October 21, 2014
Welcome, Mr. President of the Republic of Indonesia!
Oleh: Pietro T. M.
Netti
Tuan Rumah RUMAH
IDE & KREASI
Rakyat Indonesia telah melewati sebuah pesta demokrasi yang
sungguh memberikan kegembiraan politik
(istilah Jokowi) yang luar biasa. Tercatat dalam sejarah demokrasi di Indonesia
bahwa baru kali ini rakyat menunjukkan partisipasi politik yang sangat tinggi
dalam menentukan pilihan secara langsung kepada pemimpin yang betul-betul
diinginkan untuk menjadi “Nakhoda Kapal”
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) periode 2014-2019. “And The Ship’s Captain now is you, Mr.
President!”
Rakyat Indonesia sungguh-sungguh
merasakan kegembiraan yang luar biasa dalam memberikan haknya politiknya (hak
suara) tanpa tekanan dari pihak mana pun. Rakyat menjadi pribadi-pribadi
merdeka yang bebas menentukan pilihan
hati mereka tanpa bisa dipengaruhi oleh janji
manis, pencitraan, maupun intrik-intrik politik elit. Hati nurani
rakyat diuji dalam sebuah persaingan politik yang ketat untuk memilih dua tokoh
bangsa yang sama-sama berjuang merebut simpati rakyat atas nama memperjuangkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Hati Nurani rakyat (dalam tanda petik) ”diuji untuk memilih” siapa di antara kedua tokoh yang serius
memiliki keberpihakan penuh kepada rakyat. Persaingan dua calon yang digawangi
dua kubu koalisi (Merah Putih dan Indonesia Hebat) sempat menciptakan kasak-kusuk politik yang berpotensi
memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa. Kasak-kusuk politik yang cenderung
bersifat kekanak-kanakan tersebut muncul dari rekayasa sebagian elit melalui
hasutan dan provokasi yang tidak cerdas dan tidak mendidik. “Serangan”
dilancarkan secara bertubi-tubi melalui media-media cetak, elektronik, dan
media-media sosial di dunia maya yang sama sekali tidak memperlihatkan keadaban
nilai etika, budaya, bahkan nilai-nilai agama. Sebuah perilaku yang sangat
menistai dan bertolak belakang dengan keberimanan dan ketakwaan kita sebagai
umat yang mengaku beragama.
Tarik ulur kemenangan pada Pemilihan Presiden menjada
tontonan membosankan yang sesungguhnya adalah rekayasa elit yang tidak rela
menerima kekalahan. Kemenangan adalah harga mati yang harus direbut. Rakyat
yang sudah selesai dengan pilihannya hanya bisa diam dan merasa geli dengan
perilaku elit yang cengeng dan kekanak-kanakan tersebut. Semua jalur ditempuh dengan
dalil ingin memberikan pembelajaran politik kepada publik dengan hasil nihil. Sebenarnya semua jalur hukum yang
telah ditempuh akan menjadi pelajaran berharga bagi rakyat jika kubu yang kalah
tidak ngotot merasa diri menang,
sehingga terkesan hanya siap menang dan tidak siap kalah. Hal inilah yang
menjadi preseden buruk bagi rakyat. Rakyat menjadi muak, jijik dan mau muntah melihat sikap yang hanya mau
menang ‘doang’. Akhirnya semua
menjadi terang dan jelas bahwa ketok palu mahkamah konstitusi sejalan dengan
pilihan rakyat banyak. “Elit berkehendak,
rakyat yang menentukan!”
Sebagian besar rakyat Indonesia menunjukkan keberpihakan
mereka kepada sosok yang benar-benar mencerminkan wajah dan potret bangsa. Ya,
wajah bangsa yang mungkin saja masih bertampang ‘ndeso’, tidak tampan dan tidak gagah menurut standard sinetron
murahan yang sering ditayangkan di telivisi-televisi nasional. Harus diakui
bahwa wajah bangsa Indonesia saat ini belum setampan dan segagah yang
diharapkan. Bagaimana bisa tampan dan
gagah jika setiap saat rakyat masih
bergelut dengan kemiskinan, kesulitan-kesulitan hidup, kurangnya lapangan
kerja, biaya kesehatan dan pendidikan yang mahal? Bagaimana rakyat bisa
memiliki tubuh ideal alias tidak ‘kerempeng’ jika setiap saat rakyat
masih lapar, sakit-sakit dan tidak pernah mendapat asupan gizi yang memadai? Bukan
rahasia lagi kalau masih banyak rakyat Indonesia yang dalam usia kemerdekaan
ke-69 ini masih bertahan hidup dengan perut
kosong. 4 SEHAT 5 SEMPURNA hanyalah
tips sehat siluman yang bisa dirasakan
keberadaannya tapi tidak berwujud. 1
KENYANG 2 TERPAKSA menjadi menu andalan dan wajib yang juga tidak mudah
diperoleh.
