
iklan yang berhubungan dengan pornografi pun tersebar luas dimana-mana lengkap
dengan ungkapan, gambar, animasi dan video yang fulgar. Iklan-iklan tersebut
menawarkan banyak hal yang berhubungan dangan dan/atau mengandung unsur
pornografi.
Di tengah pesatnya perkembangan media online saat ini, mau tidak
mau kita harus berhadapan (head to
head) dengan derasnya arus informasi yang datang di hadapan kita. Benar
kata pepatah “dunia tidak selebar daun
kelor” tapi cuma selebar layar monitor komputer, dan layar gadget Ipad/HP.
Seluruh informasi yang ada di bawah kolong langit ini dapat diakses bebas oleh siapapun
tanpa mengenal ruang dan waktu. Pertanyaan yang muncul: “Sudah siapkah kita
saat ini menyikapi derasnya arus informasi di media-media online dan menyaring
konten-konten informasi mana saja yang patut
atau tidak patut dan/atau layak atau tidak layak dikonsumsi?”
Sebagai pengguna internet (netizen), kita bebas menentukan kemana arah langkah kita
berselancar di dunia maya; menuju ke konten-konten positif atau ke
konten-konten negatif. Semua pilihan terserah pada kita sendiri yang
memutuskan. Dan hal lain yang sangat penting adalah kita juga diberi kebebasan
seluas-luasnya untuk mau atau tidak mau membentengi diri sendiri
dengan nilai-nilai (moral, etika, dan agama) agar bisa terhindar dan tidak
terjerumus pada pilihan-pilihan yang menyesatkan. Sekali lagi, semua terserah kita! (Lihat:
Wajarkah Iklan Dewasa Ditayang Di Kompasiana?)
Siapapun kita bisa menjadi netizen. Apalagi dengan maraknya media-media sosial yang
bermunculan, kita bebas bergabung dan berinteraksi. Kita dapat sebebas-bebasnya
memberikan pendapat, pandangan dan opini kita tentang apa saja yang sedang
terjadi. Kita pun bebas mengekspresikan diri melalui media-media ini baik dalam
kata-kata, gambar, animasi, audio maupun video. Hanya saja yang terjadi
belakangan ini adalah kebebasan berpendapat dan berekspresi yang kita miliki
disalahartikan dengan bebas (baca: sewenang-wenang) menyerang orang/pribadi
tertentu dengan tidak lagi mempedulikan tatanan nilai, moral, etika dan
religiusitas di dalam masyarakat beradab yang berketuhanan dan berperikemanusiaan.
Masih segar dalam ingatan kita kasus penyebaran gambar
porno oleh si pembantu tukang sate, Muhammad Arsyad, belum lama ini. Arsyad
dilaporkan ke polisi oleh politisi PDIP Hendri Yosoningrat pada 27 Juli 2014
atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran gambar pornografi Presiden
Jokowi. Pada Kamis, 23 Oktober 2014, ia ditangkap dan ditahan di
Bareskrim Polri.
Atas tindakannya, Arsyad dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 29 Juncto Pasal 4. Ayat 1 UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Pasal 310 dan 311 KUHP, Pasal 156 dan 157 KUHP, Pasal 27, 45, 32, 35, 36, 51 UU ITE.
Atas tindakannya, Arsyad dijerat pasal berlapis, yaitu Pasal 29 Juncto Pasal 4. Ayat 1 UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Pasal 310 dan 311 KUHP, Pasal 156 dan 157 KUHP, Pasal 27, 45, 32, 35, 36, 51 UU ITE.
Khusus tentang pornografi, berikut ini adalah ulasan
tentang undang-undang pornografi di dunia maya yang dikutip dari Hukum Online.
Ulasan berikut adalah sebuah jawaban oleh Shanti
Rachmadsyah, SH atas pertanyaan seputar Cyber Pornografi (Pornografi di
dunia maya).
Pertanyaan: Cyber pornography (pornografi dunia maya). “Selamat sore, saya mau bertanya, andaikata
ada permasalahan mengenai pornografi dunia maya (cyber pornography) misalnya,
website atau pun forum tertentu, undang-undang manakah yang akan berlaku,
apakah KUHP, UU Pornografi atau UU ITE? Apakah asas lex specialis derogat legi
generalis berlaku terhadap undang-undang tersebut (tiga UU yang dimaksud di
atas)? Atau apakah ada pertentangan atau konflik di antara ketiga UU tersebut?
(kalau ada, maka UU manakah yang dipergunakan?) Terima kasih sebelumnya.” EDUARDNONG
Jawaban: Pornografi
di dunia maya disebut dengan istilah cyber
pornography yang dapat diartikan sebagai penyebaran muatan pornografi melalui internet. Tindak pidana
pornografi di dunia maya dapat dijerat dengan pasal-pasal di dalam KUHP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana), UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik), dan Undang-undang Pornografi.