Sebagian besar rakyat menjatuhkan pilihannya pada sosok
yang mau mendekatkan diri dekat
sedekat-dekatnya dengan rakyat. Rakyat sudah lama merindukan pemimpin yang
memiliki hati dan pikiran rakyat. Pemimpin tersebut adalah sosok yang rendah
hati, bersimpati dan berempati dengan nasib rakyat kecil yang selama ini hanya obyek
dan komoditas politik untuk kepentingan politisi di setiap musim politik. Walaupun
lapar dan sakit secara fisik, rakyat tetap memiliki hati nurani dan jiwa yang
sehat untuk mampu menerawang sosok yang bisa memimpin dengan hati untuk
mendatangkan perubahan, pembaharuan dan kemajuan yang lebih baik bagi negara
dan bangsa.
Sebenarnya rakyat tidak memiliki keinginan dan harapan yang
muluk-muluk. Rakyat mengharapkan pemimpin yang berkuasa melalui pemerintahannya
dapat membuka kesempatan kerja seluas-luasnya kepada rakyak. Lapangan pekerjaan
yang layak sudah tentu berdampak pada kemampuan pendapatan yang layak pula untuk
memenuhi kebutuhan dasar rakyat (pangan, sandang dan papan). Rakyat
mengharapkan kehadiran pemerintah untuk memberi jaminan keamanan agar rakyat
dapat bebas berkarya, berkreasi dan berekspresi. Rakyat pun sangat mendambakan
jaminan keadilan hukum, ekonomi, sosial dan politik dari pemerintah yang tidak
pandang bulu (bulu tipis disikat, bulu
lebat pun disikat).
Salah satu contoh yang mencolok dan sering menjadi tontonan
yang menyayat hati public adalah keadilan di bidang hukum yang cenderung berat
sebelah. Mata pedang hukum selalu saja tumpul
ke atas dan hanya tajam ke bawah sehingga cepat sekali menebas si kecil yang tidak berdaya, yang tidak berkuasa, yang tidak
berharta dan yang tidak bertahta/berkursi. “Setiap warga negara sama di depan
hukum” masih menjadi slogan kosong di tangan aparat penegak hukum. Penegakan
hukum harus bisa menjangkau semua kalangan, bukan kalangan rakyat kecil saja
yang menjadi obyek penghakiman/penindasan.
Keadilan ekonomi dan sosial pun perlu menjadi perhatian
serius dari pemerintah untuk memperkecil ketimpangan dan kesenjangan yang terlampau jauh antara si miskin dan si kaya.
Memperkecil ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial sama halnya dengan
meminimalisir kecemburuan di antara sesama anak bangsa yang memiliki hak dan
kewajiban yang sama sebagai warga negara. Di sini, lagi-lagi penegakan hukum
menjadi panglima tertinggi dalam mencegah dan menindak oknum-oknum yang suka “maling” (baca: mencuri) hak milik
rakyat. Hukuman semaksimalnya patut dijatuhkan kepada mereka yang tanpa
perikemanusiaan tega merampok apa
yang menjadi hak milik si miskin.
Secara pribadi, para oknum tersangka, terdakwa maupun
narapidana hasil tangkapan KPK lebih cocok disebut sebagai maling atau pencuri atau perampok yang hina menggantikan istilah koruptor yang cenderung membuat bangga para pelaku dan keluarganya.
Istilah koruptor, sebenarnya juga,
adalah sebuah istilah yang sama hinanya dengan maling/pencuri/perampok, tapi
sepertinya istilah koruptor ini telah
mengalami pergeseran makna yang artinya lebih terhormat dari kriminal biasa.
Begitu pula dengan istilah super ordinary
crime (kejahatan sangat luar biasa) yang juga cenderung masih membuat para
pelakunya senyam-senyum dan cengar-cengir tanpa dosa di hadapan
rakyat yang menderita. Istilah super
ordinary crime biarlah menjadi ordinary
crime (criminal biasa) saja, yang penting para koruptor-nya disebut berdasarkan esensi makna dari kata korupsi itu sendiri yaitu maling/pencuri/perampok. Jadi, sekali
kita menyebut nama-nama yang tersangkut kasus korupsi seperti Angelina Sondakh,
Nazaruddin, Andi Malarangeng, Anas Urbaningrum, dll, mereka adalah maling. Mereka adalah pencuri. Mereka adalah perampok. “Biar kapok…pok…pok!”
Keadilan politik pun patut menjadi perhatian pemerintah.
Selama ±
10 tahun rakyat telah diberikan hak dan partisipasi politik melalui proses
pemilihan langsung terhadap calon pemimpin sendiri baik nasional maupun daerah.
Kini, melalui paripurna DPR RI beberapa saat yang lalu, hak dan partisipasi
politik oleh rakyat, khususnya proses pemilihan
kepala daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota), telah dirampas kembali oleh
para legislator yang katanya mewakili rakyat. Bagaimana dikatakan sebagai mewakili suara rakyat, jika proses yang
berlangsung dalam paripurna tersebut sama sekali mengabaikan ‘keinginan’ rakyat? Sangat jelas terlihat
bahwa proses pengambilan keputusan yang dilakoni baru-baru ini hanya
mencerminkan persaingan kalah-menang
dari dua kubu koalisi (Merah Putih dan Indonesia Hebat) yang (dalam tanda
petik) saling “berseteru”. Bagaimana
proses tersebut bisa disebut sebagai keputusan yang mewakili rakyat? “Sungguh
miris melihat kekakuan angota dewan kita yang katanya terhormat itu!”
Hari ini, Senin, 20 Oktober 2014, rakyat Indonesia
lagi-lagi merasakan sebuah kegembiraan politik yang sangat luar biasa.
Partisipasi dari sebagian besar rakyat dari berbagai komunitas menyambut dan
merayakan pelantikan Ir. H. Joko Widodo dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Rakyat Indonesia sangat
bergembira dengan hadirnya sosok pemimpin baru yang dicintai oleh rakyat, sosok
pemimpin baru dambaan rakyat yang mencerminkan wajah dan jati diri bangsa, dan sosok
pemimpin baru yang akan memberikan harapan baru bagi kemajuan bangsa dan negara
tercinta.
Tercatat dengan tinta emas dalam lembaran sejarah bangsa
Indonesia bahwa rakyat begitu antusias menyambut kehadiran pemimpin baru yang
betul-betul diinginkan, dikehendaki, disukai dan dicintai oleh rakyat sendiri.
Pesta rakyat yang meriah memperlihatkan kegembiraan dan kebahagiaan rakyat yang
menaruh harapan besar untuk Indonesia yang lebih baik di pundak Jokowi-JK.
Memang riskan mengusung harapan yang
terlampau besar dan dipundakkan kepada
Jokowi-JK, tapi itulah wujud kepenasaranan plus
kegemasan rakyat akan perubahan Indonesia yang lebih baik dan lebih baik yang
tak kunjung dirasakan. Rakyat sudah tidak sabar menanti perubahan yang tak
kunjung tiba yang seharusnya bisa dicapai dalam kurun waktu yang tidak terlampau
lama. Rakyat sudah lama terkungkung dalam keterpurukan dan kegalauan yang
menyiksa, sedangkan pemerintah tidak berani (atau tidak mau?) move on. Partisipasi yang ditunjukkan
rakyat saat ini adalah gambaran kepenasaranan, kegemasan dan ketidaksabaran
yang dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Let’s
move on, Mr. President! We hate poverty! We hate being left behind!”
Seluruh rakyat Indonesia saat ini menaruh harapan besar
kepada pemimpin baru kita, Jokowi-JK, untuk dapat merubah wajah bangsa ini
menjadi lebih baik dan tidak “ndeso”.