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
Memang dalam KUHP tidak dikenal istilah dan/atau kejahatan
pornography, tapi ada pasal yang dapat dikenakan terhadap perbuatan ini, yakni
pasal 282 KUHP:
“Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di
muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar
kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau
ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut,
memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau
memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan
mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa
diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau
pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah”
UU ITE (Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik)
Dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) pun tidak mengenal adanya istilah pornography,
tetapi muatan yang melanggar kesusilaan.
Penyebarluasan muatan yang melanggar
kesusilaan melalui internet diatur dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE mengenai
Perbuatan yang Dilarang, yaitu:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Pelanggaran terhadap pasal 27 ayat (1) UU ITE dipidana dengan
pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 milyar
(pasal 45 ayat [1] UU ITE).
UU Pornografi (Undang-undang Pornografi)
Undang-undang yang secara tegas mengatur mengenai
pornografi melalui internet adalah UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU
Pornografi). Pengertian pornografi menurut pasal 1 angka 1 UU Pornografi
adalah:
“… gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,
gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan
lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka
umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma
kesusilaan dalam masyarakat.”
Pelarangan penyebarluasan muatan pornografi, termasuk melalui di
internet, diatur dalam pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, yaitu;
“Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara
eksplisit memuat:
- persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
- kekerasan seksual;
- masturbasi atau onani;
- ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
- alat kelamin; atau
- pornografi anak.”
Pelanggaran pasal 4 ayat (1) UU Pornografi diancam pidana penjara
paling singkat enam bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling
sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar (pasal 29 UU
Pornografi).
Pasal 44 UU Pornografi menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang
ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau
berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
[http://hukum.kompasiana.com/2014/11/23/-tindak-pidana-pornografi-di-dunia-maya-688148.html]
[http://hukum.kompasiana.com/2014/11/23/-tindak-pidana-pornografi-di-dunia-maya-688148.html]
November 20, 2014
Bentrok TNI-Polri Di Batam: “Tatapan Menggoda Berujung Baku Tembak”
Tuan Rumah RUMAH
IDE & KREASI
Batam, Kepulauan Riau, kembali bergejolak. Hujan peluru
menderas langit malam negeri Lancang
Kuning (Rabu, 19 November 2014).
Bentrok TNI-Polri kembali berkecamuk hanya karena dipicu
persoalan sepele. Saling tatap menggoda
antara beberapa oknum aparat keamanan tersebut mengakibatkan perseteruan yang
menyeret dua institusi yang sama-sama memiliki angakatan bersenjata. Pandang
bertemu pandang mengusik rindu dendam yang terpendam. Hujan peluru pun
berkecamuk mengusik ketenangan rakyat sipil di jalan Trans Barelang-Trembesi,
Batam. Oknum aparat diketahui berasal dari Yonif 134/Tuah Sakti dan Satuan
Brimob Polda Kepri.
Sebelumnya, masih lekat dalam ingatan kita beberapa waktu
yang lalu yang juga terjadi di negeri tetangga Singapore ini (21 September
2014), telah terjadi ketegangan di antara institusi TNI dan Polri sebagai
akibat dari jatuhnya 4 korban luka dari pihak TNI AD yang tertembak oleh
senjata aparat kepolisian. Bermula dari penggerebekan oleh aparat kepolisian
terhadap gudang penyimpanan bahan bakar minyak illegal oleh oknum pengusaha
setempat. Dari hasil penyelidikan tim investigasi gabungan bentukan TNI-Polri,
Kapuspen TNI Mayjen Fuad Basya mengatakan bahwa ada anggota Yonif 134 yang
menjadi tenaga pengamanan tempat penimbunan BBM tersebut (MERDEKA.COM).
Bentrokan yang terjadi (Rabu, 19/11/2014) akibat lirikan mata ini mengakibatkan 1 anggota
Yonif 134/Tuah Sakti tewas dalam baku tembak kontra Brimob Polda Kepri. Anggota
TNI yang tertembak dan yang belum diketahui identitasnya ini tewas sesaat
setelah dirawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Embung Fatimah. Korban
diduga mengalami pendarahan hebat akibat tertembak di bagian dada dan pundak.
Sementara itu, informasi terbaru menyebutkan, masih ada seorang anggota TNI
Yonif 134 lainnya yang ikut dilarikan ke RSUD Embung Fatimah dengan ambilans
Yonis 134. Anggota TNI tersebut mengalami luka-luka (JPNN.COM).
Pantauan melalui MetroTV semalam menunjukkan arogansi aparat
keamanan yang tidak memikirkan keteriban dan ketenangan umum. Adu tembak
berlangsung di tengah hiruk pikuk aktifitas masyarakat yang sedang bergelut
dengan kehidupan. Suasana mencekam dipertontonkan di hadapan publik. Adu kuat
dua institusi yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat menjadi teror
yang menakutkan. Jika kejadian seperti ini selalu saja terjadi, kemana/kepada
siapa lagi rakyat harus mencari perlindungan? Apakah rakyat pantas meminta
perlindungan kepada mereka yang hanya bisa membuat onar dan teror?