Rakyat Indonesia yang sudah “kerempeng”
sekian lama sudah sangat mendambakan postur
tubuh ideal dan sudah tidak sabar untuk melangkah keluar dari garis dan
zona keterpurukan ekonomi; kemiskinan dan kemelaratan. Keinginan rakyat pun tidak muluk-muluk, yang
penting cukup makan dengan gizi yang cukup, cukup sandang, dan cukup papan.
Rakyat tidak membutuhkan makan yang berlebihan sehingga memiliki perut buncit six month seperti para koruptor. Rakyat
pun tidak mengharapkan postur tubuh six
pack ala binaragawan/wati. Rakyat hanya berharap tidak lapar, tidak miskin,
tidak sakit (kalau pun sakit rakyat bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang
murah dan memadai), tidak buta huruf, dan tidak menganggur.
Rakyat Indonesia saat ini seperti memperoleh optimisme, semangat
dan harapan baru di pundak Presiden dan Wakil Presiden kita yang baru. Rakyat
sudah sejak lama merindukan sosok pemimpin rakyat yang rendah hati,
mengerti keinginan dan kebutuhan rakyat
dan mau mengabdi untuk kepentingan rakyat. Rakyat sudah bosan dengan janji-janji muluk yang sulit direalisasikan
(to good to be true); lain di bibir lain di hati. Sebagai
pemimpin baru, Jokowi-JK tentunya bisa memenuhi optimisme, semangat dan
harapan-harapan rakyat untuk menatap dan merasakan masa depan yang lebih baik.
Rakyat sedang ber-harap-harap gemas
menantikan kemajuan di berbagai segi kehidupan, kesejahteraan rakyat dan
kemakmuran di negeri ini.
Selamat dan sukses atas pelantikan Ir. H. Joko Widodo
sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7 dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla
sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia! Saatnya Indonesia melangkah maju
dalam optimisme, semangat dan harapan baru. Rakyat menatap optimisme, semangat
dan harapan baru tersebut di wajah Jokowi-JK. Sebagaimana kata Mohammad Hatta
(Wakil Presiden pertama Indonesia) bahwa “Aku ingin membangun negeri ini dimana
seluruh rakyat turut merasa bahagia!”, maka kini pun rakyat Indonesia ingin
merasa bahagia di bawah kepemimpinan Jokowi-JK sebagai penentu Langkah Baru Indonesia.
“Semoga Jokowi-JK
tetap memegang teguh dan melaksanakan amanat rakyat, menyentuh hati dan jantung
rakyat dan melebur ke seluruh pelosok nusantara (Indonesia Raya) dengan
kerja…kerja…dan kerja! Jika demikian maka rakyat Indonesia sedang menggenggam
harapan baru untuk hidup dan kehidupan bangsa dan negara yang lebih baik! Sehingga wajah Indonesia akan
tegak dan terangkat di antara bangsa-bangsa lain!”
“Welcome, Mr.
President! Welcome, Mr. Vice President! Indonesian People love you! Indonesian
people is supporting you! You are of the people, by the people and for the
people--Indonesian people!”
October 16, 2014
RUMAH MUGER: Mauri Yehu, Oli Ati Gu
Puncak Perayaan Bulan Keluarga/HUT GMIT 31 Oktober 2011 |
October 14, 2014
Rakyatlah Yang Terhormat
Oleh: Pietro T. M.
Netti
Tuan Rumah RUMAH
IDE & KREASI
Kisruh Anggota Dewan (Ilustrasi: BeritaSatu.com) |
Melihat tingkahmu yang terekam beberapa saat lalu, jelaslah
bahwa anda bukan yang terhormat. Langkah awalmu sudah mencoreng muka sendiri dengan
berlaku seperti anak TK (kata alm. Gus Dur) walaupun anda dan anda bukanlah
murid Taman Kanak-Kanak. Anda sendiri secara gamblang mendeklarasikan diri bahwa
anda memang tidak terhormat dan tidak layak untuk dihormati. Anda
sendiri yang melumuri wajah sendiri yang mungkin tidak jelek(?) atau yang sudah
jelek(?) dengan lumpur busuk. Jelaslah kini bahwa anda memang jelek dan
bertambah jelek, busuk dan tidak
terhormat. Rakyat, si pemegang kedaulatan tertinggilah yang patut disebut
sebagai YANG terhormat.
Sebenarnya siapa pun anda bisa saja menyandang gelar Yang Terhormat (YTh) jika siapa pun anda
itu sudah memperlihatkan rekam jejak yang baik dan positif. Ada proses panjang
yang patut anda lewati sebagai ujian untuk memperoleh gelar Yang Terhormat tersebut. Fakta
membuktikan bahwa sebagian besar dari anda yang sekalipun sudah diuji selama sepuluh
tahun tidak juga menunjukkan hasil/nilai baik dan positif untuk layak
mendapatkan gelar YTh. Bahkan nilai yang anda cetak hanyalah bernilai 1 dari
skala 1-4 yang artinya tidak lulus, dan
bahkan lagi tidak lulus dengan predikat
tidak terpuji dan memalukan; sebuah rekor nilai ditambah
predikat ketidaklulusan yang tidak pernah ada dan tidak pernah dimiliki oleh
siapa pun di belahan dunia mana pun. Ya, sebuah rekor yang hanya milik anda.
Tradisi memberi gelar Yang
Terhormat sejak awal menginjakkan kaki di gedung kura-kura ini sebaiknya ditinjau kembali. Layaknya dalam
system pendidikan formal yang berlaku di negeri ini, gelar baru boleh diperoleh
setelah melewati sebuah tahapan panjang yang tidak mudah. Gelar tersebut baru
boleh disandang jika prilaku, pikiran dan perasaan anda semua berpihak kepada rakyat
yang diwakili. Dalil memperjuangkan kepentingan rakyat harus betul-betul
diterjemahkan ke dalam kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Dalil memperjuangkan kepentingan rakyat jangan menjadi
alasan untuk memperbesar pundi-pundi pribadi anda dan keluarga anda alias korupsi.
Rakyat juga sering disuguhi
dengan adegan dan tontonan yang tidak lucu, tidak cerdas dan tidak
mendidik dari sebagian dari anda yang sama sekali tidak mencerminkan martabat yang terhormat. Pemandangan yang bertolak
belakang dengan kehendak rakyat justru sering datang dari dalam kura-kura
senayan. Ruang persidangan dijadikan sebagai tempat untuk melepas lelah alias tidur-tiduran, arena bermain, dan
bahkan dijadikan sebagai ruang yang aman dan bebas untuk menikmati adegan mesum
yang mengumbar sayhwat dari gadget
pribadi (dan mudah-mudahan tidak dijadikan sebagai tempat yang aman untuk bermesum ria).
Gudang yang mirip kura-kura ini seharusnya menjadi simbol
negara untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, bukan sebagai simbol tarik
ulur kepentingan dari pihak-pihak yang
ingin unjuk kekuatan oleh karena ego dan ambisi pribadi/kelompok tertentu.
Bibit-bibit kesejahteraan dan kemakmuran rakyat seharusnya disemai dan dirawat
di dalam gedung yang terhormat ini
dan selanjutnya bisa berdampak pada tumbuh kembang kehidupan rakyat yang lebih
baik ke depannya. Gedung sebagai simbol negara yang terhormat seharusnya ditempati pula oleh pribadi-pribadi yang
siap mati untuk rakyatnya.
Saya yakin anda yang membaca tulisan ini tidak sensi alias tidak akan tersinggung dan tidak sakit
hati karena anda tidak termasuk dalam kelompok yang disebutkan di atas. Begitu
pula dengan anda yang merasa yang
terhormat tidak akan merasa dilecehkan dengan tulisan ini karena anda
memang tidak pernah melakukan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, atau karena
anda tidak sedikit pun berencana/berniat melakukan sebagaimana yang telah disebutkan
di atas. Jika demikian, maka pada saatnya nanti anda berhak dan layak
menyandang gelar YTh. (Yang Terhormat)
bersama-sama dengan Rakyat yang
memang Terhormat. Jika tidak
demikian, maka anda pun dengan sendirinya diwisudakan
dengan gelar Ytth.B. (Yang Tidak
Terhormat dan Bejat), dan Rakyat tetaplah Yang Terhormat.
October 8, 2014
Teori: Cara Cepat Belajar Melodi
Oleh: Pietro T. M.