Bentrok TNI-Polri telah menjadi fenomena biasa di negeri
semenjak Reformasi 1998, yakni sejak diberlakukan pemisahan fungsi dan tugas
kedua institusi tersebut. “Ada apa sebenarnya dengan kedua lembaga ini?” Ini
menjadi pertanyaan yang tak terjawab untuk sekian lama tahun sejak memasuki Orde
Reformasi. Secara umum peran dan tugas TNI dan Polri sebagai berikut: TNI
menjaga keamanan dan pertahanan negara, dan Polri lebih ke memberikan pelayanan
masyarakat (DATABASEKONTEN.COM).
“Lalu kenapa selalu saja terjadi gesekan di antara kedua
lembaga ini?”
Berikut ini adalah liputan KOMPAS.COM (9 Mei 2012): TNI dan
Polri Mutlak Berubah
“Upaya menekan arogansi TNI dan Polri
mutlak dilakukan dengan perubahan mendasar di tubuh kedua institusi itu. Masalah
yang mengakar di kedua institusi itu harus diselesaikan secara tuntas untuk
memastikan anggotanya benar-benar mengabdi kepada rakyat, bukan ”musuh” rakyat.
Menurut pengajar Universitas
Pertahanan, Jakarta, Anton Aliabbas, pasca-pemisahan dari TNI, tidak terlihat
perubahan mendasar yang dilakukan Polri, termasuk militerisme yang tidak
dihilangkan. Polri tidak dibangun dengan wajah yang lebih humanis. ”Selama ini,
penanganan oleh Polri sedikit banyak pengaruh militeristik, bukan mengedepankan
bahwa polisi itu harus melayani,” kata Anton, Selasa (8/5/2012).
Sementara itu, upaya perubahan di TNI
pun menghadapi kondisi tak kalah kompleks. TNI membawa beban masa lalu yang
menempatkan mereka sebagai ”warga kelas satu”. ”Problem ini mau tidak mau
kemudian memengaruhi arogansi,” lanjutnya.
Ia mencontohkan soal penggunaan
senjata. Semestinya senjata hanya digunakan anggota yang bertugas. Tidak semua
satuan di Polri perlu membawa senjata. Untuk TNI, aturannya mesti lebih ketat.
Tidak ada senjata yang dibawa kalau anggotanya tidak menjalankan tugas operasi,
tidak ada senjata yang dibawa pulang ke rumah.
”Kalau ada pelanggaran, tidak ada lagi
sanksi yang hanya berupa etika atau disiplin. Semua harus dibawa ke pengadilan.
Pelanggaran marak karena mereka merasa sanksinya ringan. Masa mukulin orang
cuma sanksi etika atau disiplin?” ujar Anton.
Pengamat militer dari Universitas
Indonesia, Edy Prasetiono, menilai, situasi keamanan yang gamang ini merupakan
hasil dari minimnya kemampuan elite, yaitu pemerintah dan parlemen, dalam
menganalisis dan membuat kebijakan keamanan. Analisis masalah tak sampai ke
akarnya.
Edy menyatakan, sebenarnya sudah ada
pembagian kewenangan jelas antara TNI dan Polri. TNI berfungsi untuk pertahanan
internal dan eksternal. Polri bertanggung jawab dalam ketertiban masyarakat,
yang demi tujuan ini melakukan penegakan hukum, pengayoman, dan perlindungan
masyarakat.
Edy mengusulkan ada sistem perekrutan
anggota Polri yang lebih ketat sehingga dihasilkan aparat profesional.
Pengawasan yang selama ini dipegang Komisi Kepolisian Nasional harus lebih
diperkuat. Untuk TNI harus diperbanyak pelatihan dan penyusunan sistem
pengawasan yang ketat.
Arogansi aparat, kata Sekretaris
Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja
Indonesia Benny Susetyo, menunjukkan dilupakannya fungsi dan tugas melindungi
rakyat. Hal itu diperparah tak adanya pemimpin yang berwibawa.
Jika ada kemauan politik dan
kewibawaan pemimpin, semestinya kedua lembaga itu bisa ditata. Nilai-nilai
Sapta Marga dan Bhayangkara bisa dihayati dan menjadi aturan main di lembaga
penegak hukum itu.
Namun, pengajar Ilmu Hukum Tata Negara
Universitas Airlangga Surabaya, Radian Salman, menilai, sesungguhnya TNI dan
Polri masih memahami fungsinya. Masalahnya, ujarnya, pendayagunaan untuk
tugas-tugas mereka tidak maksimal. Ketika peran polisi di keamanan meluas,
peran TNI tidak berkembang. Akibatnya, ada peluang bermain- main di lahan yang
dulu menjadi bagian TNI itu. Rivalitas kedua lembaga semakin kuat.
Seharusnya, kata pengamat kepolisian
Bambang Widodo Umar, kepolisian tidak ditempatkan di bawah presiden, tetapi di
bawah kementerian. Dengan keberadaan langsung di bawah presiden, polisi rentan
digunakan oleh kekuasaan. (FAJ/INA/EDN/DIK/IAM/ONG)”
(http://regional.kompasiana.com/2014/11/20/bentrok-tni-polri-di-batam-tatapan-menggoda-berujung-baku-tembak-687623.html)