Netti
Tuan Rumah RUMAH
IDE & KREASI
Melodi
Wikipedia bahasa Indonesia mendefinisikan melodi sebagai berikut; “Melodi
(dari Yunani μελῳδία - melōidía,
bernyanyi, berteriak) atau disebut juga suara adalah suksesi linear nada
musik yang dianggap sebagai satu kesatuan. Dalam arti yang paling harfiah,
melodi adalah urutan nada dan jangka waktu nada, sementara, dalam arti lain,
istilah tersebut memasukkan suksesi unsur musik lain seperti warna nada.”
“Melodi sering terdiri dari satu atau lebih frasa musik
atau motif, dan biasanya diulang-ulang dalam lagu dalam berbagai bentuk. Melodi
juga dapat digambarkan oleh gerak melodis mereka atau nada atau interval
(terutama yg diperbantukan atau terpisah-pisah atau dengan pembatasan lebih
lanjut), rentang pitch, dan melepaskan ketegangan, kontinuitas dan koherensi,
irama, dan bentuk.”
Dalam bermusik, tidak bisa dipungkiri bahwa melodi adalah hal yang sangat penting
dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari musik. Melodi merupakan permainan
notasi yang menghadirkan tinggi-rendah nada dalam pola dan ritme/irama
tertentu. Melodi secara jelas menggambarkan alur dari sebuah
kedalaman penghayatan dan ekspresi yang terbentuk dalam alunan nada. Melodi adalah untaian frasa dan kalimat notasi/nada
yang membentuk sebuah komposisi lagu.
Dengan demikian, secara umum ada tiga cara yang dapat
dipakai sebagai acuan untuk belajar bermain melodi:
- Memainkan notasi sesuai dengan notasi/ragam dari sebuah lagu (melodi lagu),
- Memainkan notasi yang diambil berdasarkan pecahan notasi dari struktur akord lagu (improvisasi), dan
- Memainkan notasi yang tidak terikat sama sekali pada notasi/ragam lagu maupun pada akord yang dimainkan dalam sebuah lagu (improvisasi).
Pada kesempatan ini, saya ingin berbagi beberapa catatan
tentang Teori: Cara Cepat Bermain Melodi
yang dihimpun dari berbagai sumber. Catatan-catatan ini merupakan catatan
pribadi yang kiranya dapat memberi manfaat kepada kita semua yang ingin
mengembangkan keahlian dan ketrampilan bermain musik khususnya bermain melodi.
Bermain Scales & Modes
by: Inung K. Arisasangka
Bermain melodi sama dengan bermain SKALA atau MODE. Melodi
merupakan rangkaian SKALA atau MODE yang dibunyikan dengan pola tertentu. Pada SKALA
yang sama, jika pengolahannya berbeda, maka citra nadapun dapat berbeda.
SKALA & MODE merupakan serangkaian nada yang
memiliki interval/jarak antar nada tertentu. Perbedaan keduanya terletak pada
fungsi. SKALA menentukan harmoni. MODE mengekspresikan suatu variasi
melodi.
SKALA ditemukan di jaman
Yunani kuno, yang mana SKALAnya
mengambil nama suku yang paling berpengaruh; Dorian, Phrygian, dll.,
pola SKALAnya tidak seperti MODE Dorian,
Lydian, dll. Pada abad pertengahan,
musisi-musisi gereja merubah pola itu menjadi seperti sekarang dan
memperkenalkan nama SKALA menjadi MODE.
Perbedaan antar MODE adalah pada “Tonaliti”nya. Misalnya pola SKALA
Mayor; pola ini dikenal sebagai MODE Ionian.
Masih pada pola yang sama, jika dimainkan dari titik II (titik kedua) kunci A
berarti kita memulainya dari B (contoh pada gitar), pola itulah yang dikenal
sebagai MODE Dorian. Jika dimulai dari titik III
kunci A, berarti dimulai dari C#, yang adalah MODE Phrygian.
Tiap SKALA maupun MODE
memiliki interval/jarak tertentu. Jarak antar nada inilah yang menentukan
karakteristik SKALA atau MODE. Misalnya di Indonesia (SKALA Pelog, Bali dan Javanese), di Jepang (SKALA Kumoi, Iwato, Japanese dan Ichikosucho), di China, Arab, Persia,
Mongol, dll.
Mode &
92 Skala (Inung K. Arisasangka